Dimuat di Koran Joglosemar, 17 Oktober 2010.
Malam yang
lirih. Butiran bintang bersinar redup. Gumpalan awan berarakan. Meggantung
memalingkan sinar rembulan, yang kini malu-malu memancarkan sinarnya ketepian
dedaun pepohonan.
Lalu, tepat
di bawah temaram bayang-bayang dedaun yang terpancar oleh sinar rembulan.
Seorang perempuan tiba-tiba mengajakku berjalan. Langkah tergesa saat malam
masih berkabut embun yang kian dingin. Sesekali langkahnya sulit kujajarkan
dengan langkah kakiku. Tapi tangannya tetap aku genggam. Seakan dipaksa untuk
tidak menulak ajakannya.
“Kita mau ke
mana?” Tanyaku.
“Sudah, naiki
saja motornya,” jawab perempuan itu singkat. Diulurkannya kunci motor ke
hadapanku. Setelah beberapa detik, seusai isyarat saling pandang. Aku mulai
menanjak gas motornya. Melaju kencang ke arah jalan yang ia tunjukkan—yang
entah ke mana arah dan tujuannya?
“Kita mau
pergi ke mana?” Tanyaku sekali lagi.
“Aku di ajak
Mbak Juju,” jelasnya sedikit.
“Ke mana?”
“Entahlah,
aku juga tidak tahu?”
Hening. Desau
angin terus mengejar sepanjang perjalanan.
“Lha, Mbak
Juju mana?” Tanyaku lagi.
“Dia sudah
menunggu aku di samping Pos Rel Kereta Api. Dia menelponku tadi. Aku di suru
cepat ke sana bersamamu.”
Angin
berhempas lirih. Aku dan perempuan itu berlalu menuju suatu tempat yang aku tak
tahu: ke mana dan mau apa?
Tak sampai
sepuluh menit. Sebelum aku menumui Mbak Juju. Aku merasakan seberkas air bening
yang jatuh kepundakku. Aku menghentikan laju motorku. Menoleh memerhatikan
perempuan yang sedang berada di belakangku. Tak dinyana, ternyata kulihat ada
butiran-butiran air bening mengalir dari ujung pelupuk mata perempuan itu.
“Kenapa kamu
menangis?” Tanyaku.
“Nggak, aku
nggak menangis.” Jawabnya. Ada yang di sembunyikan dalam benaknya.
“Aku cuma
kelilipan.” Lanjutnya beserta senyum ranum yang tak mampu kuterjemahkan.
“Kita nggak
usah pergi saja,” ucapku pelan. Sesekali mendekati perempuan itu.
“Kenapa?”
Tanyanya dengan nada lirih.
“Aku khawatir
terjadi apa-apa dengan dirimu.” Aku meraih tangannya.
“Kasian Mbak
Juju. Dia sudah menunggu sejak tadi.”
“Aku akan
telpon dia.”
“Jangan!”
“Kenapa?”
“Kita
berangkat saja sekarang.” Perempuan itu mendesah dengan kening berkerut. Aku
tak bisa menulak permintaannya.
Aku melangkah
menanjak gas motor. Dia pun tanpa sungkan memegang erat tubuhku. Bahkan seperti
memelukku. Aku membiarkannya. Aku tak ingin perempuan itu kecewa. Apa lagi
membuat hatinya terluka. Tidak! Aku tak akan lakukan itu. Aku tak ingin
menambah sakit hatinya sebab kejadian yang baru ia alami beberapa hari ini.
***
Ya, dua hari
yang lalu, perempuan itu sempat bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Di sebuah
rel kereta. Yang tak jauh dari tempat kostku. Ia berdiri tegap. Membiarkan
tubuhnya terkulai. Memandang laju kereta yang ia tunggu-tunggu. Tapat di
tengah-tengah rel kereta. Perempuan itu menutupi sepasang mata dengan kedua
telapak tangannya.
Sontak,
setelah tak seberapa dari jedah suara lengking kereta, perempuan itu menjerit.
Meronta-ronta. Meminta agar dirinya dibiarkan mati tertabrak kereta. Dan untung
saja, aku berhasil menyelamatkan perempuan itu dari laju kencang sebuah kereta.
“Kenapa kau
lakukan semua ini?” Tanyaku. Dia tak menjawab. Tetap diam bergeming dengan
tubuh gemetar. Lalu, aku mengajaknya pulang. Tapi sanyang, dia tak mau pulang.
Hari sudah
menampakkan senja. Segaris cahanya rebah. Terpancar ketepian pucuk daun ilalang
kering yang berjatuhan. Sementara itu keringat hangat terus mengucur dari
keningnya. Entah karena sebab takut, atau karena panas tertampar sinar
matahari?
Aku bangkit
dari tempat duduk. Kegelapan saat itu terasa semakin menggiring dengan hadirnya
gumpalan awan yang menyelimuti sinar matahari. Hening. Saat aku mengajaknya
lagi agar segera pulang. Namun, keinginannya tetap berbalik, dari keinginan
yang aku inginkan. Perempuan itu resah. Dadanya seperti bergemuruh. Sementara
keinginannya kembali berlanjut untuk mengakhiri hidupnya.
Perempuan itu
memejamkan mata. Di kepalanya tergambar keadaan yang mendebarkan. Ya, seperti
saat ia berdiri tegap di tengah rel. menutupi sepasang mata dengan kedua belah
telapak tangannya. Ah, tapi niat buruk—mengakhiri hidupnya hanya jadi sia-sia
saja.
Pada sebuah
senja menjelang malam itu, aku tak membiarkan sang perempuan sendiri. Aku
menemaninya hingga larut malam. Meski dingin juga tak jarang aku rasakan,
sesekali membuat bibir dan tubuhku gemetar, tapi aku tetap berusaha bertahan.
Aku tak ingin perempuan itu hancur bahkan mati mengakhiri hidupnya sebab
kegalawan hatinya. Namun, aku pun juga tidak tahu. Entah sebab apa dia berniat
buruk seperti itu?
“Dia telah
membuat hatiku hancur,” ucapnya setelah kupaksa untuk bercerita—perihal apa yang
membuat dirinya ingin mengakhiri hidupnya dengan cara begitu.
“Dia? Siapa
dia?” Tanyaku, tapi tak terlalu memaksa.
“Tunanganku,
yang selama bertahun-tahun aku menjalin cinta dengannya,” jawab perempuan itu
dengan nada terluka.
Hening.
Bibirku tertutup. Tak sepatah kata pun yang aku lontarkan. Aku tak begitu
yakin, kalau Suhri, tunangannya yang ia cinta sampai hati telah menyakiti
perempuan sebaik Vita. Ya, perempuan yang sejak tadi kini hanya diam di pinggir
rel kereta. Dengan mata merah merona. Serta tubuh terkulai oleh derita.
“Kamu tahu,
di mana sekarang tunanganmu berada?” Tanyaku dengan hati sedikit getir takut
menambah hatinya terluka.
Sontak, tak
dinyana air mata kembali lengan mengiris pipinya. Ternyata, ucapan yang aku
lontarkan benar-benar telah membuat hatinya luka. Tersakiti. Dalam diam, dia
berusaha menyembunyikan keperihan hatinya. Tapi, mungkin perih itu benar-benar
tak mampu untuk ia tahan, hingga perempuan itu kembali terisak senik disertai
banjir air mata yang jatuh ke pipinya.
“Dia benar-benar
kejam! Kejam!” Teriak perempuan itu sambil berlari.
Spontan aku
mengejarnya. Lalu kuraih tangannya, kupegang erat jemarinya,
“Vi, mau ke
mana? Ayo kita pulang!” Pintaku, tapi dia tetap saja berusaha lari dari
hadapanku.
“Ini sudah
malam, pulanglah...!” Lanjutku.
Ia terdiam
sejenak. Dalam jiwanya seperti ada perasaan mengganjal yang baru ia sadari dari
niat buruknya. Baru setelah beberapa menit, dia membalikkan tubuhnya. Berjalan
pelan menuju rumah kontrakannya.
***
Keesokan
harinya. Tanpa sengaja ketika aku sedang melintas di rel kereta, kulihat Vita
duduk dengan wajah beku. Matannya merah. Sedikit kulihat ada sisa air mata yang
hampir megering yang aru saja ia tuangkan dari kesedihannya. Entahlah,
kekhawatiranku tiba-tiba kembali melonjak saat melihatnya.
Lalu, aku
menghampirinya. Menyapanya. Dengan manis ia melempar senyum tipis yang hanya ia
paksakan.
“Kenapa diam
di sini sendiri?” Sapaku.
“Aku lagi
ingin sendiri,” jawabnya. Sesekali desau angin menyebak rambut lurusnya.
Entah, aku
jadi khawatir teringat akan peristiwa yang ia alami beberapa hari kemaren.
Waktu Vita berdiri tegap di tengah rel kerera. Memejamkan kedua matanya.
Menutup raut wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Lalu subuah kereta melaju
kencang lurus dengan tubuhnya. Namun, untung saja sempat kuselamatkan.
***
Malam itu,
ketika aku dan Vita menumui Mbak Juju, serasa ada sesuatu hal yang aneh yang
tak kumengerti. Namun aku memilih diam saja. Kubiarkan mereka berdebat
habis-habisan hingga larut malam. Meski sebenarnya aku sudah tak tahan menahan
kantuk yang berlarut-larut mengajakku rebah menghapus rasa lelah. Tapi tetap
aku tahan.
“Aku tak
menyangka, kamu bisa berbuat seperti itu, Ju.”
Kudengar
suara Vita agak sedikit serak. Dan tiba-tiba saja tangis pecah di antara mereka
berdua.
“Maafkan aku,
Vi..., ini semua bukanlah kehendakku. Tapi aku dipaksa orang tuaku untuk
menikah dengan Suhri, tunanganmu.”
“Aku harap,
persahabatan kita tidak hancur gara-gara persoalan ini” lanjut mbak Juju.
Sesekali ia raih tangan Vita. Namun wajah Vita menyimpan beribu kekecewaan yang
tak mampu ia tutupi.
Baru setelah
beberapa menit, mereka saling berpelukan. Memaafkan, merajut kembali tali
persahabatan.
Jogja,
September-Oktober 2010
Link: http://edisicetak.joglosemar.co/berita/di-rel-kereta-27087.html