Oleh: Marsus
Apakah orang Indonesia tidak berkeinginan mengetahui kisah
sejarah tersebut? Ataukah kisah-kisah
itu memang sengaja dibiarkan terpendam dan lenyap dengan sendirinya?
Saya berpandangan, sebenarnya ketertarikan untuk
mengetahui kisah-kisah atau sejarah dari ragam tradisi budaya Indonesia melekat dalam diri masyarakat. Akan tetapi, persoalannya adalah seberapa kuat menahan jenuh belajar
atau membaca sejarah yang umumnya perlu konsentrasi, apalagi ketika disodorkan
dengan penanggalan atau kronologi kejadian yang harus runut dan terperinci agar
dapat memahami suatu peristiwa secara utuh. Di sinilah biasanya mereka merasa
bosan, karena diperlukan konsentrasi penuh, dan terkadang membuat kepala
mengernyit. Dalih lain juga menganggap, bahwa belajar sejarah itu 'berat'.
@SejarahRI dengan
menghimpung kisah-kisah yang tertuang dalam buku Indonesia Poenja Tjerita
memberikan alternatif dalam menjelaskan sejarah keindonesiaan. Kisah-kisah yang
berkaitan dengan tradisi budaya
dan tokoh-tokoh penting di Indonesia, misalnya tentang
penjajahan, asal muasal suatu produk makanan, sampai pada hal-hal ringan, namun penting untuk kita ketahui—seperti penyebutan istilah
‘hidung
belang,’ ‘makjomlang,’ dan
sebagainya—diulas dalam buku ini dengan mengalir renyah bagaikan mendengar cerita
atau kisah yang dituturkan.
Ambil contoh tentang asal muasal adanya tukang cukur. Kisah persebaran tukang cukur, disinyalir karena dipicu adanya konflik yang
terjadi di suatu daerah tertentu. Penyebaran tukang cukur Asgar (Asli Garud) misalnya, ia tidak lepas dari konflik politik
pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia, DI/TII sekitar tahun
1949 dan
1950. Oleh karena konflik itu, banyak orang Garut yang mengungsi. Di daerah-daerah
tempat pengungsian itulah mereka membuka usaha potong rambut untuk
bertahan hidup (hlm. 86).
Melalui kisah-kisah
itu, pada dasarnya kita bukan hanya dapat mengetahui cikal bakal munculnya
tukang cukur Asgar. Namun, kita
juga bisa mengetahui bahwa pada tahun 1949 dan 1950 Indonesia telah dilanda
konflik politik dan pemberontakan yang didalamnya diperankan oleh tentara
Islam.
Selain itu, bisa lihat juga bagaimana cikal bakal
persebaran potong rambut Madura.
Ia tidak jauh berbeda dengan potong rambut Asgar. Persebarannya dipicu
oleh adanya konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II pada tahun 1677,
sehingga pengikut Trunojoyo tidak mau kembali ke Madura. Mereka menyebar ke
berbagai daerah. Untuk
mempertahankan hidupnya, mereka membuka usaha potong
rambut (hlm. 87-88).
Dalam mendirikan usaha potong rambut, orang Madura tidak terlalu muluk-muluk.
Tidak perlu mendirikan bangunan megah dan kokoh yang menguras biaya banyak. Ia
menggunakan fasilitas dan tempat seadanya. Pada awal mula tahun
1911 usaha potong
rambut dilakukan di tempat-tempat umum, di tepi-tepi jalan di bawah pohon-pohon besar di daerah Surabaya. Semangat usaha semacam
itu kiranya patut menjadi contoh.
B.J. Habibie, misalnya, sosok mantan presiden RI ke-3 lulusan Jerman sekaligus
sebagai otak dari terciptanya pesawat N-250 yang tak kalah gigihnya
memperjuangkan Indonesia. Ia berkali-kali ditawari pemerintah Jerman agar
menetap dan menjadi warga negara di sana. Bahkan konpensasi yang melimpah akan
diberikan kepada Habibie. Namun, ia tidak menuruti tawaran pemerintah Jerman. Habibie
memilih hidup di kampungnya, di negaranya sendiri Indonesia. Ia dengan semangat
membangun Indonesia dengan mendirikan industri dirgantara. Sehingga terciptalah
pesawat N-250 (hlm. 90).
Kekukuhan B.J. Habibie untuk tetap tinggal di Indonesia dan menolak tawaran
pemerintah Jerman, menunjukkan kepeduliannya dan nasionalismenya terhadap
Indonesia. Ia tidak tergiur pada tawaran dengan imbalan yang besar. Ia lebih
peduli terhadap kampungnya sendiri dan membangun negaranya agar menjadi lebih
maju. Meskipun usahanya itu berujung menyakitkan akibat proyek pembuatan
pesawat N-250 dihentikan karena timbulnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
PT. Dirgantara pun terpaksa ditutup karena tak ada dana dari pemerintah. Dan
para karyawannya pun tidak sedikit yang terpaksa menjadi pengangguran.
Membaca buku ini, kita akan akan disuguhi berbagai kisah-kisah unik dan
semangat orang-orang Indonesia dalam mengarungi hidupnya, baik dari kalangan
masyarakat kecil maupun tokoh-tokoh terkemuka. Kisah-kisah itu bisa menjadi
inspirasi dan teladan dalam menjalani hidup kita.
*)Peresensi adalah lulusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis di berbagai media, seperti Kedaulatan
Rakyat, Suara Pembaruan, Bali Pos, Radar Surabaya, Riau Pos, Media Indonesia, Majalah
Basis, Horison, dll.
Judul : Indonesia Poenja Tjerita: Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah
Indonesia
Penulis : @Sejarah RI
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama,
Juli 2016
Tebal : xviii+226 halaman.
ISBN : 978-602-291-238-5
Sumber: Radar Surabaya, 25 Desember 2016.
0 comments:
Post a Comment