Oleh: Marsus
Seperti malam-malam sebelumnya. Kiai Marsuki duduk tersipu. Menatap kosong
ke luar jendela. Pekat hitam yang hanya bisa ia tangkap, seolah menambah bimbang
dalam
hatinya. Sesekali ia merunduk. Kepalanya terselimuti pikiran-pikiran ganjil. Teringat
ketika ia menemui orang tua Rumiyati. Kadang merasa kasihan, bahkan merasa
bersalah telah melamar santrinya sendiri.
Rumiyati salah seorang santri putri yang kerap menyapu halaman rumah Kiai Marsuki. Selain
memang rajin, ia juga termasuk perempuan yang sangat pintar dan cerdas. Bukan hanya cerdas, keramah-tamahan
dan kecantikannya
sudah banyak mendapat pujian dari setiap orang yang melihatnya. Tak heran
bila Kiai Marsuki tergila-gila ingin memilikinya.
Ia anak satu-satunya dari seorang ibu yang hidupnya sangat sederhana. Ia disekolahkan
di sebuah pesantren semenjak masih kecil. Sampai saat ini, sudah duduk di
bangku Tsanawiyah.
Suada, ibu Rumiyati masih ingat betul, dulu saat saling bersepakat
dengan Masripa, saudaranya,–untuk sama-sama menyekolahkan putra-putrinya di
Pesantren. Ya, putra-putri mereka yang telah mereka jodohkan semenjak masih kecil.
Suada ingat betul, sekitar dua puluh tahun silam. Di saat ia sedang menggendong
Rumiyati, dan Masripa juga sedang menggendong Mustakim. Keduanya saling
bersepakat, kalau Rumiyati dan Mustakim resmi mereka jodohkan.
Begitulah mereka mengikat janji untuk kelanggengan persaudaraannya. Bahkan
sampai saat ini, mereka dalam waktu sebulan sekali pergi bersama menyunggi bakul
berisi beras dan makanan untuk di antar ke pondok sebagai bekal anaknya. Di
sana, setiap kali putra-putrinya sama saling bertemu, ia tak lupa selalu menegaskan,
kalau Mustakimlah nanti yang akan menjadi suami Rumiyati. Lalu keduanya sama
mengangguk, sembari saling menatap, menebar senyum manis kepada kudua orang
tuanya.
***
Suada benar-benar merasa terkejut, cemas! saat Kiai Marsuki tiba-tiba datang
menemuinya. Sebagai seorang ibu, yang
putrinya sudah
bertahun-tahun mondok di pesantrennya. Tentu ia merasa sangat getir.
Pikirannya bercampur aduk dengan beragam tanya. Takut akan terjadi sesuatu hal
yang tidak ia inginkan terhadap putrinya.
“Kabar apakah yang terjadi pada Rumiyati Kiai, sehingga Kiai datang
jauh-jauh ke rumah ini?” Tanyanya sambil menarik napas panjang. Disela kegetiran
hatinya itu, air matanya seolah hendak berderai ke dahan pipinya. Namun tetap berhasil
ia bendung dalam-dalam.
“Rumiyati sudah dewasa, Da. Ia sangat cerdas, pintar, rajin pula!” Puji
Kiai Marsuki lembut. Suada mulai menyirat senyum.
“Syukurlah, Kiai kalau begitu. Saya khawatir terjadi sesuatu pada anak
saya.” Gumamnya kemudian, hatinya sedikit merasa lega. Napasnya kembali ia
hembuskan pelan-pelan.
“Saya pikir, putrimu kini sudah pantas berkeluarga.” Tambahnya. Suada terhenyak,
kembali mendekap dadanya.
“Maksud Kiai...?”
Hening. Ia mulai menarik napas pelan-pelan.
“Rumiyati akan saya nikahi?!” Lanjutnya.
Sontak, Suada tersentak. Raut wajahnya gelisah, mengerut tiba-tiba.
Tubuhnya seperti tersayat luka yang teramat pedih. Bahkan luka itu telah
menjalar perih ke hulu hatinya. Ia mengerang kesakitan. Ia tak pernah menduga, akan
secepat ini anak gadisnya menikah? Ah, entahlah.....
Ia tertunduk. Sebentar kemudian melirik pada sesosok yang ada di
hadapannya. Ia perhatikan. Ah, semakin lama ia tatap sosok itu, luka hatinya serasa
semakin tak terperihkan. Karut-marut wajahnya menjadi semakin keruh. Suada dihadapkan
dengan persoalan rumit tak menentu. Bagaimana tidak, kedatangan Kiai Marsuki
tak memberi kabar sebelumnya. Padahal putrinya sudah ia jodohkan dengan anak
saudaranya.
Ia dalam bimbang. Hatinya terus tersayat kesakitan. Dengan jawaban apa
harus memutuskan? Akan secepat inikah menerima lamaran Kiai Marsuki? Sementara,
menerima sama halnya memutus persaudaraannya dengan Masripa. Ah, entahlah ia
sulit untuk memutuskan. Menolak lamarannya juga tak mungkin ia lakukan.
Ia tak bisa bayangkan. Bila harus memilih antara Kiai Marsuki atau
Mustakim? Baginya, ia seperti harus menelan buah si malakama. Keduanya tak ada
yang bisa menyangkal akan meredam masalah yang bakal terjadi dalam hidupnya.
Di tengah-tengah kegelisahannya. Tiba-tiba seolah Rumiyati datang, bergandengan
tangan. Menyiratkan senyum. Bersama seorang pria, yang tak lain dia adalah
Mustakim, tunangannya. Suada sempat tersenyum. Senang. Tetapi sesaat berselang,
senyumnya berganti mendung. Betapa hatinya merasa terkejut, setelah ia sadar
kalau di hadapannya yang tersenyum bukanlah Mustakim yang menggandeng tangan
Rumiyati. Melainkan sosok Kiai Marsuki yang juga sempat mengulum senyum, menunggu
restu dari dirinya.
Seusai ia bersitatap, dengan seuntai senyum kepura-puraan. Kiai Marsuki
kembali bertanya.
“Bagaimana, Suada?”
Hening. Ia tak segera menjawab. Keraguannya semakin melambung tinggi
seolah telah memenuhi seluruh pikirannya. Ia gelisah. Keputusannya tetap tak
berujung hingga pada titik jawab. Baru setelah beberapa menit terdiam, dengan
menarik napas begitu panjang, setelah menepis segala keragu-raguan, ia lalu memberi
keputusan.
“Baiklah, Kiai. Saya restui pernikahan ini.” Jawabnya lamban.
Ketakutannya kembali merajut dalam hatinya.
“Baiklah kalau begitu. Saya pamit pulang.” Jawabnya.
Suada yang diam, sempat tersentak, lamunannya buyar seketika. Sebelum
akhirnya, ia tertunduk saat Kiai Marsuki mulai melangkah pelan, meninggalkan
rumahnya.
Malam semakin petang. Dentuman suara makhluk malam terus
bersahut-sahutan. Menggiring langkah kaki Kiai Marsuki, yang tak lama lagi akan
menjadi menantunya. Dalam hatinya seakan ada penyesalan. Tetapi itu hanyalah kesia-siaan.
Setelah tak seberapa lama Kiai Marsuki lenyap dibalik pohon siwalan,
Suada lalu melangkah ke pintu rumah. Menatap sebingkai foto yang bergantung di
dinding kamar. Ya, foto Rumiyati kecil yang berdampingan bersama Mustakim, yang
di samping kanan dan kirinya, tampak berdiri Masripa dan Suada sambil menebar
senyum. Orang tua yang mana yang tak senang bila melihat anaknya bersanding di
pelaminan, gumamnya mengandai anaknya sedang duduk di sebuah pelaminan. Ia
sempat tersenyum, menatap kembali foto tersebut. Namun dibalik senyum tipisnya
itu, ada sebercak air mata yang hendak mengalir ke pipinya. Ah, entahlah kenapa
semua ini bisa terjadi? desisnya lirih.
***
Senja rebah bersama angin yang bertiup tak begitu kencang. Masripa membuka
jendela dan menyingkap gorden warna hijau. Di jalan setapak, tepat di samping
rumahnya, orang-orang berduyun pulang dari ladang. Ada yang menyunggi segulung
rumput, ada yang berjalan menggiring sepasang sapi, ada pula yang hanya
berjalan melambai tangan sambil memanggul cangkul dibahunya.
Ia terhenyak, saat mendengar perbincangan orang-orang, yang tak begitu
jelas ia tangkap, tentang Kiai Marsuki yang tak lama lagi akan segera menikah
dengan Rumiyati.
“Hust, jangan mengada-ada. Itu kabar tak benar! Suada dan Masripa telah
menjodohkan Rumiyati dengan Mustakim semenjak ia masih kecil.” Ujar seseorang tak
percaya.
Masripa tergagap. Ia mengintip dari jendela kamarnya. Lalu cepat mendongak
dan lebih mendekatkan telinganya pada celah jendela yang sedikit terbuka.
“Apa kamu benar-benar tak tahu. Kalau Kiai Marsuki sudah beberapa kali
mendatangi rumah Suada. Ia sudah bersepakat untuk menikahkan putrinya dengan
Kiai Marsuki.” Jelasnya lagi.
“Ah, mana mungkin? Apa Masripa sudah tahu kalau Rumiyati akan
dinikahkan dengan Kiai Marsuki?” Tanya yang lain.
Perbincangan itu berakhir lambat laun ditelinga Masripa setelah mereka
hilang dibalik ranting pohon nangka di samping rumahnya.
Masripa mematung setelah mendengar perbincangan itu. Sesekali bayangkan,
bagaimana kalau Rumiyati diam-diam benar menikah dengan Kiai Marsuki? Ah,
betapa harga dirinya telah diinjak-injak oleh saudaranya sendiri? Pikirnya. Ia
kemudian membalikkan badan. Menutup sedikit jendela yang terbuka. Di atas
jendela, ia tatap sebingkai foto anaknya, yang warnanya sudah semakin kusam dan
berdebu.
***
Tidak! Ini tidak boleh terjadi, gumamnya pelan. Nyaris tak terdengar. Perlahan
ia memalingkan wajahnya. Sebelum akhirnya ia melangkah.
Benarkah Kiai Marsuki akan menikah dengan Rumiyati? Masripa diserbu
berbagai tanya. Namun tak bisa ia tepis dengan dugaan-dugaan aneh dan tak pasti
dalam benaknya.
Malam larut, angin berhembus tak seperti biasanya yang kencang. Sehingga
suasana sepi menambah malam semakin mencekam. Masripa melangkah. Langkahnya tergesa.
Menyusuri jalan setapak menuju arah rumah Suada. Ia tak sabar, ingin segera tahu
tentang kabar tak sedap yang baru saja ia dengar dari tetangga.
Tak seberapa lama dari langkahnya yang tergopoh-gopoh. Setelah ia melintas
sepanjang jalan setapak berbatu menuju rumah saudaranya. Sampailah ia di rumahnya.
Suada menyilahkannya masuk. Lalu mereka duduk. Bercakap. Seperti halnya
malam-malam sebelumnya saat ia berembuk untuk mengirim beras dan makanan untuk bekal
anaknya di pondok. Namun, kali ini ada yang berbeda. Disela perbincangannya
yang masih sebentar, Masripa tiba-tiba melontarkan tanya, dengan nadanya yang
lamban, tapi membuatnya ketakutan.
“Aku dengar, Rumiyati sebentar lagi akan menikah? Apa maksud dari semua
ini, Lek?” Tanyanya.
Suada diam tak segera menjawab. Dadanya berdegup semakin kencang.
“Ini bukan atas keinginanku, Bhuk!
Kiai Marsuki yang menginginkan semua ini.”
Hening. Keduanya diam bergeming. Tak lama berselang, Masripa melanjutkan
kata-katanya.
“Kau telah injak harga diriku, Lek!
Kau harus gagalkan rencana pernikahan ini!” Ketusnya.
Suada terkejut, dalam hatinya ingin sekali mengungkapkan keberatannya untuk
mengagalkan pernikahan tersebut. Tetapi, ia tak tahu bagaimana cara
mengutarakan?
“Dia seorang Kiai, Bhuk..., kuharap
kamu bisa
mengerti?”
“Aku tak mau tahu. Jika pernikahan itu tidak kau gagalkan, putus persaudaraan
kita!” Suada tersentak. Tak menyangka saudaranya bertindak sesekasar itu.
Lalu Masripa pulang membawa kejengkelan. Kekecewannya mulai bergejolak
di dadanya. Sementara, di beranda rumahnya, Suada melotot memerhatikan sosok
Masripa, yang berjalan tak ubahnya sesosok perampok bertubuh kekar, ingin merampas
kebahagiaan putrinya. Ya, kebahagiaan Rumiyati yang tak lama lagi akan segera menikah
dengan Kiai Marsuki—pengasuh pondok pesantren yang sudah mempunyai tiga orang
anak dan memiliki pawang di seantero kampungnya.
Yogyakarta, 22 Maret 2012
Keterangan:
Lek : singkatan dari “Alek”
(Adik/saudara perempuan)
Bhuk : singkatan dari “Embhuk” (Kakak/saudara
perempuan)
Sumber (Dimuat di MAJALAH SAGANG, Pekan Baru, Riau. No. 166. Juli 2012. Tahun XIV. Hlm 23) klik di sini
4 comments:
Wah blognya udah ada kemajuan nih!!
Sukses kek.
hehe, makasih pak... gmn kabar?di sms ra balas2 ini...
Ada honorarium nggak Pak di Majalah Sagang?
Ada Mas. dulu saya kalau gak salah 100rb.
Post a Comment