Oleh: Marsus
Wanita
itu tidak seperti wanita lain yang aku kenal. Ia sering membuatku sedih dan
mejadikanku kesal dengan perbuatannya. Bagaimana tidak, kalau wanita itu sering
mengatakanku sebagai laki-laki yang sok alim, sok paham agama.
Tapi hatinya bau busuk layaknya bangkai. Begitu ucap wanita yang kumaksud setiap
kali bertemu dengan diriku.
Kau
pasti tidak mengerti maksud dari ejekan-ejekan wanita itu. Namun maskipun memang
benar-benar demikian, aku tetap berusaha sabar untuk tidak membalasnya. Meski sebenarnya
dalam hatiku ingin sekali mengatakan, kalau dia adalah wanita panggilan. Wanita
yang sering pergi ketika ada lelaki yang memintanya di temani di waktu malam.
Wanita
yang satu ini memang sering membuatku kesal. Sering memancing emosiku untuk
menjadikanku marah. Dan aku memang benar-benar marah ketika dia mengatakan
seperti itu. Tapi usahaku untuk menyembunyikan kemarahan itu tetap kuat. Dan
aku paham, bahwa wanita seperti itu tidak perlu ku ambil hati dari
perkataannya.
Dia
memang cantik. Kecantikannya sudah di akui oleh banyak orang di desa ini.
Utamanya bagi para remaja yang seumuran denganku. Tapi bagiku wanita itu
biasa-biasa saja. Bahkan bisa dibilang aku benci pada dirinya. Maskipun wajah
wanita itu cantik bulat telor, bertubuh sintal, rambutnya lurus bak pemeran
iklan, serta berkulit kuning langsat yang selalu terbalut kain kebaya ketat.
Tapi aku tetap tidak terpesona dengan kelebihan-kelebihan yang ia miliki.
“Jangan
sok, alim. Kamu bukan kiyai,” ucapnya suatu saat ketika bertemu
denganku. Saat itu aku sedang dari mushala mengajari anak-anak mengaji. Aku
tidak menghiraukan ucapan wanita itu. Aku langsung pergi. Dia pun juga pergi
dengan seorang lelaki.
Kau
tak usa heran, mengapa wanita itu mengatakanku demikian. Bahkan tidak hanya
wanita itu, teman-temannya pun yang akrab dengan dirinya juga kerap kali
mengatakanku begitu. Setiap aku berjumpa dengan mereka, aku hafal betul kata-kata
yang pertama mereka lontarka: jangan sok alaim. Kau bukan kiyai.
Ya,
meraka benar! Aku memang bukan kiyai. Tapi aku masih punya harga diri. Aku
bukanlah binatang yang tak mengenal mural. Aku masih lelaki normal. Punya akal
dan pikiran. Namun bukan berarti aku mengera wanita itu tidak punya akal dan
pikiran, tidak! Bukan itu yang ku maksud.
Kau
tau, mengapa aku mengatakan seperti itu?
Kau
pasti tidak percaya kalau menyimak cerita-ceritaku. Mengapa wanita itu sering
mengatakanku ‘lelaki yang sok alim, lelaki yang sok paham agama’ sebenarnya
aku tidak ingin menceritakan tentang kejadian ini. Karena hal ini meyangkut
harga diri. Tapi harus bagaimana lagi. Aku tidak mau jika orang-orang menilaiku
salah mendengar ucapan-ucapan yang sering wanita itu lontarkan padaku.
***
Begini
ceritanya: suatu saat ketika aku pulang dari mushala. Hujang turun lebat
mengguyur tubuhku tiba-tiba. Tidak boleh tidak, aku harus berteduh di sebuah
rumah untuk menepis guyuran hujan itu. Dan rumah itu adalah rumah wanita yang
kumaksud.
“Masuk
saja” dia menyuruhku masuk. Aku tidak segera masuk. Aku hanya berterimakasih
atas tawarannya. Hujan semakin lebat. Dan tak ada tanda-tanda sedikitpun kalau
hujan akan segera reda. Lagipula tubuhku semakin dingin dan basah kuyup terkena
keciprat air yang jatuh dari atap rumah itu. Terpaksa aku harus memasuki rumah tersebut.
“Duduk
saja” ucapnya disertai senyum dengan membawa secangkir teh hangat.
“Auuwww…!”
Cendtarrrrrrr…, dia terpeleset. Secangkir teh yang ia tengak, jatuh. Pecah. Sepontan
aku menolongnya dan menggendongnya ke kasur tempat tidur.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanyaku.
“Punggungku
sakit sekali, tolong pijat”
Tampa
sungkan-sungkan, dia membuka pakaiannya dan mereba di tempat tidur. Aku
mematung melihatnya. Tubuhku gemetar tiba-tiba. Sejalan degup jantung yang
semakin melompat-lompat. Kemudian wanita itu tengkurap di kasur, dan memintaku
segera memijatnya.
Sedikit
aku melangkah mendekatinya. Nafsu birahiku terpancing oleh gelayut tubuh wanita
itu. Pelan-pelan kupegangi punggungnya. Lalu kupijat. Auwwhg…! Serunya lirih. Sesekali
kulihat pancaran sinar kedua matanya memerah. Dan sepontan dia menarik lengan tanganku
dengan kuat. Aku terjatuh, menyatuh dengan tubuh wanita itu.
Sejenak
aku tersadar. Saat aku terjatuh di atas tubuh wanita itu. Aku ingat bahwa dia adalah
wanita penggilan. Aku tau dari maksud buruknya. Aku tidak bisa, ucapku gemetar.
Aku berusaha lari dari kenyataan itu. Tapi dia memaksaku. Hampir saja aku
melakukannya. Tapi aku bersyukur masih berhasil untuk segera meninggalkannya.
***
“Jangan
sok alim” ucapnya, ketika aku berjumpa dengan wanita itu. Aku tak
menghiraukan ucapan itu. Aku segera melaluinya. Sebenarnya aku tak ingin
bertemu lagi dengan wanita tersebut. Tapi kali ini aku tak sengaja tiba-tiba
dia muncul di hadapanku. Saat aku hendak beranjak, dia kembali mengulang
kata-katanya.
“Jangan
sok alim, ingat kejadian kemaen!” ucapnya tambah panas. Kali ini aku tak
bisa untuk menahan amarahku.
“Apa
maksudmu?” tanyaku agak keras.
“Kau
jangan mengganggu hidupku. Segeralah kamu berhenti dari kelakuan burukmu itu”
lanjutku.
“Ya,
aku tidak akan menganggumu. Dan aku akan berhenti dari kelakuan buruk ini. Tapi
dengan satu syarat…” suaranya tersendat. Wajahnya tertunduk. Sesekali kulihat
ada air mengalir dari pelupuk matanya.
“Apa
itu?”
“Nikahi
aku! Aku hamil” ucapnya penuh penyesalan. Sesekali butiran-butiran airmatanya
mengalir bertambah deras.
“Siapa
yang telah menghamilimu?” tanyaku. Aku benar-benar heran!
“Aku
tidak tau, lelaki yang mana yang telah menghamiliku?”
“Tidak!
Aku tidak akan melakukan itu” aku berbalik beranjak meninggalkannya.
“Tunggu!
Apakah kamu yakin dengan semua perkataanmu?” tanyanya.
“Ya,
sampai kapanpun aku tidak akan pernah melakukan itu” aku benar-benar marah.
“Ya.
Tapi perlu kau ingat satu hal, kau pernah meniduriku”
“Itu
hanya sandiwaramu. Lagipula aku tidak melakukan apa-apa pada dirimu”
“Sekarang
kamu tinggal pilih. Manikah denganku, atau harga dirimu akan hancur?” wanita
itu melangkah meninggalkan aku.
“Tunggu!
Apa maksudmu?”
“Nikahi
aku! Jika tidak, rekaman kita waktu itu akan aku sebar pada orang lain”
Dia
mengeluarkan CD dari tasnya. Ternyata dia telah berhasil menjebakku melalui
sandiwara saat itu. Lalu ia pergi meninggalkan aku….
Sumber: (Suara Pembaruan, 13 Juni 2010).
0 comments:
Post a Comment