Emi

Oleh: Marsus

Pernahkah kau mendengar suara manja yang bernyanyi dengan nada seperti digeret peri. Mendengungkan tangis yang begitu menyentuh? Sungguh tidak tega mendengarnya. Emi, anak berusia 12 tahun-an merengek-rengek dihadapan ibunya hanya demi sepatu merah yang ia lihat di pasar bersama teman-temannya. Dia sudah kerap kali memintanya. Rona mukanya memaksa, matanya merah samba. Emi hanya diam, menduga-duga kalau dia akan segera di belikan. Ah, tapi nyatanya tidak! Pikir Emi saat ibunya berbalik pelan meninggalkannya.
Hari yang kesekian kalinya dia meminta. Tapi ibunya hanya bilang, “nanti dulu, ibu masih belum punya uang.” Matahari mulai meninggi di atas awan. Kini Emi merasa kecewa terhadap sikap ibunya dengan apa yang ia pinta.
Pagi itu, tas berwarna pink melenggang gontai mengikuti langkahnya. Sorot matanya tajam tertuju ke arah jalan yang diikutinya. Lima menit kemudian dia akan sampai di sekolah. Kira-kira begitu.
“Emi, Emi...,” dari arah kejauhan kedengaran suara memanggil-manggil Emi, dia setengah berlari seperti mengejarnya. Emi menoleh ke belakang, sejenak diam menunggunya.
“Ira,” Emi menyapanya dengan tampak raut wajah yang sulit ditebak.
“Emi, kamu kenapa?” Ira bertanya dengan ekspresi wajah tak sabar ingin tahu sebenarnya yang terjadi padanya. Wajah Emi seakan menyimpan bercak tangis yang baru saja dilakoninya. Tapi Emi diam seolah tak mendengarnya. Tentu matahari semakin panas menampar wajah mereka. Tak ada sedikit bayangan yang dapat mereka teduh untuk mendinginkan kepalanya. Ira mengajak Emi memasuki ruang kelas, Emi pun tidak menolaknya. Mereka berjalan menuju ruang kelas, tanpa sedikit sapa-tanya di antara merka berdua. Namun hati kecil Ira bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Emi. Mengapa tiba-tiba dia seakan menyimpan bercak tangis di wajahnya?
Emi diam, hanya mengigit-gigit telunjuk jarinya yang begitu lentik. Nanar wajahnya tak menentu. Sepertinya ada sesuatu yang sedang ia pikirkan teramat dalam. Emi kelihatan sungguh bingung. Yang ada di pikirannya hanya ingin memiliki sepatu baru ketika upacara tujuh belas Agustus nanti, layaknya teman-temannya.
***
“Emi, Emi sabar dulu ya, nanti kalau ibu punya uang pasti Emi ibu belikan Sepatu baru.” Moya, ibu Emi mencoba menenangkan. Emi tetap diam bergeming.
“Tapi bu, Emi inginnya di upacara kemerdekaan,” jawab Emi lirih, kelihatan pelupuk matanya digenangi air keruh yang hampir muntah. Moya seakan-akan kebingungan. Dia tidak bisa berucap apa-apa. Dia hanya kasihan saja sama Emi. Moya merasa sangat tidak tega melihat anaknya yang manja itu menangis. Seharusnya Emi merasakan kebahagiaan seperti teman-temannya. Setiap tangisan yang ia lempar, dapat Moya rasakan.
“Semua teman-teman Emi sudah memiliki sepatu baru, bu. Emi…,?” dia diam tidak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya agak sedikit layu.
Benar! Semua teman-teman Emi memang sudah pada memiliki sepatu baru, hanya Emi yang belum membelinya, ibu Emi mengulang kata-kata Emi dalm hatinya. Sekarang sudah tanggal sepuluh, satu minggu lagi pelaksanaan upacara tujuh belas Agustus, Moya berbisik pelan, sambil menghitung-hitung telunjuk jarinya.
Pagi yang belia, Moya tergesah-gesah berusaha mempersiapkan segala peralatan kerja Tasim, ayah Emi. Emi masih berbaring lemas di tempat tidurnya, dengan katup mata yang indah di pandangnya. Tasim berdiri mematung, dia ingin menghampiri, tapi takut Emi bangun dari tidurnya. Dengan bersit lirih dia melangkah ke tempat tidur Emi. Tasim mengecup keningnya dan mengusap-ngusap kepalanya, seakan dia tak tega meninggalkannya.
“Ayah berangkat, nak,” bisik Tasim lirih sebelum dia berangkat bekerja. Dia tetap duduk di samping Emi, seakan tak jadi pergi. Entahlah, terasa ada sesuatu yang tergapar tiba-tiba di tubuh Emi. Kemudian Tasim berdiri pelan, mengenakan piama ke tubuh Emi yang masih berbaring lelap.
Tasim diam berdiri di pintu kamar Emi. Dia sulit sekali melangkahkan kakinya, beranjak seakan menambah kegetiran dalam hatinya. bercak tangis seakan-akan memanggilnya. Tapi Tasim tetap tepis semua itu.
Berbagai macam rasa kerap kali menyergap hati Tasim ke arah yang paling dalam. Terutama ketika dia minta di belikan sepatu karena sepatunya benar-benar sudah tidak layak dipakai. Tasim masih berdiri menatap seruas rumah yang daun jendelanya setengah terbuka. Terlihat segelintir pakaian Emi yang masih terjemur lemas di samping rumahnya. Sama dengan Emi yang masih berbaring tak berdaya di kamar tidurnya.
 “Kalau aku sudah dapat uang, pasti Emi aku belikan sepatu baru,” bisik Tasim sebelum berangkat dengan sepasang sapi dan kuduknya. Moya hanya diam bergeming. Mana mungkin beli sepatu baru untuk Emi, buat biaya makan sehari-hari saja hampir tidak cukup. Pikir Moya dalam hatinya. Tapi dia tidak mengungkapkannya.
Pagi pun semakin cerah. dengan kicau burung-burung yang sedang menemani Emi menyapu halaman rumahnya, mengias daun-daun kering yang jatuh semalam, dan menyiram bunga-bungaan yang hampir layu sebuntuk hati Emi. Ditatapnya lagi bunga itu, Emi menyiram kembali. Dia pikir, dengan disirami air lebih banyak lagi bunga itu akan semakin cepat segar dan berbunga kembali.
Tasim, ayah Emi, sudah bersiap-siap berangkat kerja. Dia hanya seorang kuli yang penghasilannya tidak lebih dari dua puluh lima ribu dalam satu hari. Rasa-rasanya pagi sudah bertambah cerah. Udara sepertinya letih menggendong cuaca dingin. Emi sedikit tercengang, tiba-tiba ibunya memanggil dengan gaduh suara girang. Apa mungkin ibu telah membeliakan sepatu baru? desisnya. Emi segera menemui ibunya. Entah kenapa, raut wajah Emi redup tiba-tiba, dia hanya melihat satu piring nasi yang hampir basi sisa semalam, yang baru saja dituap kemudian segar kembali.
***
Moya kelihatan berwajah murung, diam merenung, wajahnya canggung. Seperti ada sesuatu yang tidak mempu dia ungkapakan. Terutama ketika diam bersama Emi. Sesuatu yang tak kuasa dia tuntaskan, saat Emi bertanya: kapan Emi akan di belikan sepatu? Lagi-lagi Moya kebingungan, dia tidak punya kepastian, kapan Emi akan dibelikan sepatu?.
Moya berusaha agar Emi tidak lagi mengingat-ingat sepatu yang pernah dia lihat dipasar. Meski sebenarnya Moya tahu kalau Emi ingin sekali memilikinya.
***
Keluarga Emi adalah orang petani. Tentu kita tahu, bagaimana susahnya menjadi buruh tani; tamparan sinar matahari tak pernah dihiraukan, terus berpacu dengan sebentuk cangkul yang kemudian di kalungkan di bahunya. Atau seperti ayah Emi yang bekerja sebagai tukang bajak. Kerjaanya sehari-hari menggelandang sapi dengan sepasang bajak di kuduknya. Dia dapat membiayai anak dan istrinya ketika menerima upah dari pekerjaannya, itu pun jika ada orang yang memintanya dia kerja.
***
Malam itu. Malam dimana Emi lewati penuh rasa pilu. Katup matanya tak memberi lelap. Hanya mendengar suara-suara aneh yang bermuara dari hutan rimba itu. suara yang hanya di manjakan oleh dendang jangkrik-jangkrik dan burung-burung malam. Sentuhan dingin angin pun semakin berpijar, bintang-bintang di langit berceceran.
“Emi, kamu masih belum tudur?” tanya ibu Emi.
“Emi belum ngantuk, bu,” suara Emi serak.
“Sudahlah, nak, ayo tidur saja. Biar beso pagi tidak kesiangan bangunnya.”
Emi berjalan lamban menuju kamarnya. Suara jangkrik-jangkrik terus singgah dan bercinta di telinga Emi. Suara itu sungguh semakin jelas tertangkap oleh gendang kuping Emi.
***
Keesokan harinya. Emi  bertemu kembali dengan Ira, ketika Emi hendak berjalan menuju ruang kelasnya. Tentu saja Ira menanyakan kembali apa yang sebenarnya terjadi pada Emi. Tapi Emi merasa malu berbagi cerita dengannya. Emi hanya bisa mengelak, kalau Emi baik-baik saja. Jelas Ira tidak mempercayainya. Melihat sebentuk wajah yang mempertontonkan lanskap hening yang berujung dari rimbun bulu matanya.
Hari begitu cepat Emi rasakan. Sementara sebagian hari akan semakin tipis. Ada sesuatu yang tak kunjung sampai, tapi harus ia katakan sama siapa? Tentang impian yang di idam-idamkan yang tak jua ditelan. “Apakah kebahagian hanya milik orang-orang kaya yang bermobil mewah dan berumah megah?” desisnya, dia masih sendiri termangu.
Tidakkah seharusnya membiarkan orang-orang gontai kemiskinan tanpa kasih sayang. Sungguh membuat kepala semakin berputar-putar, mungkinkah hari kemerdekaan akan ada sebercak tangis orang-orang buta, tuli dan semacamnya? Oh, tentu saja ada! Entah, bagaimana dengan Emi?
Satu hari sebelum menjelang hari kemerdekaan, Emi mencoba meminta lagi agar di belikan sepatu oleh ibunya. Tentu saja kerena sepatu yang selama ini dia pakai sudah sobek parah tak nyaman dipakainya. Tapi Emi sungguh bernasip malang, lagi-lagi sama seperti yang pernah dia minta di hari sebelumnya.
Emi tetap bersabar. Mungkin dia sudah mengerti tentang keadaan kedua orang tuanya. Malampun kembali lengang. Seirama dengan hembus angin yang menderu menggontai jemuran Emi yang masih basah di depan rumahnya. Emi membiarkan saja. Hanya bintang-gemintang yang Emi perhatikan. Dia ingin merenggutnya, tapi tak ada daya.
Esok paginya. Tepat di hari upacara kemerdekaan,  sebelum Emi berangkat sekolah dia biasa menyeram bunga-bungaan yang semakin layu di lihatnya. Daun-daun serta putik bunga seakan ranum, lebah-lebah yang biasanya riang gembira menghisap nektar-nektar bunga kini tak lagi mengisapnya. Hanya ada semut-semut yang berbondong-bondong entah kemana? Sepertinya semut-semut itu sedang melakukan ritual sebuah acara.
Pagi semakin belia, Emi kini bersiap-siap untuk mengekuti upacara kemerdekaan 17 Agustus. Walau sebenarnya di hati Emi tersimpan segelintir sedih saat melihat sepatunya yang sobek semakin parah. Tapi terpaksa dia harus memakainya.
“Emi... Emi...” teriak Moya, ibu Emi, kedengaran sedang memanggil-manggil. Ah, paling ibu hanya ingin menyuru Emi cepat-cepat  sarapan pagi, Pikir Emi. Tiba-tiba Emi tak sengaja melihat ibunya memegan kardus yang sedikit terbuka. Ada sebuah tali melilit dari dalam kardus tak sengaja. Tentu saja itu adalah sepatu yang selama ini Emi idam-idamkan. Emi berwajah girang, senyum geli bukan di klitikin. Emi sungguh-sungguh senang, riak tangis tak lagi ia rasakan.
Entahlah, upah dari pekerjaannya yang Tasim belikan untuk Emi atau..., Ah, Moya segera membuang dugaan-dugaan aneh dalam kepalanya.

Yogyakarta,  Agustus 2009.



(Sumber KR Bisnis, 06 Desember 2009)