Eksistensi dan Idealisme Cerita Pendek

Oleh: Marsus

Beberapa minggu yang lalu, saya membaca sebuah esai yang berjudul “Cerita Pendek yang Melelahkan” ditulis oleh Fajri Andika di salah satu koran terbitan Jogja. Dalam esai tersebut, sependek yang saya pahami, Fajri mengkritik kualitas sebuah tulisan (cerpen), yang cenderung bertemakan cinta atau romantisme. Juga cerpen yang kerap mengikuti selera redaktur sebuah media. Selain itu yang membuat saya ingin mengomentarinya, menurutnya, cerpenis saat ini menulis cerpen hanya karena ada media massa yang memberikan rubrik sastra dan honorarium. Semisal rubrik tersebut ditiadakan, niscaya cerpenis akan berhenti pula menulis cerpen. Begitulah pemahaman saya atas esai tersebut.

Bagi saya pendapat itu tidak seutuhnya benar atau salah. Tetapi, disadari atau tidak, pada hakikatnya cerpen bukanlah semata cerita pendek yang ditulis untuk menghibur penikmatnya. Tetapi lebih dari itu, cerpen merupakan ungkapan kegelisahan dari hati nurani penulis atas realitas yang ditangkap sepanjang perjalanan hidupnya. Dan sebagai jalan lain yang lebih ‘halus’ untuk mengkritik realitas sosial yang pada masanya kerap tidak sejalan dengan nilai-nilai dan norma kemanusiaan yang ada. Artinya, cerpen bukan hanya semata kisah atau dongeng yang habis dibaca lalu ‘dibuang’. Tetapi perlu perenungan lebih dalam untuk memperoleh hakikat dan makna yang dikandungnya.

Jika pun dalam esainya Fajri menyoroti cerpen yang cenderung bertemakan cinta dan romantika kehidupan saat ini, bagi saya hal itu lebih pada proses kreatif cerpenis yang masih butuh eksistensi menulis. Dan menjadi suatu kewajaran jika dalam proses kreatif tersebut, tema cerpen yang diusung cenderung bertemakan cinta dan kasih sayang. Lebih-lebih bagi penulis awal yang masih terngiang-ngiang dengan perjalanan masa-masa asmaranya.

Mungkin, bagi cerpenis pemula yang menuliskan tema-tema ramantisme, memang masih hanya itu yang berhasil mereka rekam untuk dituangkannya. Tetapi, lambat-laun jika pun mereka benar-benar ingin serius ‘hidup’ di dunia cerpen (menjadi cerpenis), mustahil akan terus menerus menulis tema percintaan ‘alay’ seperti halnya dalam film FTV. Jika pun akhirnya memilih menulis tema cinta, cinta yang akan ditulis tidak akan demikian. Sebab, seorang cerpenis akan selalu haus pada kesempurnaan hidup dan senantiasa mencari, memperbaharui, membawa cinta itu pada yang hakiki, yang tidak hanya cinta monyet dan cinta-cinta picisan.

Selain dari pemahaman saya yang sedikit itu, seandainya saja Fajri melihat lebih luas dan lebih cermat lagi, sebenarnya masih sangat banyak cerpenis muda yang bisa kita temukan yang tidak hanya melulu menulis tentang cinta dan romantisme. Sebut saja cerpenis muda yang ada di Jogja, seperti; Sunlie Thomas Alexander, Raudal Tanjung Banua, Mahwi Air Tawar, Indrian Koto, Aziza Hefni, Eko Triono, Gunawan Maryanto, dan masih banyak lagi cerpenis lain yang telah teruji kualitas karyanya dalam kancah kesusastraan nasional, bahkan internasional.

Masih mengenai tema cerpen romantisme. Lagi-lagi saya memahami itu sebuah proses yang masih membutuhkan eksistensi, yang perlu kita hargai bagi cerpenis pemula. Dan bagi cerpenis yang lebih ‘tua’, bukankah seharusnya memberi masukan dan pelajaran pada penulis yang lebih ‘muda’? Dengan begitu, khazanah kesusastraan, khususnya cerpen di Indonesia tidak ‘mati’ sehabis dibaca. Dan tidak saling sikut-menyikut, kritik sana-kritik sini, sementara yang mengkritik hanya mengkritik saja, tidak memberikan masukan kecuali kritikan belaka.

Lagi, mengenai pendapat Fajri dalam esainya yang mengatakan, bahwa cerpenis saat ini menulis seolah-olah hanya mengikuti selera redaktur. Mungkin, itu sah-sah saja. Tetapi, yang perlu dipahami bahwa, setiap redaktur bukan berarti tidak mempunyai idealisme dalam menyeleksi cerpen yang hendak dimuat dalam rubrik sastranya. Jayadi Kastari, Redaktur Koran Kedaulatan Rakyat, misalnya, ia berpandangan, cerpen bukan hanya sebuah cerita ‘mati’ yang habis dibaca lalu dikubur. Cerpen mengandung nilai dan kritik sosial atas realitas yang terjadi pada masanya (bincang-bincang bersama Jayadi Kastari di kontor KR Jogja, Kamis 04/04/13).