Oleh: Marsus
Seorang kakek dengan wajah beku. Sekujur tubuhnya basah penuh keringat panas. Raut mukanya selalu terkulai. Hampir setiap hari menjelang senja, kakek itu duduk di pinggir jalan di depan supermarket. Tak peduli akan terik matahari yang menyengat tubuhnya, atau pada hujan yang membuat dirinya basah kuyup. Dia tetap setia duduk tegap dengan sebuah gerobak di sampingnya. Sesekali waktu berdiri mengamati orang berlalu lalang untuk sekedar mencari perhatian.
Seperti biasa. Setiap kali kulihat. Hanya satu-satunya kaos oblong warna gelap yang sering dia kenakan. Juga celana komprang setengah lutut yang sudah kumal. Tapi kakek itu tak merasa risih dengan penampilannya. Dia tetap sering mengumbar senyum dengan membuka bibir lebar-lebar kepada setiap orang yang melintas di depannya. Maski orang-orang yang melihatnya tak sedikit pun membalas senyum yang dilemparnya. Malahan kadang cuek saja memalingkan mukanya.
Kali itu wajah mentari sudah hampir tenggelam di ujung barat. Dikelilingi lanskap awan merah kekuning-kuningan. Membentuk ceceran-ceceran. Sejalan dengan cercahan keringat basah baju lusuh kakek itu. Dia terseak-seok dengan gerobak yang terasa sangat berat di dorongnya. Meski ukuran gerobak yang ia dorong tidak terlalu besar. Lagi pula tidak begitu berat. Namun yang membuat kakek itu berjalan lamban—terseak-seok, barangkali karena sudah beberapa hari ini ia tak merasakan sesuap nasi pun yang dapat ditelannya.
Entah sudah hitungan keberapa kalinya aku melihat kakek itu. Yang setiap kali kulihat, dalam gerobaknya terdapat banyak tumpukan jagung dan kacang. Sesekali juga kepulan asap putih kehitaman yang meliuk-lingkar di atas gerobak itu.
Pertama aku melihatnya, ketika aku hendak memasuki supermarket. Tidak jauh dari tempatku. Paling hanya perjalanan beberapa menit saja. Awal-awal sebelumnya, maskipun aku sering berbelanja ke tempat itu, tidak pernah sekalipun memergoki kakek yang sedang duduk dengan sebuah gerobak lusuh berisi jagung dan kacang tersebut.
Ya, kakek tua yang sudah berusia tua legam. Dengan raut wajah keriput; pipinya, dahinya, di sebagian dagunya, kedua lengan tangannya, dan hampir di sekujur tubuhnya yang sudah membentuk garis-garis peta. Rambutnya yang keprakan. Sesekali kelihatan putih mengkilat ketika terbias sinar mentari di waktu sore. Dari kedip kedua matanya, pelan-pelan menampakkan bulu alis yang sudah tinggal satu-satu. Serta kumis tipis putih memanjang tak karuan.
Dia masih duduk membeku. Di sampingnya sebuah gerobak yang terbuat dari kayu. Setiap kali ada orang melintas, kakek itu tak lupa membuka bibirnya lebar-lebar. Mencuri perhatian dari keramaian banyak orang. Aku hanya sedikit tersenyum. Terutama ketika dia membuka bibirnya lebar-lebar. Kelihatan jelas dari kejauhan mataku, kalau gigi kakek itu sudah tinggal satu-satu. Dan pipi hitamnya yang keriput, mengingatkanku pada sebuah terong bakar yang menjadi kesukaan nenekku dulu.
Sore itu matahari bersinar lebih cerah. Gumpalan awan yang biasa berwajah mendung, kini berubah menjadi ceceran awan putih kemerahan. Maskipun beberapa hari di kampung ini sering di guyur hujan, tapi kali itu tak ada tanda-tanda sedikit pun kalau hujan akan segera bertandang.
Kakek itu tetap saja mematung. Menunggu seseorang, kalau-kalau ada yang ingin membeli jagung dan kacang yang ia jual. Ah, tapi harapan itu sia-sia saja. Maskipun banyak orang yang melintas di depan gerobak tersebut, tak seorang pun yang sekali-sekali menawarnya. Dan kemudian membelinya. Sebelum akhirnya kakek itu pergi terseak-seok mendorong gerobak yang entah mau dibawa ke mana?
***
Keesokan harinya, aku kembali ke supermarket. Mencari berbagai camilan-camilan. Setelah beberapa menit berselang, ketika hendak membayar semua barang-barang belanjaan serta berbagai camilan, aku terkejut seketika, saat kulihat sosok tubuh seseorang yang menyerupai sosok kakek penjual jagung dan kacang itu.
Ah, tidak! Bukan! Batinku dalam-dalam membantah.
Spontan aku jadi teringat kembali pada kakek yang ketemui di depan supermarket itu. Setelah kubayar semua barang belanjaanku, aku langsung keluar menuju pintu sepermarket. Sejenak aku diam di depannya. Sesekali kupandangi di sekitar sepermarket itu, kalau-kalau kakek yang berjualan jagung serta kacang itu sudah datang, dan aku bermaksud untuk memborongnya.
Ah, sudah berjam-jam aku menunggu kedatangan kakek itu. Tapi dia tak muncul-muncul. Kupikir, mungkin dia sedang menjajakan jagung dan kacangnya ke tampat lain. Dan entah sampai kapan kakek itu akan datang. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Berselang beberapa hari. Ketika senja terbias lanskap hening di mataku. Dan aku sudah mulai beranjak menyisihkan kedua kakiku. Aku tertegun sejenak. Ketika kulihat dari arah kejauhan mataku, ada seorang kakek yang sedang mendorong gerobak yang berisi jagung dan kacang. Aku tersenyum. Ternyata aku tidak sia-sia menunggu kedatangan kakek itu sedari tadi. Aku duduk menunggunya sambil melihat dengan tatapan sangat panjang. Sesekali kakek itu seperti mengulum senyum dari arah kejauhan.
Ah, tapi aku benar-benar merasa kecewa setelah kakek itu sudah sampai di hadapanku. Dan ternyata dia bukanlah kakek yang selama ini aku tunggu. Aku sungguh benar-benar kecewa. Dan kekecewaan itu tak mampu kubendung hingga membuat batinku diserbu dengan beberapa hal yang membuat hatiku bertanya-tanya. Kemanakah perginya kakek itu?
Yogyakarta, Juli 2010.
(Sumber: Harin Jogja, 14 Agustus 2010)
Seorang kakek dengan wajah beku. Sekujur tubuhnya basah penuh keringat panas. Raut mukanya selalu terkulai. Hampir setiap hari menjelang senja, kakek itu duduk di pinggir jalan di depan supermarket. Tak peduli akan terik matahari yang menyengat tubuhnya, atau pada hujan yang membuat dirinya basah kuyup. Dia tetap setia duduk tegap dengan sebuah gerobak di sampingnya. Sesekali waktu berdiri mengamati orang berlalu lalang untuk sekedar mencari perhatian.
Seperti biasa. Setiap kali kulihat. Hanya satu-satunya kaos oblong warna gelap yang sering dia kenakan. Juga celana komprang setengah lutut yang sudah kumal. Tapi kakek itu tak merasa risih dengan penampilannya. Dia tetap sering mengumbar senyum dengan membuka bibir lebar-lebar kepada setiap orang yang melintas di depannya. Maski orang-orang yang melihatnya tak sedikit pun membalas senyum yang dilemparnya. Malahan kadang cuek saja memalingkan mukanya.
Kali itu wajah mentari sudah hampir tenggelam di ujung barat. Dikelilingi lanskap awan merah kekuning-kuningan. Membentuk ceceran-ceceran. Sejalan dengan cercahan keringat basah baju lusuh kakek itu. Dia terseak-seok dengan gerobak yang terasa sangat berat di dorongnya. Meski ukuran gerobak yang ia dorong tidak terlalu besar. Lagi pula tidak begitu berat. Namun yang membuat kakek itu berjalan lamban—terseak-seok, barangkali karena sudah beberapa hari ini ia tak merasakan sesuap nasi pun yang dapat ditelannya.
Entah sudah hitungan keberapa kalinya aku melihat kakek itu. Yang setiap kali kulihat, dalam gerobaknya terdapat banyak tumpukan jagung dan kacang. Sesekali juga kepulan asap putih kehitaman yang meliuk-lingkar di atas gerobak itu.
Pertama aku melihatnya, ketika aku hendak memasuki supermarket. Tidak jauh dari tempatku. Paling hanya perjalanan beberapa menit saja. Awal-awal sebelumnya, maskipun aku sering berbelanja ke tempat itu, tidak pernah sekalipun memergoki kakek yang sedang duduk dengan sebuah gerobak lusuh berisi jagung dan kacang tersebut.
Ya, kakek tua yang sudah berusia tua legam. Dengan raut wajah keriput; pipinya, dahinya, di sebagian dagunya, kedua lengan tangannya, dan hampir di sekujur tubuhnya yang sudah membentuk garis-garis peta. Rambutnya yang keprakan. Sesekali kelihatan putih mengkilat ketika terbias sinar mentari di waktu sore. Dari kedip kedua matanya, pelan-pelan menampakkan bulu alis yang sudah tinggal satu-satu. Serta kumis tipis putih memanjang tak karuan.
Dia masih duduk membeku. Di sampingnya sebuah gerobak yang terbuat dari kayu. Setiap kali ada orang melintas, kakek itu tak lupa membuka bibirnya lebar-lebar. Mencuri perhatian dari keramaian banyak orang. Aku hanya sedikit tersenyum. Terutama ketika dia membuka bibirnya lebar-lebar. Kelihatan jelas dari kejauhan mataku, kalau gigi kakek itu sudah tinggal satu-satu. Dan pipi hitamnya yang keriput, mengingatkanku pada sebuah terong bakar yang menjadi kesukaan nenekku dulu.
Sore itu matahari bersinar lebih cerah. Gumpalan awan yang biasa berwajah mendung, kini berubah menjadi ceceran awan putih kemerahan. Maskipun beberapa hari di kampung ini sering di guyur hujan, tapi kali itu tak ada tanda-tanda sedikit pun kalau hujan akan segera bertandang.
Kakek itu tetap saja mematung. Menunggu seseorang, kalau-kalau ada yang ingin membeli jagung dan kacang yang ia jual. Ah, tapi harapan itu sia-sia saja. Maskipun banyak orang yang melintas di depan gerobak tersebut, tak seorang pun yang sekali-sekali menawarnya. Dan kemudian membelinya. Sebelum akhirnya kakek itu pergi terseak-seok mendorong gerobak yang entah mau dibawa ke mana?
***
Keesokan harinya, aku kembali ke supermarket. Mencari berbagai camilan-camilan. Setelah beberapa menit berselang, ketika hendak membayar semua barang-barang belanjaan serta berbagai camilan, aku terkejut seketika, saat kulihat sosok tubuh seseorang yang menyerupai sosok kakek penjual jagung dan kacang itu.
Ah, tidak! Bukan! Batinku dalam-dalam membantah.
Spontan aku jadi teringat kembali pada kakek yang ketemui di depan supermarket itu. Setelah kubayar semua barang belanjaanku, aku langsung keluar menuju pintu sepermarket. Sejenak aku diam di depannya. Sesekali kupandangi di sekitar sepermarket itu, kalau-kalau kakek yang berjualan jagung serta kacang itu sudah datang, dan aku bermaksud untuk memborongnya.
Ah, sudah berjam-jam aku menunggu kedatangan kakek itu. Tapi dia tak muncul-muncul. Kupikir, mungkin dia sedang menjajakan jagung dan kacangnya ke tampat lain. Dan entah sampai kapan kakek itu akan datang. Sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
Berselang beberapa hari. Ketika senja terbias lanskap hening di mataku. Dan aku sudah mulai beranjak menyisihkan kedua kakiku. Aku tertegun sejenak. Ketika kulihat dari arah kejauhan mataku, ada seorang kakek yang sedang mendorong gerobak yang berisi jagung dan kacang. Aku tersenyum. Ternyata aku tidak sia-sia menunggu kedatangan kakek itu sedari tadi. Aku duduk menunggunya sambil melihat dengan tatapan sangat panjang. Sesekali kakek itu seperti mengulum senyum dari arah kejauhan.
Ah, tapi aku benar-benar merasa kecewa setelah kakek itu sudah sampai di hadapanku. Dan ternyata dia bukanlah kakek yang selama ini aku tunggu. Aku sungguh benar-benar kecewa. Dan kekecewaan itu tak mampu kubendung hingga membuat batinku diserbu dengan beberapa hal yang membuat hatiku bertanya-tanya. Kemanakah perginya kakek itu?
Yogyakarta, Juli 2010.
(Sumber: Harin Jogja, 14 Agustus 2010)