Gambar dalam Sebuah Kotak


Oleh: Marsus


Jika kalian tanpa sengaja menjumpai perempuan cantik rupawan setengah baya. Model rambut lurus dipotong setinggi bahu. Sepasang matanya bundar sebulat telor.  Kulitnya kuning halus sehalus sutera. Maka cepat-cepatlah kalian cegat dan ajak ia pulang ke rumahmu. Itu pertanda keberuntungan besar yang akan segera merubah hidupmu.
Mula-mulanya aku tidak percaya dengan kabar itu. Meski sempat diperlihatkan selembar koran tentang berita kehilangan perempuan tersebut. Bahkan lengkap dengan fotonya. Tetapi pikirku, paling itu hanya sebuah kabar alibi saja yang dapat mengelabuhi siapa pun yang membacanya. Sebab tidak hanya satu dua kali akhir-akhir ini aku sering kenak tipu dengan giuran berbagai info yang sering nongol baik lewat SMS maupun kabar di media massa. Bukan saja dikenak tipuan belaka, melaikan sempat uang ratusan rupiah melayang tanpa ada ujung pangkalnya.
“Kalau berita itu benar, Kawan! Kau tidak perlu ragu dan bimbang.”
“Apa mungkin hanya dengan menemukan seorang perempuan, aku akan diberi hadiah rumah lengkap dengan fasilitasnya pula? Ah, bukannya omong kosong!”
“Tidak, Kawan! Sekali lagi tidak perlu ragu dan khawatir! Saya jamin itu benar!.”
***
Kabarnya, perempuan cantik rupawan itu berasal dari kampung Manglak, daerah terpencil di pesisir Pulau Garam. Gadis berwajah rembulan itu sudah ditinggal pergi ibunya sewaktu ia baru menginjak umur sembilan tahun. Ibunya pergi menghadap Ilahi karena kecelakaan. Ia merupakan putri satu-satunya dari seorang pengusaha terkenal di kampungnya.
Hasanah, begitu orang memanggil nama perempuan tersebut. Ia menjadi sosok harapan satu-satunya untuk meneruskan keluarganya. Meski dia masih sebagai sosok wanita kecil dan polos saat itu. Namun ayahnya menginginkan ia tetap menjadi perempuan yang tegar dan mampu mengemban semua warisan yang akan diberikan kepadanya kelak ketika ayahnya pergi menyusul ibunya. Dia pun juga selalu berusaha menggantikan posisi ibunya, terutama saat malam tiba yang mana ibunya tak lupa memeluk dan bercerita tentang dongeng-dongeng lucu, haru, dan dongeng menakutkan. Sehingga kadang semalaman ia tidak bisa tidur pules karena ketakutan saat teringat akan dongeng-dongeng yang membuat ia ngeri dan merinding.
Di saat-saat itulah Hasanah sering teringat menanyakan ibunya. Tetapi sang ayah cepat mengapusinya dengan cerita lucu yang membuat ia senyum dan tertawa. Kadang juga bercerita mengharukan yang membuat sepasang mata Hasanah membelalak menatap langit-langit kamarnya, sesekali memikirkan sesuatu, entah apa yang sedang Hasanah pikirkan saat dia melotot dengan tatapan tajam tertuju ke langit-langit kamarnya. Sembari sering melirik foto ibunya yang berjajar bergantung di dinding kamarnya.
Lalu sang ayah mendekapnya. Mengusap ubun-ubunnya sambil menyanyikan lagu, dung dung dung anak mun tak tedung ejhemuana*) berulang kali nyanyian itu dilantunkan. Hingga kemudian sepasang mata Hasanah yang bening mulai terlihat redup dan lebam. Dan tak lama kemudian ia pun memejamkan sepasang matanya yang berkaca-kaca. Lebur dengan mimpi-mimpi.
***
Siapa yang tidak tertarik dan tergiur dengan kabar iming-iming hadiah sebuah rumah yang akan diberikan cuma-cuma jika menemukan Hasanah, perempuan yang hilang itu? Semua orang pasti dengan tangan ringan mengambil atau mengelupas gambar perempuan yang ditempel di papan-papan informasi, di tiang-tiang listrik, di pos ronda, di pos polisi, di depan toko-toko dan mall, di sebuah dinding-dinding pinggir jalan, di persimpangan jalan, di dinding depan rumah-rumah orang, dll.
Tepat di papan informasi, disamping pos ronda, gambar Hasanah ditempel berjajar dengan salah satu gambar calon kepala desa. Mawardi terkejut melihat dua gambar lelaki dan perempuan yang berjajar tersebut. Bukankah perempuan yang hilang itu adalah Hasanah, anak dari calon kepala desa yang ditempel sejajar disampingnya? Tanya Mawardi, pemuda desa yang sedang nongkrong di pos ronda.
“Aku bilang apa, Kawan? Kau tidak perlu khawatir berita itu bohong. Perempuan itu anak dari calon kepala desa yang kaya itu. Dia ingin anak kesayangannya lekas kembali pulang menyaksikan ayahnya ketika dia duduk di kursi dalam pemilihan kepala desa besok.”
Kebenaran kabar itu semakin kuat dan hampir semua orang mempercayainya. Bahkan orang-orang lebih tertarik dan percaya dengan hadiah dari berita tersebut (sebuah rumah lengkap dengan isinya)—dari pada ungkapan visi-misi dan janji-janji para calon kepala desa (yang belum pasti) yang tertulis di baliho-baliho yang ditempel di mana-mana.
Semua orang berlomba-lomba mencari tahu tentang keberadaan Hasanah. Mulut ke mulut terus tak henti-hentinya memperbincangkan prihal perempuan cantik itu. Sehingga perbincangan tersebut semakin marak terjadi mengalahkan ramainya perbincangan tentang pemilihan kepala desa. Bahkan sepertinya, semua orang lebih memilih beramai-ramai untuk mendapatkan Hasanah daripada mengikuti kampanya untuk memenangkan calon kepada desa.
Akhirnya, yang kini terjadi bukan lagi persaingan antar satu calon kepala desa dengan calon kepala desa yang lain. Melainkan setiap orang lebih menginginkan dan berusaha mencari perempuan ayu itu yang hilang beberapa hari lalu. Ditambah lagi dengan adanya kabar, dari mulut ke mulut, sebenarnya kabar ini rahasia, tapi sudah terlanjur banyak yang mengetahui. Katanya, jika Mastawi, bapak Hasanah, yang menjadi calon kepala desa itu, kalau dia terpilih menjadi kepala desa, bagi siapa pun yang menemukan anak gadisnya yang hilang itu akan diangkat menjadi Carek. Dan jika anak gadisnya pun memang mau, boleh menikahinya.
Awalnya kabar ini hanya satu dua orang yang tahu. Tapi entah siapa yang menyebar luaskan sehingga mayoritas masyarakat di kampung Manglak hampir semuanya tahu. Maka dari itu, bukan hanya dari kalangan anak muda yang berlomba-lomba mencari anak gadis Mastawi, bahkan kakek-kakek pun tak ayal berangan-angan untuk mendapatkan gadis cantik bermata cahaya itu.
“Lumayan, Kawan, jadi Carek tidak perlu kerja keras ke sawah setiap hari.” Ujar sebagian warga kampung Manglak yang sedang ngrumpi di pos ronda.
“Tidak semudah ngomong begitu, Kawan. Kamu saja tidak bisa baca-tulis.”
“Hahaha.....” Mereka tertawa terbahak-bahak.
***
Mastawi sedih! Pelaksanaan pemilihan kepala desa sudah dekat di ujung mata. Sementara belum ada kabar sedikitpun keberadaan putri satu-satunya yang sangat ia sayangi. Yang sangat ia damba-dambakan menjadi satu-satunya orang penerus hidupnya.
Putrinya pergi tanpa ada sebab-musebab yang jelas. Ia pergi tanpa pamit, tanpa diketahui Mastawi ia pergi ke mana. Hanya beberapa hari sebelum ia menghilang sempat berdabet dengannya. Itu pun hanya mengenai keberatan putrinya terhadap sang ayah yang mencalonkan diri menjadi kepala desa.
“Sebenarnya saya tidak senang ayah mencalonkan diri menjadi kepala desa.” Kata Hasanah saat itu.
“Kenapa?”
“Tidak senang saja.”
“Ya tidak senang kenapa? Jadi kepala desa menjadi dambaan setiap orang di sini. Hanya saja mereka tidak punya cukup uang untuk mencalonkannya. Bahkan untuk memenangkannya.”
“Menjadi peminpin tidak hanya dengan uang. Empat sifat harus dimilikinya; sidiq, amanah, tabligh, fathanah.” Ujar Hasanah.
Sang ayah terdiam. Dia tidak paham sebenarnya apa yang dimaksud Hasanah. Setelah sebentar, Hasanah pergi meninggalkan ayahnya memasuki kamar. Namun saat itu Hasanah masih kelihatan biasa-biasa saja tidak ada tanda-tanda atau rencana untuk minggat dari rumah. Dua-tiga hari berselang barulah ia tanpa pamit pergi menghilang.
***
Sudah hampir lima belas hari Hasanah pergi dari rumahnya. Namun sampai saat ini belum ada seorang pun yang memberi kabar tentang keberadaannya. Padahal, satu hari dari semenjak ia pergi, Mastawi langsung mengabarkannya baik lewat koran, majalah, radio, tv, maupun pengumuman yang dia buat sendiri yang diprint dan ditempel diseluruh kampung dan desa-desa sekitar.
“Mungkin ada yang sengaja menculiknya?” Kata seseorang.
“Iya, bisa saja ada politik dibalik semua ini, Kawan?” Celetuk yang lain.
“Mat Nor, Ridawi, Zekri. Ah, tidak mungkin!” Ujar Mastawi menyebut nama-nama calon saingannya.
“Mereka sahabat-sahabat dekat saya sendiri.” Tambahnya.
“Dalam dunia politik tidak mengenal sahabat. Yang diinginkan hanya kemenangan dan kekuasaan.” Sanggah yang lain.
Mastawi yang hanya lulusan SD kembali terdiam. Dia tidak mengerti apa yang dimaksud politik tadi. Dalam benaknya hanya berharap, putrinya tidak sengaja diculik oleh orang. Dan misal pun memang sengaja diculik, semoga saja tidak sampai disakiti atau dianiaya dalam bentuk penganiayaan apa pun.
Satu hari menjelang pelaksanaan pemilihan kepala desa. Di malam harinya rumah Mastawi ramai dengan kunjungan orang dari berbagai daerah. Ada yang mengaji surat Yasin dan dilanjutkan dengan Tahlil bersama. Dikhususkan kepada Mastawi agar dia selamat dan meraih kemenangan. Ada juga yang sedang mengatur strategi. Bagaimana sistematika pelaksanakan pemilihan calon untuk memenangkannya. Dan ada juga yang tengah membincangkan putri Mastawi yang belum juga kembali, termasuk juga Mastawi sendiri yang ikut membicarakannya.
***
Pagi-pagi buta, lantunan surat Yasin dan Tahlil menggiang kembali. Di tengah-tengah bundaran orang-orang yang berkerumun membacakan ayat-ayatNya itu, ada semangkok air kembang tujuh rupa yang semerbak harumnya menyeruap. Usai melantunkan surat Yasin dan Tahlil, secara bergiliran satu persatu membacakan doa, lalu meniupkannya ke dalam mangkok yang berisi air kembang tujuh rupa tersebut. Lalu ditaburkannya ke sekujur tubuh Mastawi seiring keberangkatannya menuju tampat pemilihan.
Tetapi, sebenarnya hati Mastawi serasa sangat berat untuk melangkah. Dia teringat jelas akan putrinya yang sampai saat ini belum ada kabarnya. Di lain sisi dia juga teringat akan istrinya yang sudah meninggal dunia beberapa tahun silam. Dia teringat pesan istrinya untuk menjaga dan mendidik anaknya baik-baik. Tetapi sekarang, anaknya malah menghilang entah dimana?
Mastawi berjalan didampingi para pelopornya menuju tempat duduk yang telah disediakan di atas panggung. Di sana tiga orang; Mat Nor, Ridawi, dan Zekri telah duduk rapi dengan senyum tipis menyambut kedatangan Mastawi. Tak lama kemudian, Mastawi juga duduk berjajar mendampingi tiga temannya yang sama-sama menjadi saingannya.
Pemilihan atau pencoblosan surat suara sudah usai. Kemudian hendak dilaksanakanlah penghitungan hasil suara dari masing-masing empat calon kepala desa tersebut. Dengan disaksikan semua orang yang hadir di tempat tersebut. Lalu diambilah kotak suara yang masih terkunci rapat dan berisi surat suara hasil mencoblosan. Semua orang melotot dengan tatapan mata tajam tanpa kedipan. Kalau-kalau takut ada kecurangan yang muncul dari tangan-tangan seseorang. Kotak surat suara dibuka lebar. Semua orang boleh menyaksikannya tanpa ada sesuatu hal yang disembunyikan.
Penghitungan surat suara hampir dimulai. Ada sekitar empat atau lima orang yang bertugas untuk membuka dan membacakan hasil surat suara, serta untuk mencatatnya di papan tulis. Lipatan surat suara yang pertama dibuka. Namun sebelum dibaca oleh seseorang yang bertugas. Dia terhenyak, ada yang aneh dari hasil surat suara tersebut. Heran! Bukan surat suara yang terlihat di genggaman tangannya, tetapi selembar gambar Hasanah, yang persis dengan gambar yang ditempel di papan informasi yang sering diambil oleh setiap orang.
Semua orang yang hadir tak percaya dan penasaran. Mereka mencoba buka lipatan surat suara yang lain. Ternyata juga gambar Hasanah yang muncul. Ia coba buka lipatan surat suara lagi, lagi, dan lagi, dan seterusnya, ternyata tetap sama, gambar Hasanah yang ada dalam kotak surat suara tersebut.
Orang-orang pada kebingungan. Semuanya terheran-heran menyaksikan peristiwa itu. Mereka tidak percaya. Namun kenyataannya memang begitu adanya. Entah semua orang yang mencoblos memang sengaja memasukkan gambar Hasanah, perempuan yang menghilang itu ke dalam kotak suara, atau......

*)Tidurlah cepat anakku, kalau tidak tidur akan dikasih jamu.

Yogyakarta, November 2011

(Sumber: Minggu Pagi, Jumat, No 34 TH 64, Minggu ke III 2011)