Gula Merah Nawari


Oleh: Marsus

Setelah matahari yang bersinar lurus di kepala Nawari mulai tergelincir. Ia bergegas pulang dari sawah dengan menyunggi segulung rumput. Lalu, sesampainya di rumah. Segulung rumput ia taru di depan kandang sapi. Kemudian menyelipkan sebilah sabit pada gedek di belakang dapur. Dan tak seberapa lama dari jedah diam Nawari menghilangkan letih dan keringat panas. Nawari melangkah ke samping dapur. Untuk mengambil beberapa pohon jambu monyet sebesar jempol kaki. Lalu menguliti kulitnya. Menaruhnya dalam sebuah tempat yang terbuat dari kayu. Kemudian menumbuknya hingga halus.
Setelah itu, Nawari melangkah memasuki dapur. Mengambil beberapa timba atau wadah nira yang terbuat dari daun siwalan. Mencucinya. Membersihkan sisa-sisa kotoran dan lumut-lumut laro (kulit pohon jambu monyet yang sudah halus), yang melekat dalam timba bercampur dengan sisa nira kemarin.
Beberapa meter dari Nawari yang sedang berdiri mengayun-ayun timba membersihkan kotoran itu. Usman, suaminya, sedang mengasah sebilah sabit seukuran bulan sabit. Sabit kecil dan tajam itu ia asah pada kayu asah dengan memakai campuran abu. Sabit tersebut ia gunakan untuk mengiris sedikit demi sedikit mayang-mayang pohon siwalan ketika ia menyadap nira.
Semua peralatan untuk menyadap sudah siap. Usman tinggal berangkat ke beberapa pohon siwalan yang akan diambil niranya. Ada sekitar dua puluh pohon siwalan harus ia naiki setiap kali menyadap. Dua kali dalam sehari, pagi dan sore Usman memanjat pohon siwalan tersebut untuk mengambil niranya.
Usman beranjak sembari menyelipkan sebilah sabit pada sarung sabit yang terbuat dari kayu yang ditaru di punggungnya. Sesekali mengambil timba yang sudah di cuci oleh istrinya. Dan tak lupa juga membawa laro yang ada dalam wadah yang terbuat dari tumpurung kelapa. Nawari yang diam di bawah pintu dapur. Lalu berdiri saat Usman mulai melangkah meninggalkannya.
Usman melanjutkan langkahnya setelah menoleh sejenak dengan mengulum senyum pada istrinya. Hari telah menunjukkan jam empat sore. Sekitar tiga sampai empat jam suaminya itu menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Belum lagi Nawari untuk mengolah nira. Hingga larut malam pun ia harus menahan kantuk untuk memasak nira agar bisa menjadi gula merah.
Adzan magrib berkumandang. Usman turun dari ketinggian pohon siwalan. Lalu membawa pulang hasil nira yang disadapnya. Untuk kemudian dimasak oleh istrinya.
***
Malam tiba seperti biasa. Nawari menyaring nira terlebih dahulu sebelum menuangkannya ke dalam panci besar tempat memasak. Lalu ia nyalakan api dalam tungku. Dengan menggunakan daun kering pohon siwalan dan beberapa kayu bakar yang menumpuk disamping tungku.
Nawari duduk di depan tungku menunggu nira yang ia masak. Tumpukan kayu bakar yang berserakan, kini sudah tinggal sedikit. Pertanda tak lama lagi nira akan menjadi adonan tangguli yang harus diaduk dan terus diaduk. Untuk kemudian adonan tersebut menjadi gula dan ia tuangkan pada subauh wadah yang terbuat dari tempurung kelapa.
Usai memasak nira. Nawari mengambil beberapa timba yang menggantung di samping pintu dapur gedek. Lalu mencucinya. Membersihkan semua kotoran dalam timba itu. Agar hasil gula tersebut tetap bagus dan enak.
Nawari melangkah keluar dari dapur. Di gang antara rumah dan dapurnya. Usman tergeletak tidur di atas lincak dari anyaman bambu. Beralas tikar dari daun siwalan. Nawari pun tak kuat menahan kantuk. Lalu merebahkan tubuhnya di samping suaminya. Kantuk membawanya tertidur pulas meski alas tidurnya terasa keras.
***
Pagi sebelum sinar matahari lurus di kepalanya. Sebelum Usman selesai menyadap. Nyi Sahria tiba di rumah Nawari. Dia ingin membeli hasil gulanya yang dimasak semalam. Tapi sayang, Nyi Sahria telat. Gulanya sudah dibeli oleh Ja’kub. Dan biasanya Nawari memang menjual gulanya ke Ja’kub dari pada ke Nyi Sahria. Pasalnya, karena Ja’kub dengan lebih mahal membeli gulanya. Hanya saja, kurang begitu memuaskan. Ja’kub selalu tidak membayar kontan kepada Nawari bila ia membeli gulanya. Beda dengan Nyi Sahria, maskipun dia membeli gulanya dengan harga sedikit murah, ia langsung dengan membayar kontan.
Hal inilah kadang yang membuat Nawari sering bimbang. Antara menjual gulanya ke Nyi Sahria atau ke Ja’kub? Jika ia jual ke Nyi Sahria, tentu mendapakan uang lebih murah. Tapi uang bisa ia dapatkan semuanya. Akan tetapi kalau ia jual ke Ja’kub, harga lebih mahal, hanya saja uang tidak dibayar kontan. Nemun meski demikian, Ja’kub memberi keringanan pada Nawari. Karena Ja’kub punya toko, Nawari diberi keringanan untuk mengambil belanjaan apa saja di tokonya. Yang penting, asal dicatat semua barang-barang yang ia ambil. Dan bisa ia lunasi dengan menjual gulanya pada Ja’kub.
Suatu ketika Nawari memilih menjual gulanya pada Nyi Sahria. Karena ia butuh sejumlah uang yang tidak hanya untuk berbelanja kebutuhan di dapur. Tetapi untuk kebutuhan Hosriani, anaknya yang baru masuk sekolah SD. Untuk membeli baju seragam. Buku dan alat tulis. Uang SPP, dan sebagainya.
Diam-diam Nawari pergi ke rumah Nyi Sahria melewati jalan berbatu di belakang toko Ja’kub. Jangan sampai Ja’kub atau istrinya tahu kalau Nawari menjual gulanya ke Nyi Sahria. Sebab bila sampai mereka tau, maka Ja’kub tak akan mau lagi membeli gulanya dengan harga lebih mahal dari Nyi Sahria. Ya, Nawari tak mau itu terjadi! Apa lagi Ja’kub menjadi sandaran Nawari bila ia tidak punyak uang. Dengan begitu mudahnya Nawari ngutang di warung Ja’kub. Meski kadangkala, ketika Nawari menjumlah semua hutangnya. Tidak cukup ia lunasi dengan hasil gula yang di sadap Usman selama tiga hari.
Sebenarnya, bukan hanya Usman dan Nawari yang membuat gula merah di kampung itu. Tapi entah, kebanyakan orang lebih memilih gula buatan Nawari dari pada gula-gula buatan yang lain. Pasalnya gula buatan Nawari lebih putih, bersih, dan lebih harum, serta Nawari murah senyum. Mungkin itulah yang menjadi alasan kenpa kebanyakan orang, termasuk Nyi Sahria dan Ja’kub berebutan membeli gulanya Nawari.
***
Suatu hari, sewaktu Nawari hendak menjual gula kepada Ja’kub. Tiba-tiba Ja’kub memberi kabar buruk kepada Nawari. Ja’kub bilang, kalau harga gula sedang turun. Pembeli di pasaran mulai berkurang. Lagi pula stok gula masih banyak di toko Ja’kub. Jadi, untuk sementara tidak begitu dibutuhkan. Tapi jika Nawari tetap mau menjualnya, dengan harga yang lebih murah lagi, Ja’kub tetap akan membelinya.
Nawari tercengang mendengar ucapan Ja’kub. Dia tidak bisa berbuat apa-apa bila demikian. Ia sudah cukup paham. Biasanya bukan karena harga gula turun di pasaran. Sehingga Ja’kub membelinya dengan harga sangat murah. Tapi karena Ja’kub atau mungkin istrinya tahu kalau Nawari menjual gulanya pada orang lain. Dan hal ini sudah biasa sering Nawari alami berkali-kali.
Nawari hanya bisa diam. Dan menerima semua keputusan Ja’kub. Meski sebenarnya, Nawari juga tidak tahu pasti, berapa harga gula ketika Ja’kub menjualnya di pasar. Dan bila Nawari tidak mengikuti apa kata Ja’kub, Nawari juga akan kebingungan sendiri, mau dapat uang dari mana untuk belanja dan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari?
Kadang, Nawari ingin sekali mencoba menjual gulanya sendiri ke pasar, ke tampat dimana Ja’kub menjual gula itu. Tapi sayang, Nawari tak tahu dan tak pernah diberi tahu dimana tempat Ja’kub menjual. Dan apalagi kata Ja’kub, tak usah jauh-jauh jalan kaki membawa gulu berkilo-kilo, harganya sama saja. Nawari diam saja mendengar ucapan itu. Begitu juga kata Nyi Sahria. Sama dengan apa yang diutarakan Ja’kub.
Kali ini Nawari benar-benar naas. Di sela-sela kebingungannya membutuhkan uang. Ja’kub yang biasanya membeli gulanya dengan harga paling tinggi dibanding pembeli yang lain, kini ia membelinya dengan sangat murah. Padahal Nawari harus melunasi uang SPP Hosriani. Mana lagi Hosriani juga minta baju seragam baru. Belum lagi tagihan listrik yang tambah hari semakin melonjak.
Tak ada pilihan lain bagi Nawari kecuali meminta bantuan Ja’kub. Nawari meminjam uang kepadanya. Dengan cara mengembalikannya dengan cicilan dari hasil penjualan gula kepada Ja’kub. Dan bagi Ja’kub semua itu sah-sah saja selagi Nawari mau dan sanggup dengan ketentuan yang diberikan Ja’kub. Seumpama dalam satu bulan Nawari belum bisa mengembalikan uangnya, resikonya mengembalikan uang di bulan depan nominalnya akan sedikit bertambah. Begitu seterusnya dan seterusnya.
***
Musim hujan datang.
Batang pohon siwalan basah, licin, dan berlumut. Namun Usman tetap semangat untuk menyadap. Ia lakoni demi untuk mendapatkan nira. Untuk kemudian mengolahnya menjadi gula merah. Tak jarang bila ia menyadap dalam keadaan hujan, sering terpeleset dan sedikit terpental. Tapi hal itu memang biasa terjadi bagi tukang sadap. Resiko jatuh dari atas ketinggian berpuluh meter pohon siwalan menjadi sebuah tantangan. Dan bisa saja nyawa taruhannya. Namun tantangan itu pantang bagi Usman untuk tidak dilakukannya. Karena memang itulah pekerjaannya untuk menafkahi keluarganya Meski sebenarnya, bila ia hitung-hitung, tak seberapa hasil uang yang didapat ketika menjual hasil gulanya kepada Ja’kub maupun kepada Nyi Sahria.
Hujan yang terus turun bertubi-tubi bagi para penyadap tak ubahnya sebagai tantangan. Sebab, hari demi hari akan mengakibatkan mayang pohon siwalan yang menghasilkan nira akan membusuk bila terus menerus terkena air hujan. Dengan begitu penghasilan gula akan semakin berkurang.
Kini satu bulan sudah musim hujan bertandang. Nawari merasa bimbang saat suaminya memberi tahu kalau tak lama lagi hasil nira yang disadapnya akan semakin berkurang. Malahan kemungkinan akan berhenti menyadap bila pucuk-pucuk mayang sudah habis atau membusuk. Nawari lalu teringat akan beban hutang yang harus ia lunasi kepada Ja’kub. Bila tidak, beban hutang akan bertambah besar. Sementara penghasilannya kini semakin hari semakin berkurang.
Beberapa bulan berselang, Nawari dan Usman pergi ke rumah Ja’kub. Selain berniat untuk menjenguk istrinya yang sakit. Ia juga mau menanyakan jumlah hutang yang harus ia banyar. Tiba-tiba Nawari terhenyak, saat mendengar penjelasan Ja’kub. Dari jumlah hutang yang hanya puluhan ribu, berkembang menjadi ratusan ribu. Bahkan bila terus dibiarkan, bisa berkembang jutaan, kata Ja’kub.
Usman menganggukkan kepala mendengar penjelasan itu. Sesekali ia menggigit bibirnya dengan keras. Nawari mengerut sembari melirik suaminya. Sebelum akhirnya mereka pulang dengan hati bingung dan kecewa! Dan kekecewaan itu ternyata bukan cuma dialami Usman dan Nawari yang punya hutang besar kepada Ja’kub. Tetapi, Muzani, Satwi, dan Dulkarim, si blater itu, dan banyak lagi tetangga lainnya, juga bernasib sama dengan Nawari.
***
Pagi-pagi buta sebelum subuh berkumandang. Ketika Nawari bangun hendak menyiapkan semua peralatan menyadap suaminya. Ia tersentak saat mendengar riuh suara tetangga. Setelah menyimak dengan seksama. Keriuhan itu bermuara dari rumah Ja’kub. Nawari lalu mengurungkan niatnya untuk membuka pintu dapur mengambil semua peralatan menyadap. Kemudian melangkah menuju rumah Ja’kub.
Di sana. Di samping rumah Ja’kub. Tepat di depan kandang sapinya, Ja’kub dan hampir semua orang sekampung berkumpul kebingungan. Dalam hati masing-masing bertanya-tanya, sipa yang telah mencuri sepasang sapi milik Ja’kub?
Sebagian mereka berjalan dari pintu belakang kandang mencari jejak kaki sapi. Ada yang hanya diam meratapi. Ada pula yang merasa bimbang. Bahkan ada yang hanya pura-pura merasa iba. Terutama dari orang-orang yang telah banyak dikibuli oleh Ja’kub terkait hutang yang dibebaninya. Sebelum akhirnya Nawari dan yang lainnya pulang satu persatu ke rumahnya masing-masing.
 —*Kenang-kenangan buat kedua orang tuaku.

Yogyakarta, Februari 2012.

(Sumber: Radar Madura, 22 April 2012)