Oleh: Marsus
diambil dari gambar cerpen Perempuan Sampul |
Siapa sangka
kalau Tamam akan menuduh Fajri—teman dekatnya yang menghamili Maryani—tunangannya—yang
pada hari itu juga berencana malaksanakan akad nikah. Tapi akhirnya gagal!.
“Bukan aku
yang melakukannya,” tukas Fajri dengan nada setinggi langit sewaktu dituduh oleh
Tamam.
“Siapa lagi
kalau bukan kamu. Kamu satu-satunya lelaki yang selama ini dekat dengan Maryani.”
Tamam naik pitam.
Tamam, Fajri,
dan Maryani adalah teman karib semenjak
SMA. Kemanapun mereka pergi, ketiganya pasti selalu bersama.
Semuanya jadi
kacau-balau. Pernikahan yang telah direncanakan seminggu lalu hancur
berantakan.
“Semua ini
karena ulahmu. Biadab!” Tamam sampai pada puncak kemarahannya. Fajri hanya diam
mematung menatap Tamam yang wajahnya sedang berapi-api.
Fajri
akhirnya juga tidak terima dengan tuduhan Tamam yang diungkap begitu saja
dihadapan orang banyak. Harga diri Fajri serasa diinjak-injak oleh Tamam. Fajri
menjadi orang yang terpojok ketika itu, sebab memang Fajrilah orang yang selama
ini selalu bersama Maryani.
Fajri tak
bisa berkutik lagi. Tuduhan Tamam yang berdalih bahwa hanya Fajrilah lelaki
satu-satunya yang setiap saat selalu bersama Maryani tidak bisa dibantah. Itu memang
benar kenyataannya, sebab Fajri dan Maryani memang teman karib semenjak SD,
lagi pula mereka tetanggaan, rumahnya berdampingan.
Yusri, paman
Fajri tak terima melihat ponaannya di permalukan didepan banyak orang. Spontan Yusri
menghampiri Tamam yang sedang berdiri dengan wajah kusud tak karuan. “Centarrrrr...!!!!”
tangan panjang Yusri akhirnya mendarat tepat di pipi Tamam. “Jaga mulutmu, Tamam.
Lancang benar kamu menuduh Fajri menghamili Maryani,” tukas Yusri sambil
menuding Tamam.
Wajah Tamam memerah
bak bara api—terpancing emosi mendengar kata-kata Yusri. Tamam beranjak dengan
mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membalas tamparan Yusri. Namun dengan
sigap, Yusri lincah menangkap tangan Tamam, dan kumudian ia dorong sampai Tamam
terjatuh.
Lalu, Yusri melangkah
menghampiri Fajri, meraih lengan tangannya, dan mengajaknya pergi meninggalkan Tamam
yang sedang tersipu di tanah.
***
“Sudah,
bubarkan saja!” suruh Iqro’, bapak Maryani, sambil menggeleng-geleng kepala,
ditikam oleh kekecewaan yang luar biasa.
Akhirnya
para undangan yang hadir terpaksa dibubarkan. Seiring dengan kekecewaan yang
sedang dialami oleh keluarga Iqro’, ayah Maryani.
“Malu kita,
Pak!” lenguh istri Iqro’ sambil menitikkan air mata dari pipinya.
“Kita tidak
punya pilihan lain, Tamam sudah pergi tidak mau menikahi Maryani”
“Tapi apa
kata tetangga jika mereka tahu kalau anak kita hamil diluar nikah, Pak? Malu
kita, Pak! Dan yang jelas tak kan ada lelaki yang mau menjadi suami Maryani,”
kekhawatiran istri Iqro’ begitu mendalam akan putri satu-satunya. Iqro’ bergeming,
sederet derita terus-terusan ia pikirkan dan sungguh sangat meletihkan.
“Biarkan
saja, itulah resikonya. Sudah berulang kali bapak bilang, jangan bergaul bebas,
tetap saja Maryani bergaul bebas” Iqro’ kecewa dan dia pasrah saja menghadapi
masalah itu.
“Tidak!
Bapak jangan pasrah begitu saja, kasian anak kita, Bapak harus cari siapa
sebenarnya lelaki yang menghamili Maryani. Tanyakan pada Maryani, siapa yang
menghamilinya.”
Iqro’ melotot
mendengar kata-kata istrinya. Lalu dia berbalik arah pergi meninggalkan
istrinya.
“Kalau bukan
Fajri siapa lagi, toh memang lelaki pengecut itu yang sering bersama Maryani” ucap
Iqro’ dengan langkah lunglai meninggalkan rumah.
Tiba-tiba
dari arah berlawanan Zulfa, istri Iqro’ membuntutinya.
“Pak, mau
kemana?” tanya Zulfa. “Tanyakan saja dulu pada Maryani, Pak. Siapa sebenarnya
lelaki yang menghamili Maryani,” lanjutnya sambil meraih tangan Iqro’.
“Siapa lagi
kalau bukan lelaki biadab itu. Ibu kandungnya saja meninggal dunia dua tahun
yang lalu gara-gara kelakuan jahat Fajri.”
“Bukankah
ibunya itu meninggal dunia karena dibunuh oleh para perempok yang berusaha
mengambil uangnya sewaktu dia baru keluar dari Bank?” bantah Zulfa.
“Iya, tapi
para perampok itu kan suruhan Fajri, anaknya sendiri”
Zulfa diam mematung.
***
“Heiii...
Biadab, keluar kamu!” teriak Iqro’ didepan rumah Fajri. Iqro’ sudah tak tahan
mengendalikan amarahnya yang meletup-letup memenuhi ruang tubuhnya. Dia ingin
menghajar Fajri karena dia telah lancang menghamili anak gadisnya, pikir Iqro’
dalam benaknya.
“Pengecut,
keluar kamu!” teriakannya berulang kali membentur celah ruang kamarku.
Suara risau
itu meski agak samar terdengar ke rumahku, aku merasa risih dan hati
bertanya-tanya prihal suara teriakan tersebut. Aku yang sedang tertidur pulas di kamar,
terhenyak mendengar teriakan itu yang semakin lama semakin bertambah keras,
mungkin tidak hanya diriku, orang-orang disekitar rumah Fajri juga kaget
mendengar suara teriakan tersebut.
“Heiii
biadab, cepat keluar! Jika tetap tidak mau keluar, akan ku bakar rumahmu ini” teriakan
sekali lagi semakain keras. Keras sekali! Hingga akhirnya aku bangun dan beranjak
mendatangi rumah Fajri yang tak jauh dari rumahku.
Sontak,
kepalaku serasa pening saat melihat Iqro’ yang sedang berdiri tegap dengan
mengacung-acungkan celurit di halaman rumah Fajri, pantas saja Fajri tidak mau
keluar dari rumahnya. Jangankan ingin menemui Iqro’ yang wajahnya bak singa
yang hendak memangsa, mendengar suara gelegarnya saja yang menyamai halilintar dia
sudah pasti gemeter.
Aku diam tak
melangkah, kulihat Iqro’ terus-terusan memancing amarah Fajri dengan cara
memaki-maki Fajri agar dia cepat keluar dari rumahnya. Namun, Fajri tetap tak
keluar. Entahlah, aku juga tak tahu, apakah Fajri ada di rumahnya atau sengaja
pergi karena takut untuk menemui Iqro’?
“Gebraaaakkkkk...!!!”
Iqro’ melabrak pintu rumah Fajri dengan paksa. Tapi Fajri sudah lenyap tak ada
di dalam rumah. Sepertinya, Fajri pergi meninggalkan rumah melalui jendela belakang,
karena pintu jendela belakang kelihatan terbuka lebar sewaktu Iqro’ mencari
Fajri memasuki seluruh ruang kamarnya.
***
“Percuma,
Pak, ngak usa cari Fajri. Siapa tahu pelakunya adalah orang lain. Kita tanya
saja dulu pada Maryani, siapa sebenarnya yang telah menghamilinya” ujar Zulfa
menenangkan Suaminya.
“Sudah
berapa kali bapak tanya Maryani, tapi apa? Maryani tak menjawab sepatah katapun
pertanyaan bapak” bantah Iqro’ kecewa.
“Iya kita
paksa saja sampai Maryani bicara”
“Apa
untungkan maskipun Maryani bilang siapa lelaki yang menghamilinya. Kita sudah
terlanjur malu, dan tak punya muka di masyarakat” Iqro’ sedih.
“Nanti kita
bisa tuntut pelakunya”
“Tuntut?”
“Iya, tuntut
dan kita bawa kepengadilan, kita bisa menghukumnya kan Pak?”
“Percuma! Hukum
sekarang bisa dibeli”
Zulfa
bergeming. Iqro’ tetap tak terima sebelum membalas sakit hatinya kepada orang
yang telah membuat hamil anaknya diluar nikah. Fajri, ya Fajrilah pasti yang
melakukan semua ini, desis Iqro’, tapi hampir tak terdengar lamat-lamat
suaranya oleh istrinya.
***
Iqro’ dan
Tamam kini diam-diam mengintip rumah Fajri. Dua orang yang sama-sama memiliki
rasa dendam kepada Fajri berencana untuk membunuhnya dengan cara apa pun karena
mereka pikir, hanya gara-gara Fajrilah pesta penikahan Tamam bisa gagal dan
keluarga mereka dipermalukan. Mereka akan bertindak sendiri dalam masalah ini,
mereka tak mau masalah ini melibatkan
pengadilan, karena mereka tak percaya lagi dengan adanya putusan yang
diputuskan dipengadilan, yang berkuasa bukan lagi hakim, tapi adalah uang,
pikirnya.
Tak lama
berselang, Fajri bersama seseorang datang memasuki rumahnya. Sementara Iqro’
dan Tamam terus mencermati dan terus mengamati, siapa orang yang datang bersama
Fajri itu?
“Mungik dia Yusri,
pamannya?” kata Tamam khawatir.
“Bukan!
Pamannya tak se gagah itu. Mungkin dia seorang bleter yang sengaja dibayar
untuk melawan kita” jelas Iqro’ bimbang.
“Terus?”
“Ingat! keluarga
kita telah dipermalukan didepan masyarakat oleh Fajri, kita tetap bunuh dia”
amarah Iqro’ semakin menggebu-gubu.
“Tapi Fajri
bersama bleter, kita pasti kalah. Kita tuntut saja kepengadilan, lalau hukum”
“Ah, kamu
masih percaya pada pengadilan, yang ada nanti akan menguras harta kita, dan
hasilnya akan nihil”
Tamam
melotot.
“Sudahlah,
kalau kamu takut, diam saja disini, aku yang akan menghadapi Fajri dan bleter
itu” lanjut Iqro’.
Kemudian
Iqro’ menyerocos menuju halaman rumah Fajri.
“Fajri,
keluar!!!” teriak Iqro’.
Aku yang
baru saja melakukan shalat subuh berjamaah di masjid samping rumah Fajri tertegun
mendengar suara teriak Iqro’. Dan aku langsung turun menuju rumah Fajri.
Mengintip dari arah kejauhan, melihat apa yang akan terjadi antara Iqro’ dan
Fajri.
Lalu Fajri
keluar menemui Iqro’. “Ada apa pagi buta sudah menginjak rumahku?” tanya Fajri
pelan.
“Kau harus
bertanggung jawab atas kelakuanmu pada Maryani, anakku” kata Iqro dengan nada
agak tinggi.
“Bukan aku
yang melakukannya” jawab Fajri tak terima. Aku mulai terhenyak mender
perbincangan mereka.
“Siapa lagi
kalau bukan kamu” Iqro’ mulai naik pitam.
“Tanyakan
saja pada Maryani, anakmu” kata Fajri semakin memancing amarah Iqro’.
Entah kenapa
tiba-tiba saja badanku terasa bergetar. Tapi aku tetap diam dikejauhan melihat
pertengkaran antara Iqro’ dan Fajri.
“Bangsat
kamu, Fajri” Iqro’ mengeluarkan secarik celurit yang diselibkan dipunggungnya.
Namun sebelum Iqro’ menebas leher Fajri, seseorang keluar dari rumah Fajri. Lalu
Iqro’ tertegun menghentikan aksinya, melihat seseorang yang sedang berdiri
tegap di belakang tubuh Fajri. Baru setelah beberapa detik, Iqro’ dengan cepat
menebas tubuh Fajri dengan ujung celurit tersebut.
“Hentikan! Bukan
Fajri yang menghamiliku” kata Maryani yang tiba-tiba muncul dibelankang Iqro’.
Dia terisak menitikakan air mata dan meminta maaf sambil memeluk ayahnya.
Aku semakin bergemetaran melihat si perempuan
itu. Ketakutanku kini sudah menguasai suluruh pori-pori tubuhku. Suasana
menjadi hening saat Maryani datang dan menjelaskan, kalau akulah sebenarnya
pelaku dari semua itu, akulah yang memerkosa Maryani sewaktu maryani tertidur
pulas dirumah Fajri. Lalu, aku langsung pergi, sebelum mereka melihatku dan
menangkapku untuk dibawa ke pengadilan.Yogyakarta, Februari 2011
(Sumber: Suara Pembaruan, Minggu 17 April 2011)
0 comments:
Post a Comment