Oknum


Oleh: Marsus
diambil dari koran KR
Malam itu, aku jadi teringat cerita ibu, di saat kota ini sering kali terjadi penembakan. Katanya, ketika sore beranjak, awan putih yang bertebaran di ujung barat lambat-laun memerah semerah darah. Matahari beringsut dari puncak bukit. Perlahan menghilang dibalik rerimbun pepohonan. Dan raungan pesawat-pesawat pun mulai datang, berputar-putar di atas bubungan rumah. Ketika itu, ibu cepat-cepat mengunci pintu dan mengumpet di bawah lincak bambu, atau sembunyi di balik pintu. Sementara, bapak diam di luar rumah, melindungiku dengan sembunyi-sembunyi.
Tidak lama, suara gemeretak peluru jatuh di atap rumah. Ibu lalu merengkuhku. Aku yang masih kecil saat itu; menangis, menjerit dan terus menjerit. Ibu pun kebingngan meredam suara tangisku. Sementara, bapak di luar mengendap-ngendap, melindungi ibu dan aku dari para penembak itu.
Dan, nasib memang sulit di tebak. Bapak yang malam itu berniat melindungiku, justru menjadi akhir perjumpaan kami dengannya. “Bapakmu tak kembali lagi, entah kemana?” Kata ibu. Itu cerita beberapa tahun yang lalu.
Tetapi, cerita itu yang pada awalnya hanya dapat kubayangkan saja, malam itu telah benar-benar terjadi pada diriku. Ya, malam kejadian itu meski raungan pesawat tak terdengar, tetapi suara ledakan peluru telah berhasil menembus kaki dan lututku. Awalnya, kupikir hanya sebuah mimpi buruk dalam tidurku. Namun setelah aku sadar, aku telah terbaring kaku bersimbah darah di sebuah ruangan kecil, yang entah di mana letak ruangan itu?
Aku diam menahan sakit dan perih pada luka lutut dan kaki kiriku. Juga lebam wajahku yang entah siapa telah menghantamku? Mungkin, malam itu bukan hanya aku yang menjadi korban bidikan peluru dan hantaman orang-orang tak kukenal itu.  Sebelum aku pingsan dan terjatuh, aku sempat melihat dua rekan kerjaku disekap oleh salah seorang tak dikenal yang menodongkan tembak pada kepalanya. Diam-diam aku mencoba menyelinap, tetapi dua langkah berikutnya suara tembakan terdengar keras bersamaan jatuhnya tubuhku ke lantai, dan hantaman bertubi-tubi di kepalaku. Selebihnya, aku tak tahu apa yang kemudian terjadi?
Aku bersimpuh di ruang kecil dan gelap. Ada suara orang terdengar samar dari celah pintu. Hampir saja aku berteriak memanggilnya. Tetapi, kuurungkan saat mendengar sebuah suara tak asing di telingaku. Ya, suara  seseorang yang selama ini telah kerap membantuku. Membantu ibuku.
Aku lagi-lagi teringat cerita ibu. Tentang penembakan yang dulu kerap terjadi di kota ini. Dan, apakah aku akan bernasib sama sebagaimana bapakku yang hilang, diculik para penembak itu? Ah, entahlah.., ketakutanku tiba-tiba merajuk.
Aku mencoba mengingat-ingat peristiwa malam itu. Pada sebuah ruangan yang dipenuhi para pengunjung. Sinar lambu sengaja dinyalakan rada temeram. Pantulan cahaya sedikit memerah. Sebagai mana layaknya pelayan di tempat-tempat hiburan malam, aku hanya melayani pesanan dari pengunjung yang datang. Menyiapkan makanan kecil atau menimun. Dan ada lagi (sebenarnya hal ini tak perlu kuceritakan), entah apa nama benda putih yang tak ubahnya tepung itu? Aku mendapatkannya dari seseorang yang tak boleh kusebut namanya. Benda itu ia titipkan padaku untuk dijual pada pengunjung yang membutuhkan, tetapi dengan cara diam-diam. Dan tentu, dengan senang hati aku menyanggupinya karena orang itu telah membantuku dan ibuku. Belum lagi upah dari penjualan benda tersebut yang sangat besar.
Mula-mula, aktifitas dalam ruangan itu berjalan seperti pada malam-malam sebelumnya. Orang-orang datang, memesan sebotol minuman, lalu duduk atau sekedar jingkrak-jingkrak menikmati suara dentuman musik dengan perempuan pilihan, sesekali tatapan matanya beredar ke sekitar.
Selang beberapa detik, datang dua perempuan muda, memesan sebotol minuman dan memberikan kode isyarat untuk mendapatkan benda putih halus layaknya tepung itu. Aku tersenyum dan memberikannya tanpa canggung. Yang tanpak dalam pikiranku limpahan uang yang akan aku dapatkan. Di susul pada ingatan wajah gelap ibu yang tiba-tiba menyelinap, melenguh kesakitan. Dan penyakit yang menggerogoti perutnya akan segera usai setelah aku melihat perempuan seksi itu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.
Dua perempuan itu berjalan gemulai. Diikuti puluhan mata yang membentur bagian-bagian lekuk tubuhnya yang indah. Tak jarang ada suara-suara desisan dari samping perempuan yang tengah melangkahkan kakinya. Pandangan-pandangan dengan harapan untuk memiliki perempuan itu terus membuntuti langkahnya. Ada yang diam-diam memberi isyarat, siap memberikan bayaran sejumlah berapapun asal ia mau menemaninya. Tetapi perempuan itu menanggapinya dengan tersenyum tipis. Seolah hanya membolehkan para lelaki memandang lekukan tubuh yang ia biarkan terlihat jelas dengan sepuas-puasnya.
“Whisky!” Kata seseorang membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan segera melayaninya.
Hanya beberapa detik, aku telah kehilangan jejak dua perempuan itu. Entah duduk di posisi sebelah mana dia? Aku belum mendapatkannya.
Namun, bersama dengan tatapanku beredar mencari perempuan itu, tepat di sisi pintu, tiba-tiba ada beberapa gerombolan orang berbaju gelap dengan memegang sebuah tembak. Orang-orang dengan sendirinya berlari dan sembunyi. Ada yang berhasil keluar. Sementara, dua orang temanku yang sedang mengambil sisa botol minuman di meja, tiba-tiba disekap. Aku pun bergidik dan mencoba bersembunyi. Diam-diam menyelinap melewati sebuah gang. Saat hendak berlari ke luar, dua langkah berikutnya suara tembakan terdengar keras bersamaan jatuhnya tubuhku ke lantai. Di susul hantaman bertubi-tubi di kepalaku. Selebihnya, aku tak ingat apa-apa.
***
Di ruangan gelap ini, dengan sisa tenagaku, aku mencoba bergelayut, mendekati pintu. Mengintip ke lauar lewat celah pintu. Ada tiga orang yang tengah duduk tegap di sisi pintu. Tak lama, orang-orang itu berdiri saat mendengar lenguhanku. Membuka pintu dan melihat keadaannku.
Dadaku tiba-tiba terguncang, saat melihat tiga orang itu tegap dengan sebuah tembak di lengan kanannya, mendekatiku.
“Siapa namamu?”
“Aris.”
“Dapat dari mana benda ini?” bentak seorang dari mereka, disusul dengan tendangan.
“Saya tidak tahu itu, Pak,” elakku.
“Braakkkk!” tendangan membentur punggungku, “Benda ini ditemukan di konton celanamu. Katakan, siapa yang memberikan benda ini?”
Aku diam. Mustahil menyebutkan nama itu.
“Cepat katakan! Braakk!” Sebuah tendangan kembali membentur pantatku.
Aku tetap diam sebagai keabadian. Aku bersikukuh atas perjanjian dengan seseorang yang menitipkan benda itu. “Tidak boleh mengeluarkan satu nama pun jika suwaktu-waktu ada yang bertanya perihal benda itu,” kata seseorang yang bertubuh kekar itu. Aku menyepakatinya, saat ia memberikan beberapa lembar uang ke hadapanku.
“Braakk! Cepat katakan!” Aku lagi-lagi dihantam dan ditodong dengan sebuah tembak tepat di pelipisku. Aku masih saja diam. Menahan sakit pada luka bekas peluru dan hantaman serta tendangan itu.
Tiga orang itu terus bergantian memuaskan nafsu dan menghabiskan tenaganya melakukan siksaan bertubi-tibi. Menghantam tubuhku, menikam mukaku. Seluruh badan dan tulang-tulangku terasa remuk, sakit begitu perih.
Beberapa kali aku sempat hilang ingatan. Namun tersadar kembali. Hantaman itu kembali kurasakan di kepalaku, di bahuku, di dadaku dan semua tubuhku.
“Braakk! Ayo katakan, siapa yang telah memberimu benda itu!” Aku tetap diam. Salah seorang dari mereka beranjak mengambil sebuah plastik di meja sisa bungkus makanan, menyulutnya. Dari ujung plastik itu menetetes lelehan api ke tanah. Tetes demi tetes ia perlihatkan padaku. Ia arahkan pelan-pelan ke kakiku.
“Heh, belum mau mengaku?” bentaknya sesekali mendekatkan tetesan api plastik itu. Aku membayangkan betapa panas dan perihnya tetesan api itu. Kalit-kulitku akan mengelupas dengan sendirinya. Menjadi luka bakar yang tak terperihkan.
Pikiranku mulai dilanda ketakutan. Di tambah lagi salah satu dari mereka mengambil kabel beraliran listrik diarahkan pada pipiku. Terbersit dalam hati untuk menyerah. Memberikan sebuah nama yang mereka minta.
Namun, hendak aku mengucapkannya, seseorang datang membukan pintu. Tiga orang tersebut tiba-tiba berdiri tegap, memberikan hormat pada orang itu. Aku tercengang, sekaligus merasa sedikit tenang. Dia datang pasti untuk menyelematkanku, pikirku. Aku kenal orang itu. Dia yang kerap datang ke rumah. Memberikan benda-benda itu dan membantu penyembuhan penyakit ibuku.
Dia melangkah perlahan mendekatiku. Dalam hatiku ada senyum. Sementara tiga orang yang sudah puas menghantamku telah keluar. Dadaku sedikit merasa tenang, saat dia melangkah mendekatiku. Lalu memberikanku sebuah minuman. Dalam kesakitan dan dahagaku, aku pun berterimakasih, lalu meminumnya.
Dua menit berikutnya, sakit pada tubuhku sedikit menghilang, remuk tulang-tulangku terasa berkurang. Tetapi, kerongkonganku terasa panas, tubuhku serasa bergetar, tatapanku berkunang-kunang. Melihat orang yang masih di sisiku samar-samar mengulum senyum. Kemudian berbisik, selamat jalan...

Yogyakarta, Mei 2013.

(Sumber: Kedaulatan Rakyat, Minggu 5 Mei 2013).