Oleh: Marsus
Lambat
laun, tangannya mendarat kesana kemari. Sorot pandangnya tajam menuju kedua
jari jemarinya yang sedang sibuk. Sesekali orang-orang dihadapannya terus berdatangan
membawa buku dan diulurkan. Lalu ditinggalkan kesibukan itu untuk sejenak
menerima buku-buku yang diberikan oleh beberapa orang itu.
Tangannya
terus bergerak, memainkan secarik gunting yang sibuk memotong beberapa ukuran
sampul yang ada disampingnya. Disebelah kirinya lima gulungan sampul yang
berukuran beda untuk ukuran buku yang beda pula. Di sebelah kanannya sebuah
kipas angin sebagai penepis keringat yang mengucur deras disekujur tubuhnya.
Perempuan
Sampul, begitu aku memanggilnya. Dia seorang perempuan paruh baya yang
bekerja sebagai tukang sampul di sebuah toko buku terkenal di Yogyakarta,
Togamas nama toko bukunya. Pasti tak heran lagi dan tak perlu mengajukan
pertanyaan jika mendengar nama toko buku itu, semuanya sudah pada mengenal dan tahu
di mana
tempat toko buku tersebut, apa lagi para mahasiswa.
Perempuan
itu memang cukup lincah. Dari gerak-gerik jemari tangannya memegang sebuah
gunting—memotong dan melipat sampul pada buku-buku yang hendak ia sampul. Dan
keramah tamahan sikapnya melayani pelanggan yang sedang berkunjung ke toko buku
itu, telah membuat beberapa orang terkagum-kagum dan memuji hasil pekerjaannya.
Ditambah
lagi dengan corak kostum pakaiaannya yang selalu rapi: memakai baju warna biru
mudah kombinasi warna ping yang senada dengan warna kerudungnya, membuatku
semakin senang berlama-lama menunggu buku yang ia sampul yang kubeli di toko buku
tersebut.
Dan
bahkan sesekali waktu setiap jedah beberapa detik dari kesibukannya, dia
lontarkan senyum tipis pada orang-orang yang sedang menunggu buku sampulannya.
Termasuk aku yang tak pernah bosan menunggu dan melihat sembari membalas senyum
sumringah.
Ada
sekitar tujuh belas buku yang belum disampul yang masih menumpuk dihadapannya. Empat
buku termasuk bukuku yang berada digiliran paling akhir untuk disampulnya. Namun,
tak sedikitpun aku merasa risih atau kesal menunggu Perempuan Sampul itu, meski
ada beberapa orang yang tidak tahan menunggu lama-lama dan kemudian pergi membawa
bukunya tampa disampul. Namunm, tidak dengan diriku.
Malam
diwarnai dengan beberapa gerimis yang mulai turun satu demi satu. Aku duduk
tepat disamping kanan perempuan itu. Meski jaraknya agak jauh, tapi serasa
dekat ketika mendengar bau parfumnya saat terbawa angin yang berhempas lembut ke
hadapanku. Aku semakin ingin berlama-lama menunggu perempuan—selasai menyampul
semua buku-buku, dan ketika sudah larut malam, akan aku buntuti kemana pulangnya
perempuan itu, ingin kucari tahu dimana tempat tinggalnya.
***
“Sudah,
Mas...” ujarnya mengagetkanku. Aku tersenyum bimbang, khawatir takut dia tahu
kalau aku sedang memerhatikannya sejak tadi.
“I...iya,
Mbak” aku berjingkat menghampirinya, mengambil buku-buku yang sudah selesai
disampul dan dia julurkan kehadapanku.
“Terimakasih,
Mbak.” ucapku sembari mengumbar senyum tipis.
Aku
dilanda bingung dan salah tingkah. Ternyata, orang-orang yang sebelumnya berada
disampingku—menunggu buku sampulannya, sudah pada pulang ke rumahnya
masing-masing. Entahlah, mungkin aku terlalu larut menikmati keanggunan
Perempuan Sampul itu. Dan kekagumanku telah benar-benar bulat untuk memilikinya,
ah, tak mungkin! Tapi paling tidak mengenalnya, mengetahui siapa namanya dan
dimana rumahnya.
Sesampainya
diparkiran toko buku, kulihat hanya ada satu motor selain motor dan mobil para kariawan
yang bertugas di toko buku tersebut. Oh, ternyata hanya motorku. Ya, satu
motorku yang tersisa diparkiran itu.
Lalu
aku langsung menanjak gas motor. Menerobos jalan setapak yang masih basah
dengan titk-titik gerimis hujan. Di jalan setapak, yang sepi itu, gelap pula, aku
menyusuri beberapa gang-gang perumahan penduduk untuk menuju kontrakanku. Di daerah
Demangan persis di belakang warung makam Bu Suyarti.
Dulunya
aku dan dua orang temanku berbeda pendapat untuk memilih tempat kontrakan. Ada
yang menginginkan ngontrak di daerah Sapen saja, biar dekat dengan kampus. Teman
yang satunya memilih agak jauh di daerah Lempuyangan, agar harga kontrakannya
tidak terlalu mahal. Persoalan jauh dari kampus, masing-masing kita sudah pada
punya motor. Salah satu dari mereka tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya aku memilih
jalan tengah, di daerah Demangan saja, di utara Rel Kereta. Dan mereka pada
menyetujuinya.
***
Udara
pagi bangkit dari celah jendela. Dengan lembut mengurai seluruh badanku yang
lelah. Beberapa ayunan dedaun pohon Kersen yang rindang jatuh gemeretak
satu-satu ke tanah. Lalulalang para mahasiswa di gang belakang kontrakan mulai
berjingkat yang menjanjikan berjuta pesona. Dari pesona-pesona itulah
barangkali yang membius aku dan dua orang temanku: Alpan dan Ipung untuk
merantau ke negri impian ini.
Alpan
dan Ipung bersiap berangkat kampus. Lima menit berselang mereka melaju bersama
motornya menuju kampus.
Aku menyeka pintu jendela belakang. Sudah pasti Bu
Suyarti sibuk menyediakan hidangkan berbagai menu makanan dan lauk pauk
diwarungnya. Dan setelah itu, Bu Suyarti hanya tinggal duduk-duduk menunggu
pelanggan yang hendak mencicipi masakan hasnya: nasi sayur kacang, nasi remes,
nasi uduk.
***
Ahaii! Hari Minggu matahari sudah tinggi seujung
tumbak. Jelang pagi ini aku gagas untuk bersih-bersih kontrakan sebelum membuka
jendela lebar-lebar sambil melihat Bu Suyarti sibuk menyiapkan berbagai
makanan.
Usai bersih-bersih, kubuka pintu jendela belakang,
kuperhatikan warung Bu Suyarti. Oh, ada yang beda dari ganjal penglihatanku.
Seorang perempuan dengan baju warna biru mudah kombinasi
warna ping yang senada dengan warna kerudungnya tiba-tiba muncul menyelinap di warung Bu Suyarti,
kostum pakaian yang persis dengan Perempuan Sampul yang pernah kutemui di toko
buku Togamas.
Hati penuh segudang tanya prihal perempuan itu.
Tentu tak dapat dijawab akurat sebelum mendatangi langsung warung Bu Suyarti. Meski
tak bermaksud untuk mencicipi makanan has Bu Suyarti, kudatangi saja dengan
satu niatan untuk mengetahui perihal perempuan itu. Benarkah si perempuan tadi
adalah si Perempuan Sampul? Atau si Perempuan Sampul itu adalah anak Bu Suyarti?
Pemilik warung makan di belakang kontrakanku.
Aku masuk ke warung makan Bu Suyarti. Memesan
secangkir kopi hangat dan mengambil sebatang rokok untuk kemudian kusulutnya. Kuhisap
dan kukeluarkan kepulan asapa rokok tersebut, sesekali kuintip seorang
perempuan yang sedang berdandan—dari celah jendela kamar Bu Suyarrti.
Ahaii! Benar-banar hari yang cukup
menggembirakan. Ternyata Perempuan Sampul itu adalah anak gadis Bu Suyarti, sekaligus
ibu yang punya rumah kontrakanku.Jagalan, Januari 2011.
(Sumber: Suara Pembaruan, Minggu 6 Februari 2011).
0 comments:
Post a Comment