Pengajian Kiai Zarnoji

(Minggu Pagi, Jum’at No 19 Minggu II Agustus 2012)

MEREKA benar-benar tak menduga. Secepat inikah Kiai Zarnoji menggagalkan undangannya untuk berceramah di acara pengajian. Padahal empat minggu yang lalau, Rasyidi, ketua panitia acara imtihanan (perayaan) itu telah mendatangi rumah beliau. Memintanya untuk mengisi ceramah keagamaan di acara tersebut. Dan beliau pun telah menyanggupiya. Bahkan Rasyidi melihat sendiri, saat Kiai Zarnoji mengambil kalender yang menggantung di dinding dan memberinya lingkaran pada salah satu tanggal, tepat pada agenda pengajian di Madrasah Diniyah (sekola agama) tersebut.
Mendengar kabar buruk itu. Masyhuri, kepala madrasah diniyah itu tiba-tiba mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Sepasang matanya melotot tajam pada sebuah panggung yang sudah berdiri rapi dan megah. Keningnya keriput berkerut. Sesekali melirik pada kursi empuk yang sengaja disiapkan untuk tempat duduk Kiai Zarnoji nantinya ketika beliau ceramah di atas panggung.
Jarum jam terhenti tepat pada angka dua siang menjelang sore. Di halaman madrasah, rombongan karnaval beriringan dengan beragam kostum menarik yang mereka kenakan. Di samping gedung madrasah, deru mobil pick up dengan kepulan asapnya bercampur debu baru beberapa detik berhenti. Terlihat serombangan drum band sedang turun dari atas mobil tersebut yang akan mengiring pelepasan karnaval, dan akan berjalan sepanjang jalan sekitar empat kilo meter.
Di samping gedung perpustakaan. Tepat di sepanjang jalan raya itu. Orang-orang pada berjajar rapi penuh hidmat menunggu pelepasan karnaval. Kanan-kiri di jalan beraspal yang sudah tambal sulam. Ramai penuh sorak-sorai saat dentum suara drum band mulai ditabuh—beradu dengan suara sound system yang menyiarkan, bahwa rombongan karnaval telah diberangkatkan.
Semua orang melongok penasaran. Sembari tepuk tangan begitu nyaring penuh kegirangan. Lebih-lebih bagi para orang tua yang anaknya mengikuti karnaval tersebut. Melengak-lengok mencari rombongan karnaval anaknya. Sesekali memotretnya dengan camera yang sudah disiapkan sebelumnya. Dari garis bibirnya lalu muncul canda, tawa, dan kegembiraan.
***
Dibalik senyum setiap orang yang sedang menonton karnaval itu. Rasyidi dan Masyhuri malah kebingungan prihal kegagalan Kiai Zarnoji untuk mengisi ceramah keagaam malam nanti. Bagaimana tidak bingung dan kecewa, kalau undangan yang telah disebar seminggu lalau kepada seluruh orang tua santri dan warga sekitar telah dituliskan: bahwa penceramahnya adalah Kiai Zarnoji, penceramah kondang yang diminati semua orang di seantero kampung Buabu.
Ya, selama ini, masyarakat kampung Buabu menyimak ceramahnya hanya sebatas melalui radio, yang disiarkan setiap selesai adzan Subuh. Atau pada setiap malam Jum’at sehabis solat Magrib menjelang adzan Isya’. Dan pada saat-saat itulah, orang-orang pada duduk seksama di depan radionya masing-masing. Menyimak ceramah, atau tepatnya mengaji kepada Kiai Zarnoji yang ‘alim itu.
Pada saat itu pulalah, seusai menikmati ceramahnya, dan beliau menutupnya dengan doa-doa. Hati dan jiwa mereka yang sedih menjadi terasa lebih tenang, tentram. Ya, sedih karena terlalu banyak beban pikiran; memikirkan hutang yang belum sempat mereka lunasi, memikirkan pekerjaannya di sawah yang belum diselesaikan karena tidak cukup uang untuk ongkos para pekerjanya, bahkan memikirkan taninya di sawah yang sudah hampir mati karena kekurangan pupuk yang harganya melambung tinggi.
Dengan mengikuti ceramah, nasehat serta doa-doa yang diberikan Kiai Zarnoji. Setiap orang seperti terhipnotis dan terasa rendah hati memanjatkan puji syukur kepada Allah atas karunia dan kenikmatan yang diberikan—meski saat itu, mereka hidup dalam kesengsaraan. Entah doa apa yang beliau panjatkan ketika itu. Bahkan sampai-sampai membuat setiap orang meneteskan air mata tanpa terasa. Dan semenjak itulah mereka mulai penasaran dan ingin sekali berjumpa langsung dengan Kiai Zarnoji.
Karena selama ini ceramah beliau hanya bisa mereka dengar lewat radio saja. Dan belum pernah bertatap langsung dengan beliau. Termasuk Rasyidi dan Masyhuri sebagai kepala madrasah itu. Lalu dirembuklah untuk kemudian disepakati; kalau di acara imtihanan nanti akan mengundang Kiai Zarnoji sebagai penceramahnya.
Tentulah mereka sungguh-sungguh senang bukan kepalang. Saat mendapat undangan yang mengabarkan, kalau di acara imtihanan itu akan dihadirkan penceramah kondang, yaitu Kiai Zarnoji. Seketika mereka tertegun. Lalu mengumbar senyum sumringah dari bibirnya yang merekah.
Kedatangan Kiai Zarnoji merupakan anugrah terindah yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Maka tak heran bila semua orang berlomba-lomba mempersiapkan diri untuk menyambutnya dengan penuh semangat; ada yang bangun pagi-pagi bergegas pergi ke sawah mengambil rumput lebih awal untuk pakan sapinya, ada pula yang sampai membatalkan pekerjaannya yang sudah mereka sanggupi sebelumnya, bahkan ada yang rela meminjam uang kepada tetangga untuk diberikan kepada Kiai Zarnoji ketika ia berjabat tangan dan menciumnya. Harapannya, agar supaya mendapat barokah dan rizkinya lebih lancar berkat doa-doa Kiai Zarnoji.
***
“Apa yang harus kita lakukan?” kata Rasyidi, ketua panitia imtihan itu meminta pertimbangan kepada Masyhuri.
“Apa nggak sebaiknya kamu coba lagi datang ke rumah Kiai Zarnoji sekarang?!” jawabnya.
“Tadi pagi salah satu santri Kiai Zarnoji sudah datang ke rumah. Menyampaikan salam permintaan maaf karena beliau tidak bisa hadir mengisi pengajian di acara imtihanan malam nanti,” jelasna.
“Kenapa beliau tidak bisa?”
“Katanya orang tua beliau sedang sakit parah dan dibawa ke rumah sakit H. Moh. Anwar Sumenep,” jelasnya lagi.
Masyhuri lalu merunduk. Kepalanya serasa pening mendengar penjelasan Rasyidi.
“Jadi, tidak ada harapan lagi beliau akan datang mengisi pengajian malam nanti?” tanyanya sekali lagi.
“Begitulah kiranya,” Rasyidi sedih. Sesekali diliriknya panggung yang sudah berdiri megah dibelakangnya.
“Bagaimana kalau orang tua santri tahu kalau Kiai Zarnoji tidak bisa hadir?” Masyhuri semakin kecewa bercampur sedih.
“Entahlah…??!!” keduanya menggelengkan kepala. Sesekali melangkah meninggalkan panggung menuju ruang sekretariat.
***
Di sepanjang jalan disekitar madrsah tersebut. Semua orang berbondong- bondong bergegas pulang usai menonton karnaval. Tetapi mereka pulang bukan untuk pergi. Melainkan untuk kembali lagi menyimak ceramah Kiai Zarnoji malam nanti.
Melihat langkah gesah kaki mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Masyhuri malah semakin pusing. Pertanda tak lama lagi mereka akan sesegera datang lagi untuk menyambut kehadiran Kiai Zarnoji, yang sebenarnya tidak bisa hadir mengisi acara pengajian malam nanti. Sempat terbersit dalam benak Masyhuri utuk memberi tahu sejujurnya kepada orang tua santri atau masyarakat prihal kegagalan Kiai Zarnoji. Namun, buru-buru Rasyidi mencegahnya. Sebab ia pikir hanya akan menambah runyam keadaan.
“Jangan! Bisa jadi acara malam nanti tak bakal seorang pun datang bila mereka tahu kalau Kiai Zarnoji gagal mengisi pengajian. Mereka akan kecewa dan tak percaya lagi pada lembaga kita,” cegahnya dengan raut wajah kecewa begitu mendalam.
Masyhuri cuma bergeming. Sedikitnya menganggukkan kepala pelan-pelan. Dalam benaknya muncul keganjalan akan ketidak hadiran Kiai Zarnoji.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan kalau beliau benar-benar tidak hadir?” tanyanya bimbang bercampur ketakutan. Ya, khawatir dan takut kalau orang tua santri akan kecewa dan tidak berkenan hadir dalam acara imtihanan tersebut.
Ah, bukan! bukan hanya takut orang tua santri tidak datang! Tetapi lebih dari itu, ia khawatir, bagaimana kalau esok pada penerimaan santri baru, anak-anak mereka tidak lagi di sekolahkan di madrasah diniyah itu. Lalu apa jadinya bila madrasah sudah punya santri dan tidak diminati lagi oleh masyarakat hanya karena persoalan terebut?
Masyhuri tiba-tiba teringat pada beberapa madrasah yang ada dikampungnya, yang hanya tinggal gedungnya saja. Ditinggal satu persatu oleh santri-santrinya pindah ke sekolah negeri. Pasalnya karena sekola negeri lebih terjamin kesuksesannya kelak daripada sekolah Diniyah yang tak memiliki ijazah. Ia semakin bingung. Ketakutannya semakin menjalar menggerogoti pikirannya.
Sontak, lamunan Masyhuri tiba-tiba hilang saat mendengar bunyi drum band yang mulai ditabuh lagi di belakang gedung perpustakaan. Dan seketika itu pula semua orang merapat melingkari rombongan drum band itu. Disertai tepuk tangan dan sorak-sorai saat melantunkan nyanyian solawat badar. Seketika itu seolah-olah Nabi Muhammad telah datang ditengah-tengah ramainya lamat-lamat merdu lantunan bacaan solawat. Ah, bukan! Bukan Nabi Muhammad. Melainkan Kiai Zarnoji yang tak lama lagi akan datang disambut bacaan solawat badar yang diiringi musik drum band.
Sejenak Masyhuri tersenyum mendengar indahnya musik drum band yang senada dengan merdunya solawat badar. Namun, berselang beberapa detik, kembali ia tersentak saat mendengar siaran dari salah satu panitia yang menyiarkan, bahwa tak lama lagi Kiai Zarnoji akan segera datang.
“Duh, bagaimana ini?!” keluh Rasyidi panik. Lagi-lagi membuat genting keadaan.
Rombongan drum band mulai berarakan menuju jalan utama pintu gerbang madrasah. Sesuai permintaan panitia saat mengundangnya, bahwa 15 menit sebelum Kiai datang, drum band ditabuh terlebih dulu sebagai tanda, kalau Kiai akan segera datang. Dan drum band yang diiringi bacaan solawat akan diteruskan hingga halaman madrasah, tepatnya di depan panggung untuk mengiring Kiai yang hendak menaiki panggung.
Pada saat-saat itulah kesempatan setiap orang yang hendak menyambut tangan Kiai untuk menciumnya, atau bahkan memeluk seerat-eratnya.
10 menit berlalu. Belum ada tanda-tanda kalau Kiai akan benar-benar hadir dalam acara imtihanan itu. Sementara semua orang yang sudah berkumpul melingkari rombongan drum band, terlihat gelisah tak sabar melihat sosok Kiai Zarnoji, Kiai idola bagi masyarakat seantero kampung Buabu.
15 menit sudah tiba. Semua orang riuh melengak-lengok ke kanan-kiri. Melihat kalau-kalau Kiai Zarnoji sudah tiba yang sedari tadi mereka tunggu-tunggu kehadirannya. Bahkan kini orang yang mulai tadi berkumpul melingkar, perlahan mulai berpencar dan berjajar kanan-kiri membentuk jalan menuju pintu gerbang madrasah.
“Duh, apa yang harus kita lakukan?” suara Rasyidi serak.
Masyhuri diam sejenak seraya berpikir. Lalu meloncat cepat masuk ke dalam rumahnya. Selang beberapa detik. Ia keluar lagi dengan perawakan yang berbeda. Memakai sarung putih, jubah putih, kopiah putih, dan sorban putih melingkar di kepalanya. Bahkan, kumis dan jenggotnya yang sebelumnya tipis, kini bertambah sedikit tebal dan panjang. Lalu ia berjalan menuju rombongan drum band yang sudah menunggunya. Sesekali Rasyidi dari belakang terbata-bata mengejarnya. Untuk kemudian didampinginya.
Tiba-tiba dentuman drum band bertambah semakin keras. Dengan lantunan solawat badar yang semakin merdu. Semua orang merunduk sebagai rasa ta’dzim kepada sang Kiai. Dan satu-persatu dari ratusan orang yang menyambutnya mulai melangkah mendekati Masyhuri, meraih tanganya, lalu menciumnya dengan sangat haru. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memeluknya dengan erat dan memasukkan selembar amplok ke dalam saku bajunya yang putih.
Di saat-saat mereka sedang mencium tangan sembari memeluk erat tubuhnya, tiba-tiba terdengar seduh, isak tangis, serta air mata mulai mengucur dari pelupuk mata mereka. Mereka lalu diam tertegun. Merasakan kehadirannya yang seakan-akan telah membawa berkah.

Gapura, Sumenep Madura, 30 Juni 2012