Keganjilan di Hari Ulang Tahun

Oleh: Marsus 
Rambut lurusnya masih melilit basah. Karena baru selesai keramas, ia biarkan saja beberapa menit agar sedikit kering. Tak lama berselang, setelah memoleskan lipstik dan bedak pada bagian muka, lalu ia sisir rambutnya dengan rapi, agar terlihat lebih cantik ketika bergerambai panjang hingga punggung. Sudah lebih lima belas menit merapikan rambutnya. Ia yakin dengan model rambut dibiarkan tanpa kerudung itu, Zainur, pacarnya akan lebih senang dan lebih perhatian ketika melihat penampilannya.
Beberapa menit berselang, Zainur muncul. Pas seperti janjinya yang akan datang pukul delapan pagi. Ia menatap perempuan itu penuh kelembutan, penuh kasih sayang. Disertai sumringah senyum yang mengalir dari bibirnya yang tampan. Perempuan itu bertambah yakin, kalau kekasihnya benar-benar senang melihat penampilan barunya: tanpa mengenakan kerudung, dengan kaos oblong dan celana yang sedikit nyetrit. Ini kali pertama ia mencoba-coba meniru model pakaian sebagaimana temannya saat ia lihat di kampus, atau di tv-tv.
Sebagaimana janji sebelumnya. Karena hari itu merupakan hari ulang tahun perempuan tersebut. Zainur bilang, akan mengabulkan semua permintaannya dalam rangka hadiah hari ulang tahunnya. Artinya, hari itu adalah hari istimewa yang Zainur persembahkan hanya untuk kekasihnya. Apa pun yang kamu inginkan, akan aku kabulkan! Lanjut Zainur.
“Benar ni..?!” Perempuan itu berlagak genit.
“Benar sayang.” Zainur merayunya.
Meskipun Zainur sudah memberikan hari istimewa untuk meminta apa saja di hari ulang tahunnya, permintaan perempuan itu tidak terlalu muluk-muluk dan tak begitu sulit untuk Zainur wujudkan. Mengapa tidak, kalau permintaan kekasihnya itu hanyalah meminta semangkok bakso yang ada di pojok alun-alun di jantung kota itu.
“Hanya semangkok bakso?” Zainur tersenyum sambil memicingkan sepasang mata menatap perempuan itu. Maklum, peremuan kampung yang baru menginjak kota besar. Bakso mungkin menjadi makanan biasa bagi Zainur. Namun bagi perempuan itu, bakso merupakan makanan paling istimewa yang sangat ia gemari. Apa lagi ketika dengar cerita seru tentang nikmatnya rasa bakso di pojok alun-alun tersebut. Ia benar-benar penasaran dan ingin sekali mencicipinya.
“Jangankan hanya semangkok bakso, satu gerobak pun akan saya beli untukmu,” Zainur terkekeh. Perempuan itu tersenyum kecut.
“Awas lho boong!” jawabnya meniru-niru bahasa keren seperti di sinetron-sinetron. Zainur kembali terkekeh.
Perempuan itu memang terihat lebih cantik dengan penampilan seksinya. Mungkin keluguan dan ke-kampungannya tidak terlalu tampak dengan model pakaian tersebut. Meski ia merasa sedikit kaku karena tidak terbiasa dengan pakaian ketat begitu. Namun, toh pada akhirnya akan nyaman seperti teman-teman sebayanya, pikirnya.
***
Sesampainya di warung bakso yang ia minta, yakni tepat di pojok alun-alun di jantung kota itu. Perempuan tersebut terkejut. Bagaimana tidak, saat ia melihat bakso dari balik kaca gerobaknya begitu besar, besar sekali! Tak seperti bakso yang biasa ia beli di rumahnya: kecil-kecil seperti kelereng.
Ah, pantas saja, mungkin karena bakso yang besar itulah teman-teman bercerita seru kalau bakso di pojok alun-alun kota ini adalah bakso paling enak, pikirnya. Ia belum begitu yakin, sebelum mencicipi langsung. Bahkan sempat menyangkal, kalau kenikmatan bakso yang sering ia makan di rumahnya tidak akan kalah enak dengan bakso sebesar bola tenis itu. Bahkan mungkin masih lebih besar lagi.
Perlahan perempuan itu duduk. Zainur meminta pelayan untuk segara diantarkan dua mangkok bakso. Karena pembeli sangat ramai, dan rata-rata berpasang-pasangan, tentu ia harus menunggunya beberapa menit.
Perempuan itu merunduk sambil mencuri-curi pandang, ke sekitar, ke orang-orang yang sedang duduk menunggu giliran bakso datang, atau pada orang-orang yang sedang menyantap nikmatnya hidangan bakso dihadapannya. Ia tersenyum. Lalu berbisik pada Zainur.
“Untung aku berpenampilan seksi, tidak memakai kerudung. Lihat, orang-orang yang berpasangan, ceweknya tidak ada yang memakai kerudung, semuanya memakai pakaian seksi kayak di tv-tv!”
“Tp kamu memang lebih luwes tidak memakai kerudung. Kelihatan lebih cantik!” Puji Zainur. Perempuan itu berlagak semakin genit.
Setelah sebentar disela perbincangannya, datanglah seorang pelayan yang juga membiarkan rambut lurusnya terberai wangi membawakan dua mangkok bakso. Dengan ramah ia menghidangkan bakso ke hadapannya.
Lalu perampuan itu menyantapnya dengan lahap. Hanya dalam waktu lima menit, bakso dalam bangkok itu bersih tanpa sisa. Ia benar-benar merasakan kenikmatan bakso itu: bibirnya seolah bergetar menahan rasa pedas yang mantap, keringat bercucuran di keningnya sampai ke dahan lehernya. Hingga tampak warna kulit putihnya tepat di atas dadanya.
Zainur mengulum senyum. Kali ini senyumnya sedikit redup, saat melihat sosok perempuan itu dengan cara makannya yang seperti orang kelaparan berhari-hari. Ah, mungkin hanya karena terlalu fokus menikmati rasa bakso yang benar-benar menggoda dan membuatnya ketagihan, pikirnya.
Usai menikmati bakso, seperti halnya orang-orang yang ia lihat kanan kiri mengambil tisu atau tusuk gigi, ia pun iseng-iseng juga mengambilnya. Lalu mengelap keringat hangat yang terberai di kening hingga lehernya. Di hari ulang tahunnya itu, ia benar-benar merasa seperti orang ‘kota’ yang setiap ulang tahun selalu dirayakan, puas! Bagaimana tidak, kalau selama di kampung ia tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Jangankan merayakan, mengingat hari lahirnya pun tidak pernah.
Perempuan itu tak henti-hentinya tersenyum. Lalu menatap Zainur penuh perhatian, penuh cinta dan kasih sayang. Setelah sebentar dengan isyarat saling pandang, Zainur berdiri, perempuan itu membuntutinya ke kasir. Saat Zainur tengah membayar, dan perempuan itu menunggunya. Tiba-tiba muncul dua sosok perempuan mengenakan kerudung dengan rok berukuran agak besar.
Ia lalu tersenyum kecut, saat tahu kalau dua sosok perempuan berpenampilan islami itu adalah teman karibnya yang juga dari kampung. Mereka datang juga hendak mencicipi bakso. Namun ketika dua perempuan itu berdiri ingin memesan bakso, sang pelayan mengatakan:
“Maaf, Mbak, ini bakso Babi,” lenguh kasir tersebut membisiki dua perempuan itu.
Sontak, ia tersentak! Sesekali melirik bakso besar yang menyerupai kepala Babi menyokol-nyokol dibalik kaca gerobak itu. Seketika perutnya mual-mual. Ingin sekali memuntahkan. Tapi tidak bisa! Lalu ia lihat Zainur: biasa-biasa saja. Malah tersenyum. Seperti dua sosok temannya yang memakai kerudung itu juga tersenyum. Sebelum akhirnya ia pergi penuh keganjilan.

Yogyakarta, Oktober 2012.

(Sumber: Majalah Kuntum edisi Desember 2012)