(Riau Pos, 10 Maret 2013).
Bila senja rebah dan malam datang menjemput petang seperti malam ini, aku serasa hidup menjelajahi peristiwa silam sewaktu bersamamu.
Waktu kita habiskan untuk bermain-main di tepi sawah; mengejar burung-burung kecil yang terbang menyisir tanaman padi, menangkap capung-capung yang berduyun-duyun, lalu bergelantung di dedaunan padi.
Tetapi, ah, kenapa senja kali ini tak lagi sama seperti beberapa tahun silam, Nia?
Kalau masih kau ingat, dua puluh tahun silam, di gubuk kecil ini, kau kerap kali datang tatkala senja tiba. Mengetuk pintu. Melempar seulum senyum, mengajakku menikmati pemandangan sawah di senja yang amat indah.
Tentu aku tak bisa menolaknya saat kau meringis sambil menyeret tanganku untuk keluar rumah.
Di samping rumah gedek beratap jerami inilah, daun-daun hijau menari, seperti tarian tanganmu saat kita main kejar-kejaran. Mengejar burung dan capung-capung.
Di tepi sawah ini pulalah ramai dengan cericit burung-burung yang tengah kelaparan mencari makan di tengah padi yang sudah menguning.
Dan, ketika kau sedang berlari memburu burung dan capung-capung itulah, kakimu tersandung, lalu terpelanting, jatuh ke bawah tanggul sawah yang tinggi itu.
Pergelangan kakimu luka. Patah! Sekujur tubuhmu penuh dengan lumpur sawah. Tentulah saat itu aku menjadi orang paling panik-celikungan saat melihatmu.
Aku takut, aku khawatir, aku tak tega melihat tubuhmu yang terkapar! Spontan aku langsung menggendongmu, dan kuantar kau pulang ke rumahnya.
Dan tahukah kau, Nia? Di rumahmu yang bagai istana itulah akhir perjumpaan kita. Bila masih kau ingat, saat aku mengantarmu pulang sore itu, betapa ibumu memarah-marahiku, ketika melihatmu tengah diperaduanku.
Ia memaki-makiku, mengusirku untuk segera pergi dari rumahmu. Aku pun diam-diam melangkah, meninggalkanmu pergi meski perasaanku sangat berat kala itu.
Rintik-rintik hujan turun menemani perjalananku. Di tengah jalan pesawahan itu, aku seperti disergap perasaan benci. Benci akan keindahan sawah yang telah membuatmu terjatuh, dan kakimu patah! Karena sebab itulah kita juga akan berpisah.
Bagaimana tidak, kalau semenjak peristiwa itu, ibumu telah tahu kalau kita diam-diam sering bertemu, bermain bersama. Padahal ia melarangmu untuk tidak bergaul denganku.
***
Selama beberapa bulan dari perpisahan itu. Aku lebih senang duduk meringkuk di samping rumah, melempar pandang ke sekitar.
Dalam penantian ini, barang kali kamu masih ingat dan meluangkan waktunya untuk sekedar berjalan-jalan menikmati senja seperti biasanya.
Setelah sekian bulan, bahkan hampir satu tahun kau tak ada kabar. Entah, kau telah pergi ke kota atau hanya sengaja tak keluar rumah lantaran takut pada orang tuamu?
Sontak, aku terperanjat saat melihat sosok perempuan yang tiba-tiba muncul menyusuri semak-semak rerumputan yang menumpuk di tepi sawah itu.
Dengan khidmat kuperhatikan, kuteliti lebih dekat lagi, untuk memastikan siapa sebenarnya perempuan itu?
Dari arah berlawanan, terlihat gemulai tangannya yang lembut, sebentuk tubuhnya yang seksi, dan gerambai rambut lurusnya yang panjang, seolah perempuan itu memang benar-benar dirimu, Nia. Dan mungkin itu memang dirimu, pikirku disergap keganjilan dalam hati.
Namun sayang, sesaat setelah aku mencoba diam-diam mendekati, kekecewaanku malah kembali merajuk. Perempuan itu bukanlah dirimu. Perempuan itu adalah perempuan lain yang mungkin menjelma seperti sosok dirimu, seperti keanggunan wajahmu.
Perlahan aku memalingkan wajah. Melangkah meninggalkan perempuan itu. Tetapi ia tetap saja terus berlari, memburu burung dan capung, menari-nari sendiri, melambaikan tangannya dengan indah, seindah kepak sayap burung tersebut yang terbang pulang ke sarang.
Ah, mungkin ini hanyalah kebetulan, elakku, teringat saat awal-awal mengenalmu, bermain-main denganmu, sampai saling menjalin cinta kita berdua.
Keesokan harinya, seperti biasa ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Aku beringsut dari dalam kamar. Duduk meringkuk.
Memandang ke sekitar, ke belataran pesawahan. Dan tanpa kuduga, sosok perempuan itu muncul kembali dari balik rerumputan, melangkah.
Langkahnya terhenti tepat di tengah pesawahan. Berlari-lari, mengejar burung dan capung-capung. Tepat di areal sawah yang pernah menjatuhkan dirimu, dan mematahkan kakimu.
Spontan, aku beranjak sembari berteriak, mencegahya untuk tidak berlari-lari di tempat itu. Aku langsung menyambar lengan tangannya, menyeretnya, membawanya ke samping rumah. Takut, kalau-kalau perempuan itu bernasib sama seperti dirimu.
Ia terdiam. Aku mematung. Setelah sejenak, dia menatapku dengan sorot mata tajam. Aku bergeming, baru ingat kalau tindakanku terlalu berlebihan. Padahal aku belum kenal perempuan itu.
***
Hari demi hari kulalui bersamanya, berbagi cerita dengan dirinya; cerita tentang dirimu, cerita tentang perjalanan kita, Nia. Dan entah, terkadang aku merasa sangat bimbang dan kebingungan.
Hatiku tetap tidak bisa singgah darimu, pikiranku tetap berjalan untuk keberlanjutan hubungan kita.
Tetapi, kenapa dilain sisi aku juga merasa nyaman ketika bersanding bersamanya, Nia. Bersama Novela, perempuan yang kuanggap jelmaan sosokmu.
Perempuan itu begitu perhatian kepadaku. Setiap waktu ia tak pernah lupa menemaniku. Menemani kesedihanku lantaran kehilanganmu.
Dan dia pun juga telah kuceritakan tentang kisah kita. Ia juga menerimanya. Menerima keadaanku apa adanya. Lalu salahkah bila aku suatu ketika terperosok pada jurang hatinya yang lembut itu, Nia?
Semenatara sampai detik ini penantianku untukmu selalu berujung kesia-siaan.
***
Hampir genap tiga bulan pernikahanku dengan Novela. Betapa perhatian dan kasih sayang perempuan itu begitu besar kepadaku. Tentu setiap lelaki akan berandai-andai untuk memiliki seorang istri yang seperti itu.
Namun sayang, kasih sayang dan kelembutan hatinya tetap tak bisa merubah perasaan cintaku kepadamu, Nia. Setiap dekapan dan pelukan hangat dari perempuan itu tak sehangat dekapanmu disaat-saat kita berdua di tepi sawah, menikmati sunset sore itu.
Aku termangu di depan rumah. Seperti biasa bila kulihat area pesawahan itu, ingatanku pulih kembali akan perjalanan kita beberapa tahun silam.
Kadang aku ingin tersenyum. Tetapi air mata sulit kubendung bila ingat akan ibumu yang memaki-makiku ketika itu. Ah, entahlah di manakah kau sekarang, Nia...?
Malam tiba, aku dan perempuan itu duduk di beranda. Mengurai cerita tentang kita. Cerita layaknya seorang keluarga yang sudah kita jalani hampir genap satu tahun.
Di mana bermacam peristiwa telah kita jalani bersama, kita tanggung bersama. Dia bilang senang punya suami sepertiku. Aku pun menjawab senang bisa hidup bersamanya. Dia mengulum senyum. Aku membalasnya dengan ciuman.
‘’Benarkah kamu sudah bisa melupakan Nia, Mas?’’ lenguh perempuan itu merekatkan bibirnya di telingaku.
‘’Benar sayang, aku sudah melupakan semua tentang dia. Kini aku benar-benar mencintaimu,’’ ia terharu.
‘’Kalau suatu saat dia datang menemuimu, apa kau yakin tetap mencintaiku?’’ dia merajuk.
‘’Iya, sayang...’’
‘’Benarkah?’’ tanyanya lagi meyakinkan.
‘’Iya, sayaaaang...’’ jawabku. Lalu kupeluk ia dengan erat. Erat sekali!
***
Aku merasa rumah ini seperti istana. Kebahagiaanku dengan perempuan itu semakin hari semakin tumbuh, berkembang bagai bunga-unga mekar di pagi hari.
Dengan semerbak harum yang menyeruak. Dan setiap orang akan iri bila menyergah keharuman bunga itu. Apa lagi saat ia sudah benar-benar dinyatakan hamil oleh dokter.
Aku seperti menemukan kebahagiaan yang tak pernah aku peroleh sebelumnya.
Pada suatu senja, aku dan istriku berjalan menikmati sunset di samping rumah, di mana dulu aku sering menikmatinya bersama Nia. Berlari-lari, memburu burung kecil dan capung-capung.
Ketika matahari beranjak telah tenggelam. Lantunan adzan mulai berkumandang. Aku bergegas pulang. Sesampianya di pekarangan rumah, aku dikagetkan dengan sosok perempuan yang duduk tepat di beranda.
Tak seperti biasa orang bertamu waktu magrib begini, pikirku.
Perlahan kudekati perempuan itu. Sontak, aku benar-benar terkejut saat melihat raut wajahnya yang memana perhatianku. Aku tak yakin, itu adalah dirimu, Nia.
Tetapi ketakyakinan itu lenyap setelah kau mulai berdiri, mendekatiku, menatapku dengan sorot mata tajam.
‘’Maafkan aku, Mas!’’ kau berdiri. Aku mengalihkan pandang pada istriku. Dia hanya bergeming.
‘’Untuk apa kau datang ke sini?’’ tanyaku. Istriku tertunduk, seolah ada yang ia sembunyikan, namun tak bisa untuk ia ungkap.
‘’Aku datang ke sini atas kabar istrimu, yang memberitahuku bahwa kamu telah benar-benar berhasil melupakanku. Dan memberikan cintamu kepada Novela,’’ jelasnya.
Aku diam sejenak. Sejak kapan Novela kenal Nia?
‘’Dan terimakasihku pada Novela. Kau benar-benar sahabatku yang tak bisa kulupakan jasamu. Tak bisa kubalas kebaikanmu,’’ lanjutnya, ia menatap istrku lekat. Sementara aku hanya mematung melihat wajah mereka berdua.
Malam larut, gerimis semakin deras menjadi hujan lebat. Aku semakin tak paham apa yang terjadi diantara mereka. Kupikir ini hanyalah sandiwara.
Namun, selang beberapa menit setelah kamu pulang, dengan dipapah menggunakan tongkat oleh seseorang yang mungkin itu pembantumu.
Barulah istriku menjelaskan: kalau kamu dengan istriku adalah sahabat karib semenjak kecil. Dan, kehadiran Novela, istriku saat itu ternyata atas permintaanmu untuk menggantikan posisimu karena kakimu harus diamputasi sebab kecelakaan di sawah itu, dan lagi pula kau juga dilarang keras untuk berhubungan lagi dengan diriku.
Sontak, disela-sela gemeretak air hujan yang deras. Sesekali suara petir menyambar bubungan rumah, aku hendak beranjak keluar rumah, mengejarmu. Menyatakan perasaan cintaku untuk menerimamu apa adanya.
Namun, saat aku mulai berdiri, istriku cepat menyambar tanganku, dan bertanya, ‘’Benarkah kamu sudah bisa melupakan Nia, Mas?’’ lenguhnya melekatkan bibirnya di telingaku. Sesekali mengelus-elus perut buncitnya di hadapanku.
Aku bergeming, lalu mengangguk. Di luar rumah, hujan semakin deras, disertai gumuruh. Seperti gumuruh hatiku yang tak bisa diredam untuk terus mengejarmu dan mengutarakan kekecewanku terhadap istriku, yang ia hanyalah sebagai jelmaan dari perempuan kekasihku.
Jogjakarta, 08 Oktober 2012
Link: http://riaupos.co/spesial.php?act=full&id=1066&kat=1#.UljV6FPaaWY
Bila senja rebah dan malam datang menjemput petang seperti malam ini, aku serasa hidup menjelajahi peristiwa silam sewaktu bersamamu.
Waktu kita habiskan untuk bermain-main di tepi sawah; mengejar burung-burung kecil yang terbang menyisir tanaman padi, menangkap capung-capung yang berduyun-duyun, lalu bergelantung di dedaunan padi.
Tetapi, ah, kenapa senja kali ini tak lagi sama seperti beberapa tahun silam, Nia?
Kalau masih kau ingat, dua puluh tahun silam, di gubuk kecil ini, kau kerap kali datang tatkala senja tiba. Mengetuk pintu. Melempar seulum senyum, mengajakku menikmati pemandangan sawah di senja yang amat indah.
Tentu aku tak bisa menolaknya saat kau meringis sambil menyeret tanganku untuk keluar rumah.
Di samping rumah gedek beratap jerami inilah, daun-daun hijau menari, seperti tarian tanganmu saat kita main kejar-kejaran. Mengejar burung dan capung-capung.
Di tepi sawah ini pulalah ramai dengan cericit burung-burung yang tengah kelaparan mencari makan di tengah padi yang sudah menguning.
Dan, ketika kau sedang berlari memburu burung dan capung-capung itulah, kakimu tersandung, lalu terpelanting, jatuh ke bawah tanggul sawah yang tinggi itu.
Pergelangan kakimu luka. Patah! Sekujur tubuhmu penuh dengan lumpur sawah. Tentulah saat itu aku menjadi orang paling panik-celikungan saat melihatmu.
Aku takut, aku khawatir, aku tak tega melihat tubuhmu yang terkapar! Spontan aku langsung menggendongmu, dan kuantar kau pulang ke rumahnya.
Dan tahukah kau, Nia? Di rumahmu yang bagai istana itulah akhir perjumpaan kita. Bila masih kau ingat, saat aku mengantarmu pulang sore itu, betapa ibumu memarah-marahiku, ketika melihatmu tengah diperaduanku.
Ia memaki-makiku, mengusirku untuk segera pergi dari rumahmu. Aku pun diam-diam melangkah, meninggalkanmu pergi meski perasaanku sangat berat kala itu.
Rintik-rintik hujan turun menemani perjalananku. Di tengah jalan pesawahan itu, aku seperti disergap perasaan benci. Benci akan keindahan sawah yang telah membuatmu terjatuh, dan kakimu patah! Karena sebab itulah kita juga akan berpisah.
Bagaimana tidak, kalau semenjak peristiwa itu, ibumu telah tahu kalau kita diam-diam sering bertemu, bermain bersama. Padahal ia melarangmu untuk tidak bergaul denganku.
***
Selama beberapa bulan dari perpisahan itu. Aku lebih senang duduk meringkuk di samping rumah, melempar pandang ke sekitar.
Dalam penantian ini, barang kali kamu masih ingat dan meluangkan waktunya untuk sekedar berjalan-jalan menikmati senja seperti biasanya.
Setelah sekian bulan, bahkan hampir satu tahun kau tak ada kabar. Entah, kau telah pergi ke kota atau hanya sengaja tak keluar rumah lantaran takut pada orang tuamu?
Sontak, aku terperanjat saat melihat sosok perempuan yang tiba-tiba muncul menyusuri semak-semak rerumputan yang menumpuk di tepi sawah itu.
Dengan khidmat kuperhatikan, kuteliti lebih dekat lagi, untuk memastikan siapa sebenarnya perempuan itu?
Dari arah berlawanan, terlihat gemulai tangannya yang lembut, sebentuk tubuhnya yang seksi, dan gerambai rambut lurusnya yang panjang, seolah perempuan itu memang benar-benar dirimu, Nia. Dan mungkin itu memang dirimu, pikirku disergap keganjilan dalam hati.
Namun sayang, sesaat setelah aku mencoba diam-diam mendekati, kekecewaanku malah kembali merajuk. Perempuan itu bukanlah dirimu. Perempuan itu adalah perempuan lain yang mungkin menjelma seperti sosok dirimu, seperti keanggunan wajahmu.
Perlahan aku memalingkan wajah. Melangkah meninggalkan perempuan itu. Tetapi ia tetap saja terus berlari, memburu burung dan capung, menari-nari sendiri, melambaikan tangannya dengan indah, seindah kepak sayap burung tersebut yang terbang pulang ke sarang.
Ah, mungkin ini hanyalah kebetulan, elakku, teringat saat awal-awal mengenalmu, bermain-main denganmu, sampai saling menjalin cinta kita berdua.
Keesokan harinya, seperti biasa ketika matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Aku beringsut dari dalam kamar. Duduk meringkuk.
Memandang ke sekitar, ke belataran pesawahan. Dan tanpa kuduga, sosok perempuan itu muncul kembali dari balik rerumputan, melangkah.
Langkahnya terhenti tepat di tengah pesawahan. Berlari-lari, mengejar burung dan capung-capung. Tepat di areal sawah yang pernah menjatuhkan dirimu, dan mematahkan kakimu.
Spontan, aku beranjak sembari berteriak, mencegahya untuk tidak berlari-lari di tempat itu. Aku langsung menyambar lengan tangannya, menyeretnya, membawanya ke samping rumah. Takut, kalau-kalau perempuan itu bernasib sama seperti dirimu.
Ia terdiam. Aku mematung. Setelah sejenak, dia menatapku dengan sorot mata tajam. Aku bergeming, baru ingat kalau tindakanku terlalu berlebihan. Padahal aku belum kenal perempuan itu.
***
Hari demi hari kulalui bersamanya, berbagi cerita dengan dirinya; cerita tentang dirimu, cerita tentang perjalanan kita, Nia. Dan entah, terkadang aku merasa sangat bimbang dan kebingungan.
Hatiku tetap tidak bisa singgah darimu, pikiranku tetap berjalan untuk keberlanjutan hubungan kita.
Tetapi, kenapa dilain sisi aku juga merasa nyaman ketika bersanding bersamanya, Nia. Bersama Novela, perempuan yang kuanggap jelmaan sosokmu.
Perempuan itu begitu perhatian kepadaku. Setiap waktu ia tak pernah lupa menemaniku. Menemani kesedihanku lantaran kehilanganmu.
Dan dia pun juga telah kuceritakan tentang kisah kita. Ia juga menerimanya. Menerima keadaanku apa adanya. Lalu salahkah bila aku suatu ketika terperosok pada jurang hatinya yang lembut itu, Nia?
Semenatara sampai detik ini penantianku untukmu selalu berujung kesia-siaan.
***
Hampir genap tiga bulan pernikahanku dengan Novela. Betapa perhatian dan kasih sayang perempuan itu begitu besar kepadaku. Tentu setiap lelaki akan berandai-andai untuk memiliki seorang istri yang seperti itu.
Namun sayang, kasih sayang dan kelembutan hatinya tetap tak bisa merubah perasaan cintaku kepadamu, Nia. Setiap dekapan dan pelukan hangat dari perempuan itu tak sehangat dekapanmu disaat-saat kita berdua di tepi sawah, menikmati sunset sore itu.
Aku termangu di depan rumah. Seperti biasa bila kulihat area pesawahan itu, ingatanku pulih kembali akan perjalanan kita beberapa tahun silam.
Kadang aku ingin tersenyum. Tetapi air mata sulit kubendung bila ingat akan ibumu yang memaki-makiku ketika itu. Ah, entahlah di manakah kau sekarang, Nia...?
Malam tiba, aku dan perempuan itu duduk di beranda. Mengurai cerita tentang kita. Cerita layaknya seorang keluarga yang sudah kita jalani hampir genap satu tahun.
Di mana bermacam peristiwa telah kita jalani bersama, kita tanggung bersama. Dia bilang senang punya suami sepertiku. Aku pun menjawab senang bisa hidup bersamanya. Dia mengulum senyum. Aku membalasnya dengan ciuman.
‘’Benarkah kamu sudah bisa melupakan Nia, Mas?’’ lenguh perempuan itu merekatkan bibirnya di telingaku.
‘’Benar sayang, aku sudah melupakan semua tentang dia. Kini aku benar-benar mencintaimu,’’ ia terharu.
‘’Kalau suatu saat dia datang menemuimu, apa kau yakin tetap mencintaiku?’’ dia merajuk.
‘’Iya, sayang...’’
‘’Benarkah?’’ tanyanya lagi meyakinkan.
‘’Iya, sayaaaang...’’ jawabku. Lalu kupeluk ia dengan erat. Erat sekali!
***
Aku merasa rumah ini seperti istana. Kebahagiaanku dengan perempuan itu semakin hari semakin tumbuh, berkembang bagai bunga-unga mekar di pagi hari.
Dengan semerbak harum yang menyeruak. Dan setiap orang akan iri bila menyergah keharuman bunga itu. Apa lagi saat ia sudah benar-benar dinyatakan hamil oleh dokter.
Aku seperti menemukan kebahagiaan yang tak pernah aku peroleh sebelumnya.
Pada suatu senja, aku dan istriku berjalan menikmati sunset di samping rumah, di mana dulu aku sering menikmatinya bersama Nia. Berlari-lari, memburu burung kecil dan capung-capung.
Ketika matahari beranjak telah tenggelam. Lantunan adzan mulai berkumandang. Aku bergegas pulang. Sesampianya di pekarangan rumah, aku dikagetkan dengan sosok perempuan yang duduk tepat di beranda.
Tak seperti biasa orang bertamu waktu magrib begini, pikirku.
Perlahan kudekati perempuan itu. Sontak, aku benar-benar terkejut saat melihat raut wajahnya yang memana perhatianku. Aku tak yakin, itu adalah dirimu, Nia.
Tetapi ketakyakinan itu lenyap setelah kau mulai berdiri, mendekatiku, menatapku dengan sorot mata tajam.
‘’Maafkan aku, Mas!’’ kau berdiri. Aku mengalihkan pandang pada istriku. Dia hanya bergeming.
‘’Untuk apa kau datang ke sini?’’ tanyaku. Istriku tertunduk, seolah ada yang ia sembunyikan, namun tak bisa untuk ia ungkap.
‘’Aku datang ke sini atas kabar istrimu, yang memberitahuku bahwa kamu telah benar-benar berhasil melupakanku. Dan memberikan cintamu kepada Novela,’’ jelasnya.
Aku diam sejenak. Sejak kapan Novela kenal Nia?
‘’Dan terimakasihku pada Novela. Kau benar-benar sahabatku yang tak bisa kulupakan jasamu. Tak bisa kubalas kebaikanmu,’’ lanjutnya, ia menatap istrku lekat. Sementara aku hanya mematung melihat wajah mereka berdua.
Malam larut, gerimis semakin deras menjadi hujan lebat. Aku semakin tak paham apa yang terjadi diantara mereka. Kupikir ini hanyalah sandiwara.
Namun, selang beberapa menit setelah kamu pulang, dengan dipapah menggunakan tongkat oleh seseorang yang mungkin itu pembantumu.
Barulah istriku menjelaskan: kalau kamu dengan istriku adalah sahabat karib semenjak kecil. Dan, kehadiran Novela, istriku saat itu ternyata atas permintaanmu untuk menggantikan posisimu karena kakimu harus diamputasi sebab kecelakaan di sawah itu, dan lagi pula kau juga dilarang keras untuk berhubungan lagi dengan diriku.
Sontak, disela-sela gemeretak air hujan yang deras. Sesekali suara petir menyambar bubungan rumah, aku hendak beranjak keluar rumah, mengejarmu. Menyatakan perasaan cintaku untuk menerimamu apa adanya.
Namun, saat aku mulai berdiri, istriku cepat menyambar tanganku, dan bertanya, ‘’Benarkah kamu sudah bisa melupakan Nia, Mas?’’ lenguhnya melekatkan bibirnya di telingaku. Sesekali mengelus-elus perut buncitnya di hadapanku.
Aku bergeming, lalu mengangguk. Di luar rumah, hujan semakin deras, disertai gumuruh. Seperti gumuruh hatiku yang tak bisa diredam untuk terus mengejarmu dan mengutarakan kekecewanku terhadap istriku, yang ia hanyalah sebagai jelmaan dari perempuan kekasihku.
Jogjakarta, 08 Oktober 2012
Link: http://riaupos.co/spesial.php?act=full&id=1066&kat=1#.UljV6FPaaWY