Terminal Tua

(Koran Harian Jogja, 20 Februari 2010)

Perempuan itu mendatangi Aliben dengan senyum yang terpajang dua tahun yang lalu. Senyum getir dan gelisah, mata perempuan itu terlihat begitu sayu saat menatap laki-laki dekil yang tertegun di hadapannya, “Ada apalagi, Qiptiya?” Perempuan itu masih terdiam, matanya terus menjalar menyusuri parit-parit kotor yang dipenuhi dengan tikus-tikus jorok.

Sore itu, matahari terasa begitu ragu menghangatkan bumi. Di sebuah terminal tua yang tidak lagi disinggahi manusia, seorang pemuda dan pemudi terdiam menghayati kehadirannya satu sama lainnya. “Aliben,” desis perempuan itu lirih. “Aku tahu apa yang akan kamu bicarakan sore ini” tandas laki-laki itu dengan nada dingin.
Perempuan itu kembali merenduk. Pepohan dibelakang tubuhnya terlihat memalingkan ujung-ujung reranting yang dibelai angin. “Kamu tidak akan pernah paham.” Ucap perempuan itu sembari memainkan kedua belah matanya yang diam-diam mulai basah.
“Apa yang tidak pernah aku pahami. Bahkan aku mengenali diri kamu jauh lebih dari dirimu sendiri.” Aliben membalikkan badan, tubuhnya terasa bergetar. Jantung berdetak tidak seperti biasanya. Dia hanya terdiam, kejujurannya tersumbat oleh ketakutannya. “Lalu, kenapa kamu tidak pernah jujur padaku.” Tanya perempuan itu.
Aliben menghirup napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya keras-keras. Ia ingin mengusir ketakutannya. Ia ingin berteriak lantang, seperti tokoh-tokoh mitologi Yunani saat ingin memulai peperangan. Ia ingin mengabarkan pada sekelilingnya bahwa ia laki-laki yang memiliki keberanian dan pendirian. Tapi ia tidak bisa. Ia hanya mampu mengutuki dirinya sendiri saat perempuan itu menagih keberaniannya.
Aliben memalingkan wajahnya, sesekali ekor matanya menubruk perempuan yang berdiri rapuh dibelakang tubuhnya yang juga gemetar. “Kamu telah tidak jujur pada dirimu sendiri Aliben, bahkan kamu diam-diam telah membohongi aku selama ini.” Ucap perempuan itu mengikuti irama airmatanya yang terus mengalir.
“Percuma mendatangi kamu sore ini. Kamu memang tidak jujur, kamu terlalu penakut Aliben.” Perempuan itu berlalu menyisakan airmata di pipinya. Aliben menoleh tangannya terangkat, tapi mulut tetap tersendat. Dalam diam penyesalannya mengiringi kepergian perempuan itu.
***
Beberapa tahun kemudian, mereka sudah tumbuh dewasa. Aliban dan Qiptiya memilih menjalani pendidikan yang berbeda: jauh kampung, jauh desa, jauh pula tempat sekolahnya. Pertemuan beberapa tahun lalu adalah pertemuan terakhir diantara mereka. Tapi, diam-diam dalam lubuk hatinya masing-masing masih tertanam sebuah ingatan yang melekat di relung jiwanya. Kerinduan di antara mereka masih kian menumpuk dalam gudang-gudang waktu. Yang tak sempat ia kirim lantaran perpisahan telah menjemputnya.
Ketika matahari hampir terbenam, memerah mengitari bukit-bukit. Qiptiya pergi ke tepi pantai, menunggu kiriman gelombang-gelombang laut, kemudian ia ciptakan beberapa bait sajak-sajak cinta dan kegelisahan.
tapi mengapa

pasir-pasir di tepi pantai

tak juga pergi

gelombang-gelombang laut datang

mengombang-ambing 

pergi tampa berpamitan

kebiru-biruan wajahnya

menggulung-gulung

tersungkur oleh ribuang gelombang

seribu satu karang

dari beberapa yang telah ditingalkan

menyeta sebuah kenangan

pecah lantaran pasir-pasir

yang kian bertaburan

Malam sudah melabrak. Bintang-bintang mulai menyumbul dari kebiruan langit. Tak lupa juga rembulan yang mulai tersenyum mengitari kabut-kabut kebal yang berserakan. Oh, terasa asyik melihatnya. Mereka bercakap saling berbagi kisah. Bintang-bintang yang lain juga mulai tertarik dan berangsir dari tempatnya, ikut bergabung dengan mereka.
Dari sekian bintang-bintang yang mengitari, sinarnya masih lebih indah dari pancaran satu senyum sang rembulan. Ia seperti raja atu ratu kala itu. Bintang-bintang pada tunduk di sekelilingnanya.
Qiptya pun tersenyum tanpa ada sesuatu yang membuat dirinya geli. Entah sebab apa aku juga kurang mengerti. Raut mukanya memutih terpancar oleh sinar bintang dan rembulan. Lalu ia beranjak berdiri, melangkahkan kakinya menuju jalan pengap yang berarah ke pintu rumahnya. Sebentar lalu ia meraih gagang pintu rumah, dan menariknya. Sembari daun jendela yang melebar didorongnya lebih lebar lagi. Dipandanginya kedua makhluk terindah itu.
Malam memang cukup indah. Lagipula dingin desai angin tidak terlalu mengigilkan. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Katub sepasang mata Qiptya mulai memicing. Mendiskusikan pandang antara dua makhluk Tuhan yang sering menemaninya. Sebentar dia beranjak, menoleh ke arah dinding yang digantungi berbagai gambar-gambar dan beberapa foto teman-temannya. Ow, tak senganja wajah Aliben juga melabrak dari beberapa wajah yang lain. Hingga pikiran Qiptya terfukus kembali pada kisah petilah masa lalu.
***
Beberapa tahun kemudian, mereka sama-sama kembali ke kampung kelahiran. Namum, antara mereka tidak ada yang tahu tentang keberadaan masing-masing. Mereka hanya bisa mengenang dan mengingat kembali tentang peristiwa yang pernah terjadi di terminal tua yang tak lagi di singgahi manusia. Dan sampai sekarang tempat itu tidak berubah sedikit pun: arena tumbuh-tumbuhan, pesawahan, rumah-rumah menjulang di sekelilingnya.
Dari langkah-langkah kecil yang dipijak. Lelambaian tangan gontai yang terayunkan. Berakhirlah kaki Aliben di tepi sawah dekat terminal. Ia berdiri tegap. Sembari di pandangnya belataran padi di pesawahan itu yang sudah mulai menguning, persis seperti beberapa tahun silam saat dia berjumpa dengan Qiptya, gadis cantik yang sering ia puja. Ah, itu hanya masa kanak-kanakku saja, tak perlu kukenang lebih panjang lagi. Lenguh hati Aliben sambil berbalik untuk pulang.
Ow…! Aliben sungguh benar-benar terkejut. Tak dinyana diam-diam di belakang tubuh Aliben ada seorang perempuan cantik dengan senyum indah yang terpanjang. Kamu, kamu…? Tangan Aliben terangkat dengan mengulurkan telunjuk jarinya ke arah perempuan itu. Ya, aku Qiptya. Masih ingatkah kamu pada sebuah terminal tua ini?
Yogyakarta, 2009-2010