(Kompas.com, 5 Juli 2012)
Mursalam tak kuasa
menahan sedih. Ia menangis saat mendengar suara iba putrinya yang sudah sebelas
tahun bekerja di Arab Saudi. Ia sangat terharu, tak menyangka kalau akhirnya
bisa mendengar suara putri kesayangannya yang cantik itu. Dengan penuh rasa senang,
Mursalam telah memperoleh kabar prihal keadaan anaknya di Arab Saudi. Ya, kabar
Masriyam maskipun hanya sejenak melalui telpon selama kurang lebih lima menit.
Dan setelahnya, tanpa pamit tiba-tiba Masriyam terburu-buru mematikan telepon
yang sedang digenggam erat ayahnya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiJ8UaGlXOTBgZiR5AcKzSciuPYWnvAD9Qm-FoWqoD4vSEP7qS9LfON2QBsXovHrJ_vngZ5MO6V2tFMBzODJd6GjjuicKzcOxqWP__tMQD2QyxQzwXn9WKRKKzSHd8a9YnrTZu5jqFXSyi/s320/1920235p.jpg)
Selama beberapa tahun
Masriyam pergi ke Arab Saudi. Hanya terhitung dua kali ia memberi kabar kepada
ayahnya. Pertama, sewaktu Masriyam baru sampai ketempat kerjanya di Arab Saudi.
Kedua, sewaktu ibunya meninggal dunia selang beberapa bulan dari keberangkatan
Masriyam bekerja. Setelah itu dia tak pernah memberi kabar lagi tentang
keberadaannya di sana.
Kali ini Masriyam
memberi kabar lagi untuk hitungan ketiga kali—menghubungi ayahnya. Dengan
sebuah perbincangan kecil lewat telepon, Masriyam bercerita beberapa hal. Namun
sayang, cerita itu belum bisa tertangkap jelas oleh ayahnya. Apa yang Masriyam
maksud dalam cerita itu dan apa yang sedang ia alami di tempat kerjanya
tersebut? Semuanya menjadi sebuah mesteri bagi Mursalam. Suara Masriyam yang
terdengar dalam telepon tiba-tiba menghilang entah apa sebabnya. Namun yang
pasti, sebelum Masriyam mengakhiri perbincangan itu, terdengar sedikit
lamat-lamat jerit histeris tertangkap telinga ayahnya.
***
“Nak..., pulanglah!
Ayah dan adik-adikmu kangen ingin cepat bertemu,” ujar Mursalam sambil
meneteskan air mata.
Masriyam berangkat ke
Arab Saudi sudah bertahun-tahun lamanya. Ia berangkat melalui salah satu
Pengarah Jasa TKI di Jakarta. Dan hingga saat ini, semua keluarganya belum tahu
kejelasan nasib Masriyam di sana. Bernasip baik atau burukkah? Bahkan Mursalam,
ayahnya pun belum pernah dikirimi uang sepeser pun dari anak gadisnya selama ia
bekerja di luar negeri.
Karena sudah beberapa
tahun Masriyam tidak pernah memberi kabar, apalagi mengirim uang kepada
keluarganya, Sakimin, kakak sepupu Masriyam bermaksud untuk melaporkan masalah
ini kepada pihak yang berwenang. Dia khawatir akan keadaan Masriyam di Arab
Saudi. Sakimin menginginkan agar Masriyam bisa cepat-cepat pulang. Bahkan
sebelum lebaran tahun ini Masriyam sudah datang berkumpul di kampung halaman.
“Percuma! Rencana itu
sudah saya lakukan dua tahun lalu. Tak hanya satu-dua kali, bahkan
berulangkali. Tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya. Masriyam tetap tak
pulang-pulang. Mau dihugungi saja ingin tahu kabarnya tidak pernah bisa,”
bantah Sabidin, paman Masriyam, yang dulu memberi kabar lowongan kerja ke Arab
Saudi.
“Tapi kan tak ada
salahnya sekarang kita coba kembali. Kita laporkan kepada Kedutaan Besar
Indoesia agar mereka mendesak majikan Masriyam supaya Masriyam secepatnya
dipulangkan ke Indonesia,” kata Sakimin semangat.
“Dulu juga begitu.
Namun hingga saat ini Masriyam belum kunjung kembali ke Tanah Air,” bantah
Sabidin lagi.
Sakimin bergeming.
Pikirannya kacau-balau entah apa yang sedang dipikirkan. Setelah beberapa
detik, Sabidin meneruskan perbincangannya.
“Tahun lalu, ketua
lembaga Bantuan Hukum juga telah berjanji, kalau Masriyam akan dipulangkan satu
minggu sebelum hari lebaran saat itu. Tapi nyatanya apa? Sampai sekarang
Masriyam belum kembali ke kampung halaman.” Sabidin kecewa.
Sakimin memalingkan
wajahnya, sesekali menggambarkan betapa sedih nasib Masriyam di Arab Saudi.
Spontan Sakimin teringat akan berita-berita TKI yang sering menjadi korban
penganiayaan majikannya. Tetapi anehnya, entah mengapa masih banyak orang yang
belum jera, dan mereka pun dengan senang hati menerima tawaran menjadi TKI di
luar negri.
“Lalu harus
bagaimana? Apa semua ini akan dibiarkan begitu saja terus berlarut-larut?
Sementara kita tidak tahu bagaimana keberadaan Masriyam di sana?”
“Kita juga tidak tahu
apakah Masriyam masih hidup atau....”
“Hussstt..., jangan
ngaur kamu,”
“Yakinlah dan berdoa!
Masriyam pasti hidup senang di sana.”
***
Bulan Suci Ramadan
sudah tiba. Masriyam belum memberi kabar kapan dia akan kembali ke Tanah Air.
Pasalnya, sewaktu dihubungi oleh pihak yang bertanggungjawab beberapa hari
lalu, katanya Masriyam akan segera memberi kepastian untuk segera kembali ke
Indonesia. Dan yang pasti, di bulana Suci ini dia akan berusaha sampai ke
kampung halaman.
“Semoga saja Masriyam
benar-benar cepat kembali!”
“Iya, aku juga
berharap begitu. Kasihan sama Mursalam, dia sudah lanjut usia. Sering
sakit-sakitan pula. Tak mampu bekerja untuk membiayai hidupnya.”
Satu hari, dua hari,
hingga satu minggu Masriyam belum juga menghubungi pihak keluarganya. Padahal
Mursalam sudah terlanjur diberi tahu kalau putrinya tak lama lagi akan segera
menghubungi dan memberi kepastian kapan dia akan pulang. Dan yang jelas,
Mursalam akan selalu menanti dan berharap putrinya bisa datang di bulan penuh
berkah ini. Disamping Mursalam memang tinggal sendiri tak ada yang menemani.
Dia juga sangat merasa kangen ingin cepat berjumpa dengan anak gadisnya yang cantik
itu. Yang sudah belasana tahun pergi tak ada kabar.
Tak ada orang tua
yang tak merindukan anaknya. Apalagi selama bertahun-tahun pergi tanpa ada
ujung rimbanya. Tak terkecuali Mursalam orang tua Masriyam, yang selalu
mendamba-dambakan bisa segera bertemu dengan anaknya. Tetapi sumua angan-angan
itu sia-sia tanpa ada kepastian yang mewujudkannya.
“Mungkin dalam minggu
ini Masriyam akan menghubungimu, Salam,” ujar Sabidin sewaktu Mursalam
menanyakan putrinya.
Mursalam hanya
mengangguk pelan sembari menundukkan kepalanya. Benarkah dia akan pulang? Tanya
Mursalam ragu dalam hatinya. Namun ia sesegera menghapus keraguan itu. Masriyam
pasti pulang. Ya, dia pasti pulang ke kampung kelahiran, lanjutnya dengan suara
samar. Lalu sejenak Sabidin beranjak meninggalkan Mursalam. Mursalam pun
malangkah tertatih-tatih memasuki rumahnya.
Dua puluh tahun
silam, desisinya. Dia memperhatikan gambar istri dan anaknya yang sedang
berpelukan. Ya, dua puluh tahun silam, Mursalam teringat jelas saat dia hidup
bersama istri dan anaknya. Dengan penuh rasa senang dan bahagia. Tapi
sekarang..., ah, semuanya telah sirna. Anaknya pergi merantau tanpa ada kabar,
sedang istrinya telah meninggal dunia beberapa tahun silam.
***
Lebaran telah tampak
diujung mata. Masriyam belum juga memberi kabar kapan dia akan pulang. Padahal
Mursalam menyimpan harapan besar agar putrinya itu bisa kembali sebelum lebaran
tiba. Dan entahlah, penantian yang selama bertahun-tahun ia rasakan, akankah
terwujud kali ini atau tidak? Semuanya hanya dijadikan sebuah mesteri yang tak
pernah ditemukan ujung pangkalnya.
Saat malam tiba,
Mursalam selalu duduk termangu melipat kedua tangannya. Memikirkan sang anak
begitu mendalam. Sehingga kadang tanpa terasa ada setitik air bening mengalir
di garis-garis pipinya. Mursalam juga selalu berandai-andai, ketika malam tiba,
esok paginya akan kedatangan tamu terhormat yang ia damba-damba, tak lain
adalah putrinya sendiri yang ia dambakan sudah menjadi orang besar di sana. Di
Arab Saudi yang bekerja sebagai TKI.
Mursalam tersenyum
bila teringat kepada tetangganya yang baru saja datang dari Arab Saudi. Dia
datang membawa oleh-oleh sangat banyak untuk dibagi-bagikan kepada keluarga dan
tetangganya. Selain itu, kabarnya dia juga membawa uang banyak dari hasil
pekerjaannya di Arab Saudi. Mendengar kabar itu, Mursalam semakin tak sabar
menunggu kedatangan anaknya yang juga bekerja di Arab Saudi.
Ya, tak lama lagi
pasti merasakan kebahagiaan juga seperti yang mereka rasakan saat menyambut
kedatangan anaknya yang bekerja di Arab Saudi, desis Mursalam pelan. Sesekali
dia mengumbar senyum tipis menatap foto anaknya saat ia masih berumur 12 tahun.
***
Dua hari lagi lebaran
akan tiba. Wajah Mursalam terlihat sedih dan kecewa. Sebab putrinya masih belum
pulang dan belum ada kabar. Lalu, ia datangi lagi rumah Sabidin, untuk
menanyakan kapan putri kesayangannya itu sebenarnya akan kembali ke kampung
halaman?
“Sabarlah, Salam...,
tidak perlu khawatir. Masriyam masih baik-baik saja di sana,”
“Ini ada sedikit
kiriman uang dari putrimu, untuk kebutuhanmu di hari lebaran nanti.” Lanjut
Sabidin tersenyum sambil mengulurkan uang lima puluh ribuan sebanyak tiga
lembar.
“Uang itu dikirim
oleh Masriyam disuruh kasikan kepadamu.” Tambahnya.
“Sejak kapan Masriyam
mengirim uang ini. Apa dia tidak jadi pulang lebaran kali ini?” Tanya Mursalam
penasaran.
“Yang penting anakmu
sehat-sehat saja di sana. Kamu tidak perlu khawatir! Nanti kalau dia sudah
diijinkan pulang oleh majikannya pasti kukabarkan padamu.”
Mursalam diam
bergeming. Sesekali tersenyum melihat tiga lembar uang yang sedang dipegangnya.
Dia merasa senang karna anaknya sudah mengirimkan uang. Dengan begitu, berarti
dia sudah sukses dan berhasil dalam pekerjaannya di sana, pikirnya. Setelah
sebentar, lalu Mursalam pergi meninggalkan rumah Sabidin. Dan Sabidin pun mulai
tersenyum geli mengiringi kepergian Mursalam yang telah berhasil dia bohongi.
Oh, tidak! Bukan
hanya Mursalam sebenarnya yang dia bohongi. Masriyam pun yang pertama
dikelabuhi. Semenjak beberapa bulan saat Masriyam pergi bekerja ke Arab Saudi,
Sabidin mengabarkan kepada Masriyam, kalau ayah dan ibunya telah meninggal
dunia karena kecelakaan. Dan sebab rencana licik Sabidin itulah Masriyam dan
Mursalam terpisahkan. Masriyam tak pernah menghubungi orang tuanya lagi karena
ia pikir mereka sudah meninggal. Dan sebagian uang hasil dari pekerjaan
Masriyam pun ia kirimkan setiap bulan kepada Sabidin, pamannya sendiri.
Tak ada seorang pun
yang mengetahui tentang masalah ini. Tentang kelicikan Sabidin yang telah
memperalat Masriyam untuk bekerja di luar negeri. Dan hasil pekerjaannya
diam-diam memang ingin supaya diberikan kepadanya. Dan bahkan dari saking
liciknnya Sabidin, sebenarnya Masriyam dikirim ke luar negeri bukanlah sebagai
TKI. Tetapi sebagai wanita penghibur bagi lelaki yang haus akan melampiaskan
nafsu birahinya. Ah, lebih tepatnya, Masriyam di jual oleh Sabidin ke luar
negeri sebagai pelacur, sebagai wanita malam, wanita penghibur para kaum
lelaki.*
Yogyakarta, September
2011
Link: http://entertainment.kompas.com/read/2012/07/05/19212338/Putri.yang.Terjual
Link: http://entertainment.kompas.com/read/2012/07/05/19212338/Putri.yang.Terjual