Perempuan Penunggu Rumah


Oleh: Marsus
Mendadak perempun itu terperanjat. Saat mendengar lolong anjing milik tetangga, bersama jerit telepon yang semula tertindih bantal gulingnya. Padahal, sebelumnnya ia tergolek rapuh, dengan selimut tebal yang membungkusinya.
Malam itu memang cukup dingin. Gerimis yang turun beberapa menit lalu, membawanya lekas terlelap meski malam tak begitu petang. Dan sampai saat ini, sisa-sisa titik gerimis itu masih saja berjatuhan. Tetapi, dingin kali ini tak membuatnya bisa tertidur lagi setelah ia menerima telepon dari seorang lelaki, yang mengatakan akan datang malam ini.
“Baiklah, saya tunggu!”
Tanpa pikir pajang si perempuan cantik itu mengiyakan keinginannya. Padahal ia belum tahu pasti, siapa lelaki yang mau datang malam itu? Makahnya ia sempat terkejut, setelah suara telepon tiba-tiba mati. Sedang dirinya belum sempat bertanya, siapakah sebenarnya lelaki itu?
Ia merasa bimbang. Sebab tak seperti malam-malam sebelumnya, dimana ia bisa menebak, dari kekhasan suara yang ia tangkap, meski hanya sesebentar lewat telepon. Tetapi, hanya malam itu, ya hanya malam itu ia merasa sangat berat dan sulit menerka dan menentukan, siapa lelaki yang akan datang menemuinya?
Wajahnya mengerut. Sepasang matanya membelalak saat hendak menghubunginya lagi. Ia lihat nomornya, tak terdeteksi! Lelaki itu memakia nomor pribadi!
Perempuan itu merasa bertambah getir. Takut kalau lelaki tersebut bukanlah lelaki yang ia idam-idamkan sebagaimana malam-malam sebelumnya. Ia mencoba berkali-kali untuk mengingat-ingat, menebak-nebak. Namun suara tersebut serasa asing dan tak mampu ia terka. Ah, barangkali ia sedang terburu-buru di jalan, sehingga suaranya tak begitu jelas bercampur gerimis yang turun berjatuhan, pikirnya, ia tepis kegetiran itu dalam-dalam.
Lalu ia beringsut dari tempat tidur. Merapikan seprai dan beberapa bantal yang terberai di atas kasur. Sesekali melangkah. Langkahnya terhenti dan termangu tepat di depan cermin, duduk, menatap wajah beserta rambut lurusnya yang berantakan. Tak seberapa lama usai membersihkan wajah dan merapikan rambutnya, maskipun malam  itu sudah larut di atas pukul satu malam, ia melepas piama yang lusuh dan mengantinya dengan daster putih trasparan.
Setelah ia mengguyuri parfum pada sekujur tubuhnya. Lalu duduk kembali di depan cermim. Tersenyum. Memerhatikan postur tubuhnya yang masih muda dan mempesona. Segar dan sintal. Sehingga tak heran bila setiap lelaki nyaris tergila-gila ingin selalu kencan bersamanya. Tetapi, ia sadar bukan hanya karena lekuk tubuhnya yang montok, yang membuat setiap lelaki sering mengajaknya kencan. Namun dari kecerdikan bibir dan lidahnya saat setiap kali melakukan sebuah cimuman yang membuat kaum lelaki ketagihan, dan bahkan dari ciumannya selalu ada kekhasan tersendiri yang ia lakukan buat sang lelaki agar selalu ingin mengulangnya lagi.
Ia lagi-lagi mengulum senyum, sesekali menimbang-nimbang; minuman apa yang sekiranya tepat untuk ia suguhkan bila lelaki itu sampai di rumahnya? Andai saja ia tahu kalau lelaki yang akan datang adalah Fajri (lelaki yang biasa sering kencan bersamanya), pastilah ia menyediakan secangkir kopi dengan sebatang rokok. Tetapi bila lelaki itu adalah Tamam (lelaki lain yang juga sering kencan bersamanya), pastilah ia membuatkan segelas susu hangat dan sebungkus roti bakar.
Ah, siapa pun yang akan bertandang malam ini, ia tak ambil pusing. Sebab yang pasti, yang mereka inginkan pada suasana malam sedingin ini, bukanlah sebuah kehangatan dari secangkir kopi dan segelas susu. Tetapi kehangatan keduanya tidak bisa ditukar dengan hangatnya lumatan bibir lembut yang akan ia persembahkan tepat ketika lelaki itu muncul di depan pintu rumahnya.
***
Sambil terus membalik-balikkan telepon, perempuan itu bergumam dengan harapan; kalau lelaki yang tak lama lagi akan datang adalah Fajri, lelaki berjiwa lembut—yang pertama kali ia jumpai setelah berpisah dengan suaminya – lantaran perselingkuhan. Ya, perselingkuhan sang suami dengan seorang karyawan cantik ditempat kerjanya. Ah, bukan, perceraian itu bukan hanya karena perselingkuhan, lain dari itu karena dalih sang suami yang mengatakan, kalau si perempuan itu tak bisa memberikan keturunan, alias mandul!
Dan semenjak perpisahan itulah, ia lebih sering memilih berdiam diri menenun nasib di dalam rumah. Bila hendak keluar pun hanya karena untuk membeli makanan di sebuah warung, yang berada tepat di depan rumahnya. Di warung itulah ia kali pertama berjumpa dengan Fajri.
Mungkin, sebab keramahan Fajri yang teramat lembut, penuh perhatian dan suka memujanya—setiap kali berjumpa di warung itu, sehingga ia merasakan kesenangan disela kesepiannya. Dan kesenangan itu dari waktu ke waktu ternyata telah mampu untuk melupakan sang suaminya.
Ah, bukan hanya itu kenangan yang ia peroleh semenjak kenal Fajri, tetapi banyak lelaki lain yang ia akrabi, sehingga tak jarang mereka sering datang-pergi, kencan di rumahnya. Meninggalkan berbagai pujian-pujian ‘kepuasan’ atas suguhan dan penyambutannya. Meski sebenarnya yang ia suguhkan hanyalah secangkir kopi dan segelas susu hangat, atau susu yang teramat panas!
Namun mungkin dari kepuasan itulah, ternyata telah menjelma menjadi sebuah kesenangan yang tiada tara dalam hidupnya. Ya, kesenangan bagi si perempuan saat merasakan ada sesuatu yang menggumpal dalam perutnya. Yang sedari dulu ia damba-dambakan dari suaminya. Kini para lelaki itu telah mewujudkan keinginnya. Keinginan untuk membuktikan, kalau dirinya benar-benar perempuan sempurna yang bisa memberikan keturunan untuk sang suaminya. Tapi, entahlah benih dari lelaki yang mana yang kini sudah tumbuh dalam perutnya?
***
Ia mulai gelisah, sesaat terkejut melihat detak jam yang berganti pada angka dua dini hari. lagi-lagi ia mengotak-atik teleponnya. Lalu berdiri, melongok keluar jendela. Melihat ke halaman rumah. Ah, desisnya lirih, selirih gerimis yang jatuh satu persatu.
Sekitar dua jam sudah ia duduk di kursi panjang di ruang tamu. Tetapi sampai detik ini lelaki yang ia tunggu tak kunjung datang. Aih, bukankah akhir-akhir ini jalan ramai dengan para demonstran? Mungkin ia masih terjebak kemacetan? Gumamnya lagi menepis kekhawatiran yang mulai bersarang di benaknya.
Tak seberapa lama saat memencet tombol telepon. Ia terkejut mendengar derik panjang dari pintu pagar. Ia terdiam sejenak.... Ahai, lenguhnya disertai seuntai senyum. Ia sesegera berdiri untuk menyambut sang lelaki. Apakah yang datang adalah Fajri, atau yang lain? Tanyanya dalam hati. Masih menyimpan perasaan bimbang dan getir bercampur senang.
Perempuan itu beranjak mendekati jendela. Lalu menyingkap gorden warna coklat, memastikan siapa yang membunyikan derik pintu pagar hingga berulangkali?
Aih.., ia tersentak saat melihat dua ekor anjing yang menyokol-nyokol pintu pagar. Ya, dua ekor anjing penjaga rumah milik tetangga, yang kadang kala bila malam larut sering mundar-mandir di depan rumahnya; melolong, memberi isyarat kalau ada seseorang yang akan datang menemuinya. Hem, mungkin dua anjing itu sebagai isyarat kalau tak lama lagi dia akan benar-benar datang menemuinya, pikirnya.
Ia mulai tersenyum. Melepas kembali gorden yang semula ia singkap. Sekitar dua puluh menit ia duduk berangan-angan, dan menimbang-nimbang tentang lelaki yang sedari tadi ia tunggu, namun tak segera datang, dan bila pun ia datang, ia sedikit merasa bimbang, apa yang akan ia persembahkan pertama kali saat lelaki itu berdiri di depan pintu rumah—sebagai bentuk kerinduannya selama berjam-jam. Ah, bukan hanya berjam-jam, tapi berbulan-bulan.
Lalu ia tersentak, sesaat mendengar lolong anjing yang semakin memekik keras sambil menyokol-nyokol pintu pagar sampai bunyi engsel terdengar lebih keras, bagai jeritan. Sementara, ia tetap setia menunggu dan menunggu lelaki itu. Tak seberapa lama dari diamnya, disela-sela lolong anjing yang semakin memekik, terdengar sayup-sayup telepon yang ada di atas meja. Ia sesegera mengambil, memastikan siapa yang memberi kabar.
Tiba-tiba dari raut wajahnya ada sebercak kekecewaan saat membaca pesan yang tak membahagiakan.
Aku bukan ayah dari bayi yang dikandungmu. Jadi, jangan sekali-kali kamu menunggu dan menyebut namaku!
Begitu pesan yang dikirim seseorang dengan memakai nomor baru. Ia tersentak. Kemudian terdengar kembali dering telepon, lagi dan lagi sampai berulang kali. Dan setelah ia lihat, isi pesannya tak jauh berbeda, hanya pengirimnya yang tak sama.
Lalu, apakah perempuan itu tetap akan mentakdirkan dirinya menjadi perempuan penunggu. Sebagaimana dua ekor anjing yang tetap setia menjadi penungu rumah milik majikannya? Sementara lelaki-lelaki yang sering ia tunggu telah mengingkari janjinya dan membiarkannya sendiri menanggung benih yang mereka tanam dan telah tumbuh di dalam perutnya.
Kini setiap malam yang kerap datang menghiburnya bukan lagi para lelaki, melainkan dua ekor anjing yang memekik ramai menemani dirinya. Dan dengan begitu, kesedihannya terasa sedikit terobati saat mendengar lolong anjing yang ia ibaratkan seperti lolong para lelaki ketika bersetubuh dengan dirinya.

Yogyakarta, 06 April 2012

(Sumber: Juara I, Lomba Cipta Cerpen oleh Penerbit Pustaka Jingga 2012).

0 comments: