Oleh: Marsus
“Ibu, jangan pergi
tinggalkan aku,” lenguh suara anak kecil yang masih berumur sepuluh tahunan.
Suaranya serak, wajah dan sekujur tubuhnya hitam penuh debu dan lumpur. Hanya
kulit asri yang kelihatan digaris pipinya yang dialiri tetes air mata. Kulit
kedua kakinya mengelupas terkena lalapan api. Bukan! Bukan hanya kakinya.
Bahkan sekujur tubuhnya juga luka mengelupas, namun belum bisa ditangkap
penglihatan mata karena terbalut debu pekat yang menempel di sekujur tubuhnya.
“Ibu, jangan
pergi...., Ibu mau dibawa ke mana?” Tanya anak kecil itu ketika ibunya
dianggkat oleh para relawan dibawa ke tempat pengungsian. Dia terus
membuntutinya. Mengikuti jejak para relawan yang membawa ibunya entah ke tampat
pengungsian mana?
“Ibu, aku takut!
Mengapa orang-orang pada berkumpul semua, Ibu? Dan wajahnya hitam tak kukenal,”
desisnya sambil menitikkan air mata. “Ayah ke mana? Kakek dan nenek—yang setiap
malam menjelang tidurku bercerita tentang ini, tentang itu ada di mana
sekarang? Apa dia juga berkumpul dengan orang-orang itu, Ibu? Orang-orang yang
wajahnya hitam tidak kukenal? Atau masih di sana, di rumah yang runtuh
tertimbun debu dan lumpur panas? Kasihan mereka, Ibu!” dia mulai tergolek
merengek tak berdaya.
Anak kecil itu terus
mengigau mengikuti ibunya yang sedang di usung ke tempat pengungsian. Lalu
sesampainya di sana, dia kembali bertanya, “Ibu, bukankah itu ayah?” telunjuk
jarinya menuju seorang lelaki yang sedang terdampar di bawah tenda pengungsian,
“Bukankah itu juga kakek dan nenekku, Ibu,” lanjutnya ketika melihat dua orang
tua yang berada disamping lelaki yang terdampar itu.
“Ibu, bangun! Kenapa
Ibu hanya diam saja mulai tadi? Itu ayah dan nenek ada di sana. Ayo ke sana,
ayo kita berkumpul lagi dengan mereka!” Anak kecil itu mengajak ibunya dengan
meronta-ronta. Wajahnya memaksa. Dia tidak tahu kalau sebenarnya sang ibu dan
ayah serta kakek dan neneknya sudah tak bernyawa lagi.
Kemudian, anak kecil
itu menagis. Menjerit memanggil-manggil sang ibu yang berada di sampingnya. Setelah
sesaat datanglah para relawan yang ingin mengevakuasi para korban bencana
Gunung Merapi. Baik yang masih bertahan hidup maupan yang sudah mati. Termasuk
seorang perempuan yang kini sedang ditangisi oleh seorang anaknya.
“Mau dibawa ke mana
ibuku?” Tanya anak itu. Kemudian, perempuan itu diangkat, dibawa ketempat
penguburan massal yang sudah disediakan. Dan anak kecil tersebut kembali
menjerit. Meronta-ronta meminta agar ibunya tidak segera di kubur.
Selang beberapa bulan
dari peristiwa itu, hidup sebatangkara ia jalani tanpa ayah dan ibu, juga tak
ada lagi nenek atau pun kakek yang setiap malam menjelang tidurnya bercerita
berbagai dongeng-dongeng lucu, haru, juga menakutkan. Sekarang tidak seperti
itu lagi, bahkan setiap harinya untuk mencari makan ia hanya mondar-mandir di
pertigaan jalan raya menunggu belas kasihan orang-orang kaya yang bermobil
mewah. Dan setiap malam pun ia berusaha melindungi tubuhnya dari udara dingin
dan lebat air hujan dengan berteduh dibawah kolom jembatan bersama teman-temannya.
Jogja, 2011
(Sumber: Harian Jogja, 02 April 2011).
(Sumber: Harian Jogja, 02 April 2011).