(Koran Harian Jogja, 07 Agustus 2010)
Akankah perjalanan
separuh malam akan menciptakan rindu dalam bentuk warna yang lain, yang
bertahun-tahun kini sudah terpendam. Ya, rasa rindu akan seseorang yang telah
membuat hatinya cidera, luka. Lalu membiarkannya pergi dalam relung penderitaan.
Malam yang lirih,
beserta sepoi angin yang berjalan lamban. Dengan detak jantung tak karuan,
lelaki itu mulai menanjak gas motornya bersama seorang perempuan. Menatap, dan
terus menatap pada seruas jalan, tak memperdulikan kepadatan batu-batu yang
membentang di depannya. Dalam perjalanan, ia seperti menemukan sebuah warna,
yang selama ini hanya bisa dirasa dengan kesia-siaan. Dingin tak ia rasakan.
Meski gerimis beserta angin lembab menyerocos ke pori-pori tubuhnya.
Rasa dalam tubuhnya,
mengalir bagai gerimis yang sedang turun dari lentik bulu alisnya. Tapi ia
sembunyikan, sebab pada sebuah tempat, di mana luapan air laut mengalir tenang,
dengan dingin desau angin yang berhempas lirih, lelaki itu berniat untuk
mengungkapkan rasa kekagumannya akan perempuan itu.
Tak sampai satu jam,
ia menghentikan motornya, tepat di pinggir pantai. Kakinya melangkah,
berdampingan, tak tergesah, cukup pelan melawan kecepatan detak jantung yang
semakin tak karuan. Tangan ia raih. Lalu ditatapnya sang lelaki, berjalan
dengan senyum ranum. Terasa ada gemuruh dalam hati masing-masing. Bibir sang
lelaki tatap tak bergerak, untuk mengungkap rasa kekagumannya. Ia seperti tak
yakin, perjalan separuh malam itu akan membuat warna lain dalam kegalawan
hatinya.
Keringat dingin
bercucuran dari kening. Sejenak ia urungkan niatnya untuk berucap. Kebisuan
antara keduanya membuat semakin jelas gemericik air yang mengalir ke dasar
pantai. Hanya ada bisik semi dalam hati sang lelaki, benarkah perjalanan
separuh malam telah membuat hatinya luluh, dan akan menerima rasa kekaguman
terindah yang selama ini ia rasa? Ah, bukan hanya kekaguman saja. Tapi ada rasa
cinta. Namun ia seperti tak percaya dan tak ada daya. Tiba-tiba mematung, diam
bergeming.
Luapan air laut
tumpah menyentuh kedua kakinya. Melangkah demi selangkah. Singgah dari
kedalaman air yang semakin larut membuat kakinya tenggelam. Butiran-butiran
pasir beterbangan, hinggap ke pelupuk matanya. Tapi tak merasa risih dengan
kejanggalan itu. Ia malah senang bercanda gurau menikmati suasana malam yang
semakin larut semakin indah. Lampu-lampu gemerlapan. Silau cahayanya semakin
tampak menyinari wajah sang perempuan “tak hanya baik dan berakhlak mulia,
cantik pula.” bersit dalam hatinya.
Setelah beberapa lama
berjalan di pinggir pantai. Tampa sapa atau tanya. Hanya isayarat saling
pandang dalam kesunyian. Bukan tak ingin bicara, atau bisu. Tetapi tak ada kata
yang tepat untuk membuka pertemuan yang hanya separuh malam itu. Lagi pula
pertemuan tersebut tak di duga sebelumnya. Maka, keyakinan semakin menipis
bahwa sang perempuan akan begitu cepat memahami dan menerima kekaguman sang
lelaki.
Kini rasa dalam
tubuhnya semakin meluap. Bagai air laut yang sedang menguap. Apa lagi ketika
duduk berdampingan, menghayati kehadirannya satu sama lain. “Mas” desis perempuan
dengan nada dingin. Ada yang tersimpan dalam benaknya. Lalu ia kembali
merunduk. Pepohon dibelakang tubuhnya memalingkan ujung-ujung reranting yang
dibelai angin. “Mas...” ucapnya sekali lagi serak, tiba-tiba kedua belah
matanya diam-diam mulai basah. Entah apa yang sebenarnya ia ingin ungkapkan?
Ia menyeka sedikit
air mata yang tak sempat jatuh membasahi pipinya, lalu meneruskan kata-katanya
"Mas, apa yang kau rasakan dalam perjalanan yang kita jalani dalam waktu
sesingkat ini?” sang lelaki tak menjawab. Ia merasa ada sedikit harapan yang
bisa dipegang. Kepalanya tertunduk, tatapan matanya tertuju pada ketenangan air
laut. Bibirnya bergetar, tetapi getaran dari sebuah senyum yang sedang ia
tahan.
Desau angin membawa
suasana dingin. Gerimis yang turun telah menyelimutinya. Lalu, dengan pelan
sang lelaki menghirup napas dalam-dalam, menghempaskannya mengusir ketakutan.
Dengan perasaan tenang, akhirnya ia menjawab “aku merasa ada sesuatu yang tak
pernah aku rasakan sebelumnya.” Ia kembali tertunduk, memalingkan wajahnya yang
dilanda dengan berbagai kegetiran. Ya, getir karena takut kata-katanya akan
membawa kekecewaan. “apa itu, Mas?” tanyanya. lagi lagi sang lelaki diam terasa
bimbang menjawabnya.
Malam semakin larut,
dilihatnya butiran bintang, silau menerpa wajahnya. Lalu, diam-diam ia
membalikkan badan, tubuhnya terasa bergetar. Detak jantung tidak seperti
biasanya. Hanya diam, kejujurannya tersumbat oleh ketakutan. Tapi tetap ia
paksakan “aku mencintaimu” ucap sang lelaki sambil beranjak, menghampiri sang
perempuan yang sedang berdiri rapuh. Lalu, dengan pelan perempuan itu
membalikkan tubuhnya yang gemetar. Sesekali menyisakan air mata yang mengalir
di pipinya, sembari berucap “aku juga mencintaimu, Mas, tapi... aku harus pergi
meninggalkan dirimu.” Diam-diam sepasang matanya kini mulai basah “aku sudah
punya tunangan, Mas” lanjutnya dengan nada terisak.
Bulan bundar
berselimut kelabu, bintang gemintang bersinar empedu, kini ditatapnya oleh sang
lelaki, di gambarkannya sebentuk hati yang sedang terpukul rapuh dengan
kata-kata itu. Ternyata, perjalanan separuh malam telah memberi warna yang lain
dalam bentuk hatinya. Namun tak seperti yang ia impikan sebelumnya. Sebab warna
itu memjadikan luka dalam batinnya, yang akan terus membekas selamanya.
—Kenang-kenangan buat
Novita.
Purwodadi, 29 Juli 2010