Cerpen: Marsus
Banjarbarat
Pagi masih terlalu
dingin. Mahrawi bergegas dan menutup pintu rumah Asnia perlahan-lahan. Di
emperan rumah, kakinya tercekat. Ada yang membuatnya berat untuk melangkah. Ia
terdiam sejenak. Tidak seberapa lama, kakinya diangkat maju ke depan. Tetapi
dadanya tiba-tiba seperti ada yang berdenyut. Ia menoleh. Terdengar suara isak anak
kecil di dalam kamar Asnia.
Titik embun merayap
memenuhi jalan yang dilaluinya. Mahrawi melangkah dengan perasaan berat tak
karuan. Suara tangis anak itu terus tergiang di kepalanya. Tetapi ia tetap harus
pergi meninggalkannya. Karena tak lama lagi matahari akan muncul meneranginya.
Dua malam yang lalu, Mahrawi
hampir saja kepergok Asrowi, suami Asnia. Pagi itu, setelah Mahrawi pamit
pulang dengan mengecup bibir, kening dan leher Asnia, tiba-tiba anak itu
terbangun, merengek meminta Mahrawi agar tidak segera pulang. Anak itu mengira
kalau Mahrawi adalah ayahnya. Namun, meski ia bukan suami Asnia, Mahrawi tetap dengan
senang hati mengabulkan permintaan anak itu. Menemaninya hingga pagi hampir
benar-benar terang.
Sontak, tiba-tiba
suara ketokan pintu terdengar. Asrowi datang. Padahal Mahrawi masih ada di
kamar Asnia, menemani anaknya. Dengan tergesa-gesa, ia langsung melompati
jendela kamar, menghilangkan jejak. Sementara, Asrowi baru bisa masuk kamar setelah
daun pintunya di bukakan oleh Asnia, istrinya.
“Kau sudah datang,
Mas?” Sambut Asnia lembut.
“Iya.” Jawab suaminya
sedikit. Wajahnya telihat lesu.
“Kenapa dia menangis?”
Tanyanya. Melihat anak tersebut yang ada digendogan Asnia.
Perempuan itu terdiam.
Masih khawatir kalau suaminya tahu kalau ada Mahrawi baru saja keluar melompati
jendela.
“Paling kangen sama
kamu, Mas. Kau selalu tak ada waktu untuk anakmu. Dia selalu memanggil-manggil
dirimu.” Perempuan itu seraya merajuk. Senyum kecut sedikit tampak pada
bibirnya yang basah.
Asrowi tak berkata lagi.
Rasa capek sudah tak kuat ia tahan. Ia beranjak memasuki kamar istrinya. Menaru
tasnya. Lalu merebahkan tubuhnya yang lemas di atas kasur yang baru saja
ditiduri Mahrawi--bercumbu dengan Asnia.
***
Pertama kali Asnia berjumpa
dengan Mahrawi tujuh tahun yang lalu. Saat itu mereka masih sama-sama duduk di
bangku SMA. Keduanya sama saling memiliki kegemaran dibidang teater. Setiap ada
acara yang berhubungan dengan pemintasan, baik di sekolah sendiri maupun di
luar, Asnia selalu pentas bersama Mahrawi. Kebersamaan itu mereka jalani hampir
tiga tahun lamanya. Saat itu mereka mulai saling berbagi, mengasihi, mencintai
dan menyayangi. Berawal dari itulah sehingga di antara keduanya tumbuh benih
asmara dan akhirnya mereka berpacaran.
Kedekatan Asnia dengan
Mahrawi sulit dipisahkan. Janji-janji keduanya sudah saling diikrarkan untuk
saling setia. Bahkan, setelah lulus SMA Mahrawi berjanji akan meminta Asnia
kepada orang tuanya untuk dijadikan tunangan. Kemudian akan dinikahinya.
“Benarkah kamu akan
datang ke rumah untuk melamarku, Mas?” Asnia tersenyum simpul mendengar ucapan
Mahrawi. lalu diraihnya tangan kekasinya.
“Benar, Sayang...”
Mahrawi merangkul Asnia, lalu mengecup bibir, kening dan lehernya.
Akan tetapi, sayang,
setelah keduanya sama-sama lulus SMA, janji-janji dan harapannya pupus oleh
kedua orang tua Asnia. Ternyata Asnia diam-diam telah dijodohkan dengan anak
kepala desa di kampungnya. Asnia berusaha menolak, memberontak. Tetapi
cengkraman ibu dan bapaknya lebih kuat daripada keinginan Asnia. Asnia tetap
harus menikah dengan Asrowi, anak si kepala desa--calon seorang perawat di
kampungnya.
Asnia tidak bisa
berkutik. Sejumlah undangan telah tersebar ke seluruh kampung. Mahrawi pun tak
luput dari undangan pesta pernikahan kekasihnya itu. Hatinya benar-benar sakit
terkoyak. Seperti diiris-iris oleh benda tajam. Ingin memberontak. Namun,
sebagai anak kampung yang hidupnya hanya pas-pasan, Mahrawi tidak bisa berbuat
banyak untuk mempertahankan Asnia untuk tidak menikah dengan Asrowi. Meski demikian,
ikrar cinta dan kasih sayangnya kepada Asnia tidak bisa ia hapuskan. Begitu
juga ikrar cinta dan kasih sayang Asnia kepada Mahrawi.
“Sampai kapanpun,
hatiku dan jiwaku tetap milikmu, Mas, meski ragaku milik orang lain.” Kata
Asnia suatu malam sebelum ia menikah.
“Tak bisakah kita
singgah dari kampung ini demi cinta kita, Asnia?” Mahrawi merajuk.
“Tak mungkin, Mas, tak
mungkin!” Asnia tertunduk. Bulir-bulir air mata mengalir di pipinya.
“Apa yang tidak
mungkin, Asnia?” Mahrawi ngotot.
“Kita masih terlalu
muda, Mas. Tidak punya pengalaman dan bekal apa pun untuk pergi dari kampung
ini. Tak ingatkah kamu kepada Rumiyati yang dibawa kabur Nasir karena dia mau
dijodohkan oleh orang tua Rumiyati? Dan akhirnya mereka juga ketemu. Kini malah
nasib Nasir tak bisa diselamatkan dari tikaman tunangan Rumiyati. Aku tak mau
hal buruk juga menimpamu, Mas. Apalagi Asrowi anak kepala desa. Bayak bajing
yang melindunginya.”
Mahrawi bergeming. Ia
segera sadar dan ingat kepada Nasir yang mati mengenaskan oleh tikaman dan sabetan
celurit setelah ia ketahuan membawa kabur tunangan orang lain.
“Aku masih ingin kita
bersama, Mas. Engkau tetap milikku. Hati dan jiwaku tetap milikmu, meski ragaku
milik orang lain.” Kata Asnia lagi. Lalu keduanya saling berpeluk erat. Mahrawi
mengecup bibir, kening dan lehernya. Asnia pun tanpa berat hati perlahan melucuti
pakaiannya untuk kekasinya. Sebelum akhirnya, keduanya saling bercumbu
meluapkan isi hatinya di tengah rerimbun ilalang, di bawah temeram rembulan, di
belakang rumah Asnia.
“Kau yang pertama menanam
benih dalam perutku ini, Mas.” Kata Asnia dengan sejuta senyum menatap Mahrawi.
Lalu Mahrawi mengecup bibir, kening dan leher perempuan itu. Sebelum akhirnya
mereka saling mengenakan pakaian yang tadi dilepasnya.
***
Di beranda rumah
Asnia, pita warna-warni memanjang dari beberapa sudut rumahnya. Ada yang dibuat
bergelantungan dengan beberapa lampion. Di beberapa ruas dindingnya, terdapat
tulisan ‘selamat menempuh hidup baru’. Sedangkan di sisi kiri rumanya,
dibangunlah sebuah panggung megah, dengan bentuk ukiran-ukiran berwarna kuning
keemasan, dan ditengah-tengahnya, terdapat dua kursi empuk yang akan ditempati
oleh Asnia dan Asrowi. Sedangkan di pojok selatan dan utara rumahnya, suara sound
system telah berdentum nyaring.
Mahrawi berdiri
mematung. Melihat dari kejauhan. Rumah Asnia layaknya sebuah keraton. Ia
membayangkan, seandainya Mahrawilah yang duduk di kursi empuk itu bersama
Asnia, pikirnya. Ia tersenyum. Tetapi tiba-tiba jantungnya berdenyut kencang.
Mukanya berwajah masam, hatinya luka teriris-iris--saat melihat Asrowi berjalan
dipapah bersama Asnia naik ke atas panggung. Ingin sekali ia berlari menyeret
dan membawa kabur Asnia dari gandengan Asrowi. Tetapi, ia tahu semuanya hanya
akan sia-sia. Dan semenjak itu, Asnia telah resmi menjadi istri Asrowi.
Satu minggu berlalu.
Mahrawi belum bisa menjumpai Asnia. Kini ia malah mendengar kabar, kalau Asrowi
telah diterima sebagai perawat di salah satu rumah sakit kecamatan. Mahrawi
seketika tercenung, khawatir kalau-kalau Asnia telah benar-benar melupakan
Mahrawi setelah mendapat kebahagiaan dari suaminya yang kaya itu. Dugaan-dugaan
buruk bertubi-tubi menyerbu pikirannya. Ia ingin sekali menemui Asnia ke rumahnya.
Namun ia urungkan.
Pada suatu malam, di
saat Mahrawi duduk termangu di jendela kamarnya, tiba-tiba melihat sosok
mengendap-ngendap. Diam-diam ia mengintipnya. Ternyata, tak seberapa lama wajah
Asnia tampak tersenyum-senyum menghampirinya.
“Kau baik-baik saja,
Mas?” suara Asnia. Mahrawi mengangguk disertai senyuman. Mahrawi langsung
memeluknya, mengecup bibir, kening dan
leher Asnia, sebelum akhirnya mereka menuntaskan semua nafsunya.
“Kau bisa datang mulai
besok malam ke rumahku, Mas. Asrowi sudah bekerja malam mulai saat ini.” Lenguh
Asnia.
Malam berikutnya,
Mahrawi pelan-pelan membuka pintu rumah Asnia. Saat itu Asrowi baru beberapa
menit pergi meninggalkan rumahnya. Di dalam rumah, Asnia sudah menunggunya.
Setelah Mahrawi berhasil melompati jendela kamarnya, disambutlah oleh Asnia.
Keduanya saling bertatap pandang. Tersenyum. Lalu berpelukan. Mahrawi mengecup
bibir, kening dan leher perempuan itu. Lalu bercumbu rayu menuntaskan rasa
kangennya di atas kasur yang biasa ditiduri suami Asnia.
***
Satu bulan berlalu.
Asnia memberi kabar kepada Mahrawi, kalau dirinya telah hamil. Mahrawi tersentak,
ia tak percaya. Benih siapakah yang telah tumbuh berkembangan dalam perut Asnia?
Mahrawi mengerut. Ah, ia tidak mau memikirkan itu.
“Ini anak kita, Mas?”
lenguh Asnia mengelus perutnya setelah bercumbu di kamarnya.
“Iya, Sayang…” Jawab
Mahrawi membelai rambut Asnia. Dalam pikirannya tersenyum kecut.
Berbulan-bulan
lamanya, hampir setiap malam Mahrawi mengunjungi rumah Asnia. Terkecuali ketika
Asrowi sedang libur dan tidak ambil kerja. Dan kini, Asnia telah melahirkan
seorang bayi yang telah lama dikandungnya. Namun, Asrowi pun setiap malam masih
terus bekarja. Sehingga, Mahrawi semakin leluasa menikmati hidupnya sepanjang
malam bersama Asnia.
Kini, anak itu semakin
hari sudah tumbuh semakin besar. Bahkan, anak itu malah lebih akrab dan lebih
paham terhadap sosok Mahrawi ketimbang kepada Asrowi--sebagai suami Asnia dan
ayah dari anak itu. Dan Mahrawi tak ingin, kalau anak itu pada akhirnya ketika
beranjak dewa, dia akan tahu dan menjadi saksi, bahwa Mahrawi sering datang
malam-malam menemui ibunya, menidurinya.
Di pagi yang masih
dingin itu. Setelah Mahrawi bercumbu dan mengecup bibir, kening dan leher
Asnia, lalu ia bergegas dan menutup pintu rumah Asnia perlahan-lahan. Di
emperan rumah, kakinya tercekat. Ada yang membuatnya berat untuk melangkah. Ia
terdiam sejenak. Tidak seberapa lama, kakinya diangkat beberapa langkah. Dalam dadanya
tiba-tiba seperti ada yang berdenyut. Ia menoleh. Terdengar suara isak anak itu
di dalam kamar, memanggil-manggilnya. Namun kali ini, ia tidak akan
menghiraukannya lagi. Ia akan pergi meninggalkan Asnia dan anak itu sejauh-jauhnya.
Sebelum Asrowi tahu, kalau dirinya telah berselingkuh dengan istrinya. Bahkan,
darah daging anak itu pun juga sebagian dari benih dirinya.
Titik embun merayap
memenuhi jalan. Mahrawi melangkah meninggalkan rumah itu dengan perasaan tak
karuan. Suara isak anaknya pun terus tergiang.
Yogyakarta, Juli 2013
0 comments:
Post a Comment