Maling


Cerpen: Marsus Banjarbarat

“Maling, maling, maling..!” teriak Sudahnan malam itu.
Orang-orang terbangun dan langsung berlari tergopoh-gopoh menuju rumah Sudahnan. Ada yang membawa celurit, parang, pentungan, pisau, dan batu dengan semben, bahkan ada yang hanya berlari sempoyongan karena baru bangun tidur.
“Mana malingnya? Mana?”
“Kejar cepat! Kejar!”
“Semben!”
Suara orang saling bersahutan mengutuki maling itu. Mereka pada berlari berpencar ke sekitar rumah Sudahnan untuk mengejar maling tersebut: ke belakang kandang, ke pekarangan, ke tegalan sebelah rumahnya. Semuanya pada siap untuk menangkap dan menggebuki maling itu jika berhasil ditangkap. Tetapi sayang, maling itu, ya maling itu akhirnya lolos setelah melewati jurang yang curam dengan rimbun rerumputan yang begitu lebat dibelakang rumah Sudahnan.
Patek! Celeng!” umpat Sudahnan. Napasnya tersengal-sengal. Keringat panas mengalir di sekujur tubuhnya. Batu dan semben yang ia pegang lalu dibiarkan tergeletak begitu saja di tanah. Orang-orang yang ikut mengejar maling kini pada berkumpul di sisi kandang sapi karapan Sudahnan.
“Untung kau cepat bangun, Nan, kalau tidak, sapimu pasti sudah lenyap.” Kata seseorang.
“Ya, kemarin malam punya Sahwini dua pasang sapi karapannya lenyap. Sampai sekarang belum juga ketemu.” Seru yang lain.
Buh, hampir setiap malam kampung kita diserbu maling!” Keluh yang lain lagi.
“Iya… Apa tidak sebaiknya kita lapor kepala desa mengenai persoalan ini. Biar dia ikut menyelesaikannya.” Usul yang lain.
Siah, maling tetap maling. Pekerjaannya ya mencuri. Meski kita lapor ke Bupati sekali pun, yang namanya maling tetap akan mencuri.” Sergah Paesol, kakak sepupu Sudahnan yang juga dikenal seorang bajing. Sudahnan paham, ia masih merasa sakit hati karena sapi karapannya kalah pada sapi Sudahnan di acara perlombaan karapan sapi tujuh belas Agustus kemarin.
Semuaya diam. Mereka tidak ada yang berkomentar. Mereka mengerti, omongan Paesol benar. Kepala desa memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan maling agar tidak mencuri. Bahkan, semakin diwanti-wanti agar maling berhenti mencuri, semakin pula banyak maling berkeliaran menyerbu kampung tersebut.
Ya, hal itu pernah dilakukan oleh Mastawi, kepala desa Tangbatang. Kisahnya, suatu malam ada salah satu warga desa yang kehilangan sapinya. Lalu, menyebarlah orang-orang ke seantero kampung mencari jejak sapi tersebut. Hingga dua hari, sepasang sapi itu belum juga ditemukan.
Sehari setelahnya, ada salah seorang warga yang tanpa sengaja memergoki sapi itu di pasar. Lalu ia cepat lapor kepada Mastawi selaku kepala desa agar menangkap dan membekuk maling tersebut. Akhirnya, segerombolan maling yang sedang membawa sapi curiannya ke pasar itu berhasil ditangkap oleh Mastawi beserta para polisi yang Mastawi bawa.
Dan tak lama setelah peristiwa itu, masyarakat desa Tangbatang malah hampir setiap malam kehilangan sapinya bergiliran. Saat mengadu ke kepala desa, dia pun tidak bisa lagi mencari dan menemukan maling sapi tersebut. Mungkin karena takut dimusuhi atau karena terlalu saking banyaknya maling yang menyerbu kampungnya. Bahkan, sapi peliharaan milik kepala desa itu pun juga lenyap dicuri oleh komplotan maling.
***
Malam semakin menua. Orang-orang yang tadinya berkumpul di sisi kandang sapi Sudahnan sudah pada beranjak pulang satu persatu. Lalu Sudahnan pun kembali menutup pintu kandangnya yang terbuka, dan kembali mengikat sapinya yang sempat dilepas oleh maling itu.
“Kau jangan tidur dulu, Nan. Maling tidak akan pernah puas sebelum mendapatkan sapi yang ditargetnya.” Kata Paesol sebelum pulang meninggalkan Sudahnan, “aku pulang dulu,” pamitnya kecut tanpa menoleh.
Satu per satu orang-orang pada beranjak pulang. Mereka juga khawatir akan sapinya kalau ditinggalkan terlalu lama.
Jarum jam tertuju pada angka dua malam. Sinar rembulan di arah barat hanya samar-samar terpancar dari balik ketinggian daun siwalan. Suara cicak dan cericit tikus di bilik kandang bersatu padu dengan lenguh sapi Sudahnan. Sudahnan terdiam sejenak. Mendengar lamat-lamat suara dentuman orang, sesekali disusul suara-suara kentongan.
“Maling,” lenguhnya. Ia berdiri. Memfokuskan pendengarannya pada suara kentongan itu dari arah mana? Dan tiba-tiba, ada seseorang yang datang tergopoh ke rumah Sudahnan. Memberi kabar, kalau sepasang sapi milik Dulkarim, pamannya telah lenyap dicuri maling.
Sudahnan dengan perasaan berat dan bimbang lalu pergi ke rumah saudaranya. Sementara sepasang sapi yang baru saja juga hampir lenyap dicuri maling, terpaksa ia tinggalkan. Malam itu orang-orang pada terbangun mendatangi rumah Dulkarim. Ikut mencari jejak sapinya yang dibawa maling.
***
Dua malam berikutnya, ketika Sudahnan hendak ke kamar mandi, tiba-tiba melihat sosok banyangan menyelinap tak jauh dari kandang. Sudahnan terkesiap. Melangkah perlahan. Dari balik pintu dapur, ia berdiri dan melongok diam-diam. Mengedar pandang ke sekeliling kandang. Seperti ada keresak langkah kaki mendekat. Kemudian cicak berdecak. Tikus-tikus berlarian dari bilik kandang. Maling! Lenguh Sudahnan sendiri. Ia mengambil celurit yang terselip di gedek dapurnya.
Ia tetap awas dengan mengedar pandang ke sekitar, ke pintu kandang yang tertutup rapat. Tak lama berselang, tiba-tiba terlihat bayangan seseorang mengendap-ngendap mendekati kandang. Untuk sesaat Sudahnan membiarkan, dan hanya ia perhatikan. Siapakah orang yang sering mencuri sapi di kampung ini? Tanya dalam hati.
Orang itu semakin mendekat dan mengendap-ngendap. Tapi wajahnya tertutup sarung yang disaungkan dari leher hingga kepala. Sudahnan perhatikan gerak-gerik dan postur tubuh orang itu. Ya, sepertinya ia mengenal langkah dan postur tubuh orang itu. Dia semakin mendekat ke kandang sapi. Sudahnan semakin pula bertambah jelas untuk mengenali sosok orang itu.
Namun, tiba-tiba saja di sekitar kandang menjadi gelap. Hitam. Seseorang yang lain telah memukul lampu yang menggantung di kandang itu. Sudahnan terkesiap. Ia tidak bisa lagi melihat maling yang dari tadi diperhatikan itu. Kecuali hanya mendengar keresak langkah kakinya yang mengarah ke pintu kandang, lalu membukanya. Dan ada lagi langkah kaki yang lain, yang kemudian terdengar memutus tali sapinya.
Sudahnan terkesiap. Ingin sekali meloncat menggebuk maling-maling itu. Tapi, tida, tidak mungkin ia melabrak maling seorang diri. Mereka tidak akan segan-segan membunuhnya bila Sudahnan berani mendekatinya. Sudahnan terdiam sejenak. Otaknya berputar-putar mencari-cari cara agar bisa menangkap salah satu maling itu. Kemudian menggebukinya hingga tubuhnya hancur babakbelur agar ia mengaku siapa saja komplotannya.
Di dalam kandang, sapinya telah terdengar mendengus, sesekali decakan kakinya semakin keras. Tak lama lagi sapi itu akan dibawa keluar, pergi dan menjauh dari kandang. Sudahnan pun tidak mau tinggal diam. Ini saatnya menangkap dan menggebuki maling itu, pikirnya. Ia segera membangunkan istrinya di dalam kamar. Memintanya agar memberitahu seluruh tetangganya, bahwa di rumah Sudahnan ada maling. Dan orang-orang agar siap siaga untuk mengepung maling tersebut dari segala penjuru kampung tatkala Sudahnan meneriakkan ‘maling’.
Hanya selang waktu beberapa menit, istri Sudahnan telah selesai memberi tahu beberapa tetangganya. Sudahnan pun perlahan-lahan mengambil celurit yang terselib di gedek dapur. Tangan kirinya menggenggam kayu jati besar berukuran panjang. Juga beberapa batu dan semben telah disiapkan. Dengan pelan ia melangkah, mendekati kandang sapi. Siap meneriakkan ‘maling’ dan akan memukulnya bila maling tersebut mendekat ke Sudahnan.
Dalam hitungan menit, ketika maling tersebut mengeluarkan sapi dari kandang dan menuntunnya keluar, Sudahnan langsung berteriak “Maling, maling, maling..!”
Maling-maling itu berlarian ke segala penjuru. Namun dari segala penjuru orang-orang telah mengepungnya. Mengejar maling itu. Dengan sebilah celurit, parang, pisau, pentungan, juga semben lengkap dengan batu karang yang akan dilayangkan ke tubuh maling itu.
“Maling, maling, maling..!” teriak yang lain.
“Mana malingnya? Mana?”
“Ke timur. Kejar cepat!”
Semben!
Seseorang berdiri sejenak saat melihat kelebat maling itu. Lalu membidik sembennya ke arah maling tersebut. Centarrr… Suara benturan batu melesat ke beberapa pehon siwalan.
Semben lagi!”
Semben!
Sudahnan juga melihat kelebat maling itu. Lalu membidiknya. Mengayunkan sembannya kuat-kuat. Centarrr… Suara jeritan pecah dari arah kejauhan. Seperti suara lolong anjing yang kesakitan. Salah satu maling telah berhasil di semben oleh Sudahnan. Pastilah ia telah tergeletak dengan gelimang darah mengucur dari kepalanya.
“Cepat tangkap!” Sudahnan langsung meloncat. Menghampiri maling yang tengah menjerit itu. Sesekali senternya diarahkan ke arah maling tersebut.
Lolong maling itu semakin nyaring, kesakitan. Sudahnan menghampirinya dan siap untuk menggebukinya. Ia juga mulai mengayunkan celurit ke arah tubuhnya. Tetapi, sontak, Sudahnan melonjak saat melihat maling tersebut. Ia adalah Paesol, kakak sepupunya yang tempo hari sapi karapannya kalah pada sapi Sudahnan dalam perlombaan karapan sapi di acara tujuh belas Agustusan.
“Kau!?” Sudahnan tercekat.

Yogyakarta, Agustus 2013

Keterangan:
Semben: Sebuah alat untuk melemparkan batu dari jarak jauh (semacam ketapel).
Patek: Anjing (Bahasa Madura)
Bajing: Preman (Bahasa Madura)

0 comments: