Menyambut Bulan Suci, Melestarikan Tradisi

Bulan suci Ramadan tiba. Masyarakat muslim bergembira atas datangnya bulan penuh berkah ini. Semua kaum muslimin di seluruh dunia merayakannya dengan tradisi-budayanya sendiri-sendiri. Tidak terkecuali masyarakat Desa Banjar Barat, Kecamatan Gapura, Sumenep, mereka menyambut bulan diturunkannya wahyu dengan ragam kegiatan yang unik dan penuh makna.
Satu-dua hari sebelum bulan Ramadan tiba, orang-orang mulai menyiapkan diri, baik dari segi materiil maupun spirituil. Dari segi materiil, tradisi arebba (memberi makanan) merupakan hal utama yang harus dilakukan. Biasanya masyarakat memberi rebba kepada kiai atau guru ngaji di langgar. Implementasi rebba sebagai bentuk bekal dalam menghadapi bulan puasa selama satu bulan. Disamping itu, rebba sebagai rasa syukur atas rizki yang Allah karuniakan. Juga sebagai bentuk rasa hormat dan terimakasih kepada kiai dan guru—atas jasanya mengajari ilmu agama kepada anak-anak dan menjadi tokoh panutan masyarakat. Dengan arebba dan memohon doa kepada kiai, masyarakat mengharap agar kesejahteraan senantiasa mengalir dalam aktivitasnya sehari-hari.
Rebba yang disajikan biasanya terdapat dua bagian: pertama, berupa ketupat, telur goreng, mie, dan lauk-pauk lainnya; kedua, berupa apen (semacam serabi) yang dilengkapi dengan tangguli (air gula jawa). Kedua bagian makanan tersebut disajikan dalam piring masing-masing. Kemudian, diantar ke rumah kiai atau langgar dimana tempat anak-anak mengaji. Umumnya yang mengantarkan adalah kaum perempuan. Waktu arebba biasanya berlangsung saat menjelang adzan maghrib atau sebelum waktu isyak tiba (sebelum melakukan solat tarawih).
Keunikannya, rebba yang diberikan kepada kiai dan guru ngaji, lalu diberikan lagi kepada orang-orang yang datang bertarawih ke langgarnya. Dan makanan tersebut pun dipersilahkan supaya dinikmati secara bersama-sama seusai menunaikan ibadah tarawih.
Secara tersirat tradisi arebba mengandung nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, saling bantu-membantu, dan menghormati antara satu dengan yang lain. Melalui tradisi rebba dengan tidak langsung maka terciptalah tatanan masyarakat yang damai dan sejahtera.
Sedangkan ditinjau dari segi spiritualitas masyarakat terlihat lebih giat dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah. Ini dibuktikan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilaksanakan di masjid dan musallah. Masjid dan musallah menjadi salah satu tempat strategis dalam menunaikan ibadah keagamaan selama bulan suci Ramadan, seperti solat tarawih, dzikir bersama, tadarus (pada malam dan siang hari), dan hatmil Quran.

Ziarah Kubur
Selain kegiatan keagamaan tersebut, tradisi nyalase (mendatangi kuburan) juga menjadi wahana masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi, tradisi itu kini sudah tidak dilestarikan. Padahal, dekade tahun 90-an hingga awal 2000-an ziarah kubur menjadi salah satu rutinitas masyarakat dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Biasanya, menjelang bulan Ramadan mereka terlebih dulu membersihkan pekuburan (ngongosar). Kemudian, ketika tiba Hari Raya Idul Fitri orang-orang mendatanginya dengan membawa macam bunga atau kembang untuk ditabur. Lalu mereka mengaji: membaca surat fatihah, yasin, atau tahlil di kuburan kerabatnya masing-masing.
Faktor terhentinya tradisi ziarah kubur, konon karena adanya fatwa dari salah seorang pemuka agama di desa tersebut. Ia berpandangan bahwa tradisi ziarah kubur adalah syirik, karena berharap sesuatu kepada selain Allah. Sehingga, ziarah kubur perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat karena takut dianggap musyrik.
Pandangan sempit mengenai ziarah kubur kiranya perlu diartikulasikan kembali, bahwasanya esensi ziarah kubur bukanlah mengharap kekuatan atau pertolongan dari arwah yang sudah meninggal, apalagi menduakan Allah, --melainkan untuk mendoakan kerabat yang sudah tiada, lebih-lebih agar dapat mengingat kematian. Dengan mengingat kematian, seseorang dapat berbenah diri untuk menjalani kehidupan lebih baik ke depan.
Ziarah kubur sebenarnya penting dilakukan, disamping agar ada intraksi dengan Tuhan dan alam sekitar, lebih-lebih sebagai media silaturrahmi antar sesama. Dengan ziarah kubur seseorang dapat mengingat bahwa ia pernah punya sesepuh atau sanak saudara yang sudah tiada.

 Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika memulai kembali melestrarikan tradisi ziarah kubur untuk menjaga kebersamaan.*) Sumenep, 31 Mei 2017.

0 comments: