Oleh: Marsus
ANGIN mendesir merasuk ke dalam rumah. Debu-debu terbang bebas hinggap di beberapa pakaian di balik pintu, menempel di barisan buku yang tertata tak begitu rapi. Debu-debu itu hampir setiap detik datang lewat celah dinding yang retak dan berlubang, atau melalui ventilasi yang kotor. Semua itu dibiarkan saja memenuhi rak buku dan semua perabotan rumah. Sudah beberapa hari istriku enggan membersihkannya. Ia tahun bahwa debu akan setiap saat datang dan terus memenuhi rumah kontrakan kami. Ia pikir membersihkan debu itu adalah pekerjaan sia-sia bagi dirinya.
"Kita mesti harus pindah ke tempat lain!" pungkas istriku dalam pembicaraan kami pagi itu.
Kami memang merencanakan pindah kontrakan. Ada sebuah rumah milik rekan kerja yang akan disewakan. Harganya lumayan murah. Letaknya di penghujung kota. Lokasnya adem dan teduh karena dikelilingi sawah. Hanya saja memang agak jauh dari pusat kota. Tentu akan lebih banyaj menelan waktu menempuh jalan ke tempat kerjaku.
Satu bulan yang lalu kami melihat rumah tersebut. Meskipun belum leluasa melihat isi kamarnya -- karena waktu itu masih ada yang menghuni -- namun istriku langsung setuju begitu melihat suasana sekelilingnya.
"Dua bulan lagi penghuni rumah itu akan boyong. Mereka akan pulang ke kampung halaman," tutur rekan kerjaku saat itu.
Sambil mengobrol berjalan mengelilingi halaman rumah, aku perhatikan kontruksi bangunan tersebut. Takjub. Bentuk bangunan model lama, namun dikemas begitu unik. Sebagian dindingnya tanpa diplester, namun dibentuk dengan warna cat begitu rapi dan halus. Bagus. Di beberapa sudut terdapat lukisan dan teplok. Kayu-kayu penyangga juga masih mapan dan kokoh. Sementara, di ujung halaman rumah, istriku sedang asyik menebar pandang ke hamparan sawah yang asri nan hijau. Istriku adalah perempuan penyuka alam. Sejak awal ia senang melihara tetumbuhan, baik bunga-bungaan, lebih-lebih sayur-mayur.
***
SUATU pagi, menjelang aku berangkat kerja, istriku merapikan semua perabotan. Ia lagi-lagi menyarankan, agar kami sebaiknya cepat-cepat angkat kaki dan pindah dari kontrakan ini. Kontrakan yang sudah kami huni tiga tahun lamanya, ternyata sudah benar-benar membuatnya jengah.
"Cari saja rumah kontrakan lain!" ujarnya.
Sikapnya kali ini nampak berbeda. Nadanya memaksa. Tingkah tak seharum aroma masakan yang baru saja dia suguhkan.
"Iyaa... tapi tunggulah, hanya seminggu lagi, kita pasti akan pindah. Bukannya sudah cocok rumah yang kita lihat itu. Rumahnya bagus kan? Lokasinya tidaak bising. Dan yang paling penting, harganya murah, bisa dicicil." Aku membujuk, sebelum akhirnya aku meninggalkan istriku berangkat kerja.
Sehari-hari aku menghabiskan waktu di kantor penerbitan. Pagi hingga siang hari tidak pernah di rumah. Selebihnya, sore menjelang Maghrib baru bisa berkumpul lagi bersama istri. Itu pun hanya beberapa jam saja. Setelah itu, biasanya lebih suka istirahat, dan tidur karena kecapekan.
Sore hari jam kerja baru selesai. Aku bergegas pulang. Hujan turun deras dalam perjalanan. Sekujur tubuh kuyup tanpa mantel. Sampainya di rumah, aku terkejut melihat barang-barang berantakan. Semua perabotan berserak bagai pesawat jatuh dan hancur. Termasuk rak buku dan tumpukan bukuku yang tergeletak di mana-mana. Kecuali hanya satu tass koper dan kardus kecil yang sudah dikemas rapi.
"Kita pindah sekarang!" pinta istriku tiba-tiba saat aku hendak menanyakan keadaan rumah.
Aku kaget mendengar ucapannya. Sorot matanya menyala tajam. Setan apa yang telah merasuk istriku?
"Lho, pindah? Mau pindah ke mana?"
Sejujurnya ingin sekali aku marah, namun tetap kutahan.
"Aku akan pergi dari sini, sekarang juga!" desaknya. Sementara aku belum tahu duduk persoalan yang terjadi.
"Kita kan memang mau pindah, tapi tidak seakrang, tujuh hari lagi!"
"Aku tidak peduli, pokoknya, mulai sekarang aku tidaak mau lagi tinggal di sini, di kontrakan ini!"
Ia tidak mau mengerti.
Malam ini ia meminta agar angkat kaki dari rumah kontrakan. Aku berulang kali membujuk, memberi pengertian kepadanya. Tetapi, omonganku tidak digubris.
Air hujan masih jatuh di luar sana. Aku masih terus membujuknya. Tetapi rayuanku tidak seampuh seperti waktu kami pacara dulu.
"Lihat itu buku-bukumu, kalau saja kubiarkan di rak, pasti sudah lapuk dengan air hujan." Istriku menyela sambil lalu mmembereskan barang-barang berharga lainnya supaya aman dari tetesan air hujan yang hampir merata. "Aku sudah tidak betah dengan semua ini!" lanjutnya.
"Jadi, hanya karena tetes air hujan itu kamu marah-marah dan ngotot ingin pindah sekarang juga?" tanyaku. Emosi sudah mulai tidak terkontrol.
"Kau enak saja di kantor, apa kamu tahu, pemilik rumah ini hampir setiap hari datang menemuiku. Ia menagih sisa uang kontrakan agar segera dilunasi. Siang tadi, dia malah marah-marah, mengumpat padaku. Ia minta agar semua barang-barang dalam rumah ini dibersihkan saja. Kita disuruh pindah kalau tidak mampu melunasinya. kau tau, di mana dia bilang begitu padaku?" Air matanya mulai bercucuran. Mengalir deras ke dasar pipinya.
Aku diam. Saat ini memang belum gajian.
"Dia ngomong di hadapan tetangga pada saat aku belanja di warung depan kontrakan. Dia mengomeliku di hadapan banyak orang. Dia mempermalukanku. Dan aku bisa berbuat apa, kecuali hanya diam dan malu? Kau bisa bayangkan, bagaimana sifat judes pemilik rumah itu. Aku tidak mau lagi bertatap muka dengan tetangga rumah. Pokoknya, sekarang aku mau pergi dari rumah ini. Atau, aku akan pulang ke kampung halaman."
Aku bergeming. Pedih. Melihat tetes air mata istriku, hati ini benar-benar ikut tersayat. Aku dapat merasakan bagaimana luka hatinya saat diomelin pemilik kontrakan. Melihatnya terluka, aku pun juga berduka. Aku menyayanginya. Aku peduli apa pun yang dia alami. Kami menjalani hidup senang maupun suusaah selama tujuh tahun lamanya. Maka, tak ada alasan untuk tidak mengabulkan keinginannya.
"Baiklah, tenangkan dulu dirimu, kita pindah malam ini. Aku akan mencari jasa angkut sekarang."
Mendengar jawabanku, ia baru mulai merunduk. Kami diam beberapa detik. Kemudian, aku berbalik keluar pintu. Hujan masih turun lebat. Aku menyalakan motor, menanjaknya ke arah Jalan Solo. Sepanjang jalan, pikiranku diselimuti kabut tebal. Aku belum tahu, ke mana aku akan pindah kontrakan. Apalagi dalam suasana malam dengan hujan begini.
Aku menghentikan laju motor di belakang mobil jasa angkut. Namun, pemilik mobil itu tidak ada. Aku menghubungi nomor yang tertulis menempel di mobil. Menanyakan via SMS, berapa tarif jasa angkutan.
Aku terpaku membaca pesannya. Pikirannya semakin kacau. Entah akan kubawa ke mana barang-barang di kontrakan itu?
Hujan terus mengguyur kota ini. Gigil tubuhku mendesak agar segera pulang. Sementara, aku belum bisa memutuskan, ke mana barang-barang itu hendak kupindah.
Aku berdiri gemetar di samping mobil. Sepanjang jalan ramai kendaraan lalu-lalang. Sinar lampu-lampunya silau menembus mata. Suasana teramat gelap dengan hujan lebat. Meski demikian, masih saja ada satu dua kendaraan dengan kecepatan tinggi. Suara klakson ramai menjerit-jerit memberi isyarat kepada kendaraan lain.
Dari arah berlawanan, suara kendaraan melaju sangat kencang. Sementara dari arah yang lain, kemacetan membuat pengendara motor berebutan untuk menempati posisi paling depan. Tanpa kuduga, kendaraan yang kencaang itu menyerempetku dari samping. Aku terpelanting ke badan jalan. Tersambar kendaraan lain. Kepala terasa sangat pening. Antara sadar dan tidak, perlahan ingatanku hilang, napasku terasa melayang.
Entah, selang berapa lama persisnya, kemudian aku mendengar isak tangis istriku samar-samar, berpadu nasib dengan sirene ambulans. Oh Tuhan, hendak dibawa pergi ke mana diriku dan istriku? Tidakkah tempat paling teduh nan indah yang kami impikan selama penantian dua bulan ini adalah rumah kontrakan miliki rekan kerjaku? Mengapa Engkau membawa jasadku ke tempat lain yang belum kurencanakan jauh sebelumnya?
Kudengar istriku terus saja menangis. Hujan air matanya jatuh deras di tubuhku, namun kulitku sudah tidak bisa lagi merasakannya.
Yogyakarta, 2016-2017
Sumber: Koran Minggu Pagi, 9 Juni 2017.
ANGIN mendesir merasuk ke dalam rumah. Debu-debu terbang bebas hinggap di beberapa pakaian di balik pintu, menempel di barisan buku yang tertata tak begitu rapi. Debu-debu itu hampir setiap detik datang lewat celah dinding yang retak dan berlubang, atau melalui ventilasi yang kotor. Semua itu dibiarkan saja memenuhi rak buku dan semua perabotan rumah. Sudah beberapa hari istriku enggan membersihkannya. Ia tahun bahwa debu akan setiap saat datang dan terus memenuhi rumah kontrakan kami. Ia pikir membersihkan debu itu adalah pekerjaan sia-sia bagi dirinya.
"Kita mesti harus pindah ke tempat lain!" pungkas istriku dalam pembicaraan kami pagi itu.
Kami memang merencanakan pindah kontrakan. Ada sebuah rumah milik rekan kerja yang akan disewakan. Harganya lumayan murah. Letaknya di penghujung kota. Lokasnya adem dan teduh karena dikelilingi sawah. Hanya saja memang agak jauh dari pusat kota. Tentu akan lebih banyaj menelan waktu menempuh jalan ke tempat kerjaku.
Satu bulan yang lalu kami melihat rumah tersebut. Meskipun belum leluasa melihat isi kamarnya -- karena waktu itu masih ada yang menghuni -- namun istriku langsung setuju begitu melihat suasana sekelilingnya.
"Dua bulan lagi penghuni rumah itu akan boyong. Mereka akan pulang ke kampung halaman," tutur rekan kerjaku saat itu.
Sambil mengobrol berjalan mengelilingi halaman rumah, aku perhatikan kontruksi bangunan tersebut. Takjub. Bentuk bangunan model lama, namun dikemas begitu unik. Sebagian dindingnya tanpa diplester, namun dibentuk dengan warna cat begitu rapi dan halus. Bagus. Di beberapa sudut terdapat lukisan dan teplok. Kayu-kayu penyangga juga masih mapan dan kokoh. Sementara, di ujung halaman rumah, istriku sedang asyik menebar pandang ke hamparan sawah yang asri nan hijau. Istriku adalah perempuan penyuka alam. Sejak awal ia senang melihara tetumbuhan, baik bunga-bungaan, lebih-lebih sayur-mayur.
***
SUATU pagi, menjelang aku berangkat kerja, istriku merapikan semua perabotan. Ia lagi-lagi menyarankan, agar kami sebaiknya cepat-cepat angkat kaki dan pindah dari kontrakan ini. Kontrakan yang sudah kami huni tiga tahun lamanya, ternyata sudah benar-benar membuatnya jengah.
"Cari saja rumah kontrakan lain!" ujarnya.
Sikapnya kali ini nampak berbeda. Nadanya memaksa. Tingkah tak seharum aroma masakan yang baru saja dia suguhkan.
"Iyaa... tapi tunggulah, hanya seminggu lagi, kita pasti akan pindah. Bukannya sudah cocok rumah yang kita lihat itu. Rumahnya bagus kan? Lokasinya tidaak bising. Dan yang paling penting, harganya murah, bisa dicicil." Aku membujuk, sebelum akhirnya aku meninggalkan istriku berangkat kerja.
Sehari-hari aku menghabiskan waktu di kantor penerbitan. Pagi hingga siang hari tidak pernah di rumah. Selebihnya, sore menjelang Maghrib baru bisa berkumpul lagi bersama istri. Itu pun hanya beberapa jam saja. Setelah itu, biasanya lebih suka istirahat, dan tidur karena kecapekan.
Sore hari jam kerja baru selesai. Aku bergegas pulang. Hujan turun deras dalam perjalanan. Sekujur tubuh kuyup tanpa mantel. Sampainya di rumah, aku terkejut melihat barang-barang berantakan. Semua perabotan berserak bagai pesawat jatuh dan hancur. Termasuk rak buku dan tumpukan bukuku yang tergeletak di mana-mana. Kecuali hanya satu tass koper dan kardus kecil yang sudah dikemas rapi.
"Kita pindah sekarang!" pinta istriku tiba-tiba saat aku hendak menanyakan keadaan rumah.
Aku kaget mendengar ucapannya. Sorot matanya menyala tajam. Setan apa yang telah merasuk istriku?
"Lho, pindah? Mau pindah ke mana?"
Sejujurnya ingin sekali aku marah, namun tetap kutahan.
"Aku akan pergi dari sini, sekarang juga!" desaknya. Sementara aku belum tahu duduk persoalan yang terjadi.
"Kita kan memang mau pindah, tapi tidak seakrang, tujuh hari lagi!"
"Aku tidak peduli, pokoknya, mulai sekarang aku tidaak mau lagi tinggal di sini, di kontrakan ini!"
Ia tidak mau mengerti.
Malam ini ia meminta agar angkat kaki dari rumah kontrakan. Aku berulang kali membujuk, memberi pengertian kepadanya. Tetapi, omonganku tidak digubris.
Air hujan masih jatuh di luar sana. Aku masih terus membujuknya. Tetapi rayuanku tidak seampuh seperti waktu kami pacara dulu.
"Lihat itu buku-bukumu, kalau saja kubiarkan di rak, pasti sudah lapuk dengan air hujan." Istriku menyela sambil lalu mmembereskan barang-barang berharga lainnya supaya aman dari tetesan air hujan yang hampir merata. "Aku sudah tidak betah dengan semua ini!" lanjutnya.
"Jadi, hanya karena tetes air hujan itu kamu marah-marah dan ngotot ingin pindah sekarang juga?" tanyaku. Emosi sudah mulai tidak terkontrol.
"Kau enak saja di kantor, apa kamu tahu, pemilik rumah ini hampir setiap hari datang menemuiku. Ia menagih sisa uang kontrakan agar segera dilunasi. Siang tadi, dia malah marah-marah, mengumpat padaku. Ia minta agar semua barang-barang dalam rumah ini dibersihkan saja. Kita disuruh pindah kalau tidak mampu melunasinya. kau tau, di mana dia bilang begitu padaku?" Air matanya mulai bercucuran. Mengalir deras ke dasar pipinya.
Aku diam. Saat ini memang belum gajian.
"Dia ngomong di hadapan tetangga pada saat aku belanja di warung depan kontrakan. Dia mengomeliku di hadapan banyak orang. Dia mempermalukanku. Dan aku bisa berbuat apa, kecuali hanya diam dan malu? Kau bisa bayangkan, bagaimana sifat judes pemilik rumah itu. Aku tidak mau lagi bertatap muka dengan tetangga rumah. Pokoknya, sekarang aku mau pergi dari rumah ini. Atau, aku akan pulang ke kampung halaman."
Aku bergeming. Pedih. Melihat tetes air mata istriku, hati ini benar-benar ikut tersayat. Aku dapat merasakan bagaimana luka hatinya saat diomelin pemilik kontrakan. Melihatnya terluka, aku pun juga berduka. Aku menyayanginya. Aku peduli apa pun yang dia alami. Kami menjalani hidup senang maupun suusaah selama tujuh tahun lamanya. Maka, tak ada alasan untuk tidak mengabulkan keinginannya.
"Baiklah, tenangkan dulu dirimu, kita pindah malam ini. Aku akan mencari jasa angkut sekarang."
Mendengar jawabanku, ia baru mulai merunduk. Kami diam beberapa detik. Kemudian, aku berbalik keluar pintu. Hujan masih turun lebat. Aku menyalakan motor, menanjaknya ke arah Jalan Solo. Sepanjang jalan, pikiranku diselimuti kabut tebal. Aku belum tahu, ke mana aku akan pindah kontrakan. Apalagi dalam suasana malam dengan hujan begini.
Aku menghentikan laju motor di belakang mobil jasa angkut. Namun, pemilik mobil itu tidak ada. Aku menghubungi nomor yang tertulis menempel di mobil. Menanyakan via SMS, berapa tarif jasa angkutan.
Aku terpaku membaca pesannya. Pikirannya semakin kacau. Entah akan kubawa ke mana barang-barang di kontrakan itu?
Hujan terus mengguyur kota ini. Gigil tubuhku mendesak agar segera pulang. Sementara, aku belum bisa memutuskan, ke mana barang-barang itu hendak kupindah.
Aku berdiri gemetar di samping mobil. Sepanjang jalan ramai kendaraan lalu-lalang. Sinar lampu-lampunya silau menembus mata. Suasana teramat gelap dengan hujan lebat. Meski demikian, masih saja ada satu dua kendaraan dengan kecepatan tinggi. Suara klakson ramai menjerit-jerit memberi isyarat kepada kendaraan lain.
Dari arah berlawanan, suara kendaraan melaju sangat kencang. Sementara dari arah yang lain, kemacetan membuat pengendara motor berebutan untuk menempati posisi paling depan. Tanpa kuduga, kendaraan yang kencaang itu menyerempetku dari samping. Aku terpelanting ke badan jalan. Tersambar kendaraan lain. Kepala terasa sangat pening. Antara sadar dan tidak, perlahan ingatanku hilang, napasku terasa melayang.
Entah, selang berapa lama persisnya, kemudian aku mendengar isak tangis istriku samar-samar, berpadu nasib dengan sirene ambulans. Oh Tuhan, hendak dibawa pergi ke mana diriku dan istriku? Tidakkah tempat paling teduh nan indah yang kami impikan selama penantian dua bulan ini adalah rumah kontrakan miliki rekan kerjaku? Mengapa Engkau membawa jasadku ke tempat lain yang belum kurencanakan jauh sebelumnya?
Kudengar istriku terus saja menangis. Hujan air matanya jatuh deras di tubuhku, namun kulitku sudah tidak bisa lagi merasakannya.
Yogyakarta, 2016-2017
Sumber: Koran Minggu Pagi, 9 Juni 2017.
0 comments:
Post a Comment