(Metro Riau, 13
Mei 2012)
Ia hanya
terus-terusan bermenung. Kadang ada sebercak penyesalan. Tetapi apa boleh buat,
semuanya sudah terjadi. Selembar ijazah yang ia pegang hanya jadi sebuah
hiasan. Begitu pun dengan pajangan foto yang menggantung di dinding kamar
sewaktu ia di wisuda, hanya menjadi pemandangan.
Kesedihan kerap
menguntit dalam pikirannya. Sejuta kekecewaan yang ia rasakan sulit sekali
ditepis dalam ingatannya. Ya, kecewaan saat mencoba melamar kerja, tetapi tak
ada instansi yang mau menerima. Pasalnya, karena ijazah yang digunakan sebagai
persyaratan tidak sesuai dengan pekerjaan yang ia lamar, begitu selalu
alasannya.
Farida teringat empat
tahun silam, saat teman-temannya menyayangkan, saat ia mengambil kuliah jurusan
sejarah. Pasalnya, jurusan tersebut tidak akan memberi keuntungan bila ia sudah
lulus kelak, katanya. Ia tak menjawab. Sebab tak begitu paham dengan maksudnya.
Dan baginya, melanjutkan kuliah dulu semata untuk menambah ilmu pengetahuan,
menambah pengalaman, dan kebetulan ia sangat senang mempelajari
peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada kehidupan manusia,
lebih-lebih negerinya. Makanya, kemudian ia lebih memilih masuk di jurusan
sejarah.
Tetapi kali kini, ia
baru paham, maksud dari omongan temannya beberapa tahun silam. Saat teman-temannya
itu telah duduk bekerja di perkantoran, di sekolahan, dan di instansi lainya.
Sementara Farida, hanya terus-terusan diam menenun nasip yang ia geluti setiap
harinya.
“Sudahlah, Nak,
jangan terlalu dipikirkan. Setiap persoalan pasti ada jalan.” Rayu ibunya
sambil membawa menu makanan yang ia taru di mejanya.
“Tapi, Bu....” Ia
tertunduk. Kata-katanya terputus.
“Yang penting usaha
dulu. Pasti ada jalan!” Suara ibunya lembut.
Tak lama berselang,
mereka duduk menikmati menu makan yang sudah disediakan.
***
Pagi-pagi buta
sebelum fajar tergelincir diujung timur, Farida duduk tepat dibawah pintu
rumahnya. Sesekali melirik ke atas jendela. Memerhatikan sebingkai foto seusai
wisuda bersama teman-temannya. Seketika kesedihan kembali merajuk saat ia ingat
nasip dirinya yang tak seberuntung mereka yang kini sudah pada sukses semua.
Bahkan ia ingin sekali mengambil foto-foto itu. melemparnya sampai pecah,
sebagaimana hancur hatinya yang berkeping-keping.
Tetapi, niatnya ia
urungkan sesaat kemudian ketika sang ibu memanggilnya. Membawanya selembar
koran bekas. Memberinya kabar gembira tentang adanya lowongan kerja di sebuah
perusahaan. Ia sempat tersenyum, meski sedikit. Namun senyumnya tak lama
kemudian berakhir kekecewaan. Saat ia perhatikan, bahwa persyaratan untuk masuk
perusahaan tersebut wajib lulusan akuntansi.
Ia tertunduk.
Wajahnya sedikit mengerut. Lagi-lagi ia perhatikan selembar ijazah yang
terkapar rapuh di mejanya. Ingin ia merobeknya. Lalu membakarnya sampai hancur
menjadi abu yang berdebu. Apa arti dari selembar ijazah yang tak berguna ini?
Lenguhnya pelan, teramat pelan. Lalu ia melangkah. Langkahnya terhenti tepat di
depan meja. Ia perhatikan sekali lagi selembar ijazah tersebut. Kemudian
meraihnya. Lalu melipat hingga beberapa kali lipatan, dan terkahir ia
mewujudkan niatnya untuk merobeknya. Membakarnya sampai warna dan tulisan dalam
kertas itu hancur.
***
Karena mulai sejak
kecil sampai saat ini Farida gemar melukis, untuk melupakan kesedihanya terkait
nasib ijazah yang tak bisa membawanya bekerja, ia berusaha menghabiskan
waktunya sehari-sehari dengan melukis. Ya, melukis apa saja yang hendak ia
lukis. Mulai dari lukisan kebun di halaman rumah, bungaan-bunga indah di
sekeliling pekarangan, bahkan ia juga mulai belajar melukis wajah tokoh-tokoh
pejuang dalam sejarah—yang pernah ia pelajari di bangku kuliah.
Dengan begitu, hari
demi hari, ia tak lagi sering memikirkan nasibnya yang tak bisa bekerja seperti
teman-temannya yang lain. Ia mulai merasakan kesenangan dan menemukan keindahan
dengan melukis. Ah, bukan hanya senang melukis, tetapi bayak tetangganya yang
tertarik datang ke rumahnya, memintanya untuk dilukiskan sesuatu; pemandangan
misalnya, bunga-bungaan, hewan, sampai wajah orang itu sendiri.
Awalnya ia melukis
hanya sesukanya. Tetapi entah kemudian, mungkin karena ingatannya tentang
berbagai peristiwa atau sejarah yang dijelaskan dosennya, lalu ia lebih senang
menggambarkan lukisan-lukisan sejarah baik masa penjajahan, orde baru, dan
sebagainya. Ia ilustrasikan ke dalam sebuah gambar sebagaimana dulu Indonesia
ditindas, diperbudak, bahkan wanita-wanita diperkosa, dan sebagaiya.
Ia tersenyum senang.
Melihat gambar-gambar yang bergantung di setiap dinding kamarnya. Bahkan ada
salah satu gambar pejuang perempuan Indonesia, Kartini, yang berjajar dengan
foto dirinya sewaktu ia wisuda. Dan rasa-rasanya gambar Kartini tersebut lebih
indah dan menarik daripada foto dirinya dan teman-temannya itu. Ia lagi-lagi
mengulum senyum sendiri. Selang beberapa detik, desela-sela lamunannya yang
beragan-angan menjadi seorang ‘Kartini’, tiba-tiba dari arah belakang ibunya
memanggil membuyarkan lamunannya.
“Farida......!”
Panggil ibunya dengan suara lantang.
“Iya, Bu..” Jawabnya.
Lalu ia keluar dari kamar menuju ruang tamu.
Farida benar
terkejut, setelah melihat ada dua orang asing yang belum ia kenal sebelumnya.
Ia berdiri mematung. Pikirannya diserbu beragam pertanyaan. Bimbang dan juga
getir. Sementara, ibunya malah senyam-senyum menyambut dua lelaki berpakaian
rapi itu.
“Selamat, Farida.
Sebagian lukisanmu yang pernah ditaru di Gallery Affandi, terpilih menjadi
salah satu lukisan terbaik yang nantinya akan dipajang di pameran lukisan
sejarah minggu mendatang. Dan kalau boleh, kami minta agar semua lukisanmu juga
boleh dipajang di pameran tersebut.” Ujar orang tersebut semabari mengulurkan
tangannya desertai seulum senyum.
Farida tersentak,
dadanya berdegup lebih kencang. Ah, bukan hanya dadanya, tapi lebih dalam lagi
di hatinya. Ia sungguh senang bukan kepalang. Tak pernah menduga kalau
kesuksesannya bisa ia raih dengan lukisan.
***
Pameran lukisan sudah
dilaksanakan. Semua teman-teman Farida pada datang menyaksikan pameran lukisan
sejarah tersbut. Memberi selamat atas kesuksesannya setelah ia dinobatkan
menjadi seorang pelukis sejarah yang terkenal, dan mungkin akan terus abadi
untuk selama-lamanya.
Yogyakarta, 01 Mei 2012
Link: http://www.metroriau.com/epaper-91-2012-05-14-13052012.html