Malam itu,
aku jadi teringat cerita ibu, di saat kota ini sering kali terjadi penembakan.
Katanya, ketika sore beranjak, awan putih yang bertebaran di ujung barat lambat-laun
memerah semerah darah. Matahari beringsut dari puncak bukit. Perlahan menghilang
dibalik rerimbun pepohonan. Dan raungan pesawat-pesawat pun mulai datang, berputar-putar
di atas bubungan rumah. Ketika itu, ibu cepat-cepat mengunci pintu dan
mengumpet di bawah lincak bambu, atau sembunyi di balik pintu. Sementara, bapak
diam di luar rumah, melindungiku dengan sembunyi-sembunyi.
Tidak
lama, suara gemeretak peluru jatuh di atap rumah. Ibu lalu merengkuhku. Aku
yang masih kecil saat itu; menangis, menjerit dan terus menjerit. Ibu pun
kebingngan meredam suara tangisku. Sementara, bapak di luar mengendap-ngendap,
melindungi ibu dan aku dari para penembak itu.
Dan, nasib
memang sulit di tebak. Bapak yang malam itu berniat melindungiku, justru menjadi
akhir perjumpaan kami dengannya. “Bapakmu tak kembali lagi, entah kemana?” Kata
ibu. Itu cerita beberapa tahun yang lalu.
Tetapi,
cerita itu yang pada awalnya hanya dapat kubayangkan saja, malam itu telah
benar-benar terjadi pada diriku. Ya, malam kejadian itu meski raungan pesawat tak
terdengar, tetapi suara ledakan peluru telah berhasil menembus kaki dan lututku.
Awalnya, kupikir hanya sebuah mimpi buruk dalam tidurku. Namun setelah aku sadar,
aku telah terbaring kaku bersimbah darah di sebuah ruangan kecil, yang entah di
mana letak ruangan itu?
Aku diam
menahan sakit dan perih pada luka lutut dan kaki kiriku. Juga lebam wajahku
yang entah siapa telah menghantamku? Mungkin, malam itu bukan hanya aku yang menjadi
korban bidikan peluru dan hantaman orang-orang tak kukenal itu. Sebelum aku pingsan dan terjatuh, aku sempat
melihat dua rekan kerjaku disekap oleh salah seorang tak dikenal yang
menodongkan tembak pada kepalanya. Diam-diam aku mencoba menyelinap, tetapi dua
langkah berikutnya suara tembakan terdengar keras bersamaan jatuhnya tubuhku ke
lantai, dan hantaman bertubi-tubi di kepalaku. Selebihnya, aku tak tahu apa
yang kemudian terjadi?
Aku bersimpuh
di ruang kecil dan gelap. Ada suara orang terdengar samar dari celah pintu. Hampir
saja aku berteriak memanggilnya. Tetapi, kuurungkan saat mendengar sebuah suara
tak asing di telingaku. Ya, suara seseorang
yang selama ini telah kerap membantuku. Membantu ibuku.
Aku
lagi-lagi teringat cerita ibu. Tentang penembakan yang dulu kerap terjadi di kota
ini. Dan, apakah aku akan bernasib sama sebagaimana bapakku yang hilang,
diculik para penembak itu? Ah, entahlah.., ketakutanku tiba-tiba merajuk.
Aku mencoba
mengingat-ingat peristiwa malam itu. Pada sebuah ruangan yang dipenuhi para
pengunjung. Sinar lambu sengaja dinyalakan rada temeram. Pantulan cahaya sedikit
memerah. Sebagai mana layaknya pelayan di tempat-tempat hiburan malam, aku
hanya melayani pesanan dari pengunjung yang datang. Menyiapkan makanan kecil
atau menimun. Dan ada lagi (sebenarnya hal ini tak perlu kuceritakan), entah
apa nama benda putih yang tak ubahnya tepung itu? Aku mendapatkannya dari
seseorang yang tak boleh kusebut namanya. Benda itu ia titipkan padaku untuk
dijual pada pengunjung yang membutuhkan, tetapi dengan cara diam-diam. Dan
tentu, dengan senang hati aku menyanggupinya karena orang itu telah membantuku
dan ibuku. Belum lagi upah dari penjualan benda tersebut yang sangat besar.
Mula-mula,
aktifitas dalam ruangan itu berjalan seperti pada malam-malam sebelumnya. Orang-orang
datang, memesan sebotol minuman, lalu duduk atau sekedar jingkrak-jingkrak
menikmati suara dentuman musik dengan perempuan pilihan, sesekali tatapan
matanya beredar ke sekitar.
Selang
beberapa detik, datang dua perempuan muda, memesan sebotol minuman dan
memberikan kode isyarat untuk mendapatkan benda putih halus layaknya tepung itu.
Aku tersenyum dan memberikannya tanpa canggung. Yang tanpak dalam pikiranku
limpahan uang yang akan aku dapatkan. Di susul pada ingatan wajah gelap ibu yang
tiba-tiba menyelinap, melenguh kesakitan. Dan penyakit yang menggerogoti perutnya
akan segera usai setelah aku melihat perempuan seksi itu mengeluarkan beberapa
lembar uang dari dompetnya.
Dua
perempuan itu berjalan gemulai. Diikuti puluhan mata yang membentur
bagian-bagian lekuk tubuhnya yang indah. Tak jarang ada suara-suara desisan
dari samping perempuan yang tengah melangkahkan kakinya. Pandangan-pandangan
dengan harapan untuk memiliki perempuan itu terus membuntuti langkahnya. Ada
yang diam-diam memberi isyarat, siap memberikan bayaran sejumlah berapapun asal
ia mau menemaninya. Tetapi perempuan itu menanggapinya dengan tersenyum tipis.
Seolah hanya membolehkan para lelaki memandang lekukan tubuh yang ia biarkan
terlihat jelas dengan sepuas-puasnya.
“Whisky!”
Kata seseorang membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan segera melayaninya.
Hanya
beberapa detik, aku telah kehilangan jejak dua perempuan itu. Entah duduk di
posisi sebelah mana dia? Aku belum mendapatkannya.
Namun,
bersama dengan tatapanku beredar mencari perempuan itu, tepat di sisi pintu, tiba-tiba
ada beberapa gerombolan orang berbaju gelap dengan memegang sebuah tembak. Orang-orang
dengan sendirinya berlari dan sembunyi. Ada yang berhasil keluar. Sementara,
dua orang temanku yang sedang mengambil sisa botol minuman di meja, tiba-tiba
disekap. Aku pun bergidik dan mencoba bersembunyi. Diam-diam menyelinap melewati
sebuah gang. Saat hendak berlari ke luar, dua langkah berikutnya suara tembakan
terdengar keras bersamaan jatuhnya tubuhku ke lantai. Di susul hantaman
bertubi-tubi di kepalaku. Selebihnya, aku tak ingat apa-apa.
***
Di
ruangan gelap ini, dengan sisa tenagaku, aku mencoba bergelayut, mendekati pintu.
Mengintip ke lauar lewat celah pintu. Ada tiga orang yang tengah duduk tegap di
sisi pintu. Tak lama, orang-orang itu berdiri saat mendengar lenguhanku.
Membuka pintu dan melihat keadaannku.
Dadaku
tiba-tiba terguncang, saat melihat tiga orang itu tegap dengan sebuah tembak di
lengan kanannya, mendekatiku.
“Siapa
namamu?”
“Aris.”
“Dapat
dari mana benda ini?” bentak seorang dari mereka, disusul dengan tendangan.
“Saya
tidak tahu itu, Pak,” elakku.
“Braakkkk!”
tendangan membentur punggungku, “Benda ini ditemukan di konton celanamu. Katakan,
siapa yang memberikan benda ini?”
Aku
diam. Mustahil menyebutkan nama itu.
“Cepat
katakan! Braakk!” Sebuah tendangan kembali membentur pantatku.
Aku
tetap diam sebagai keabadian. Aku bersikukuh atas perjanjian dengan seseorang
yang menitipkan benda itu. “Tidak boleh mengeluarkan satu nama pun jika
suwaktu-waktu ada yang bertanya perihal benda itu,” kata seseorang yang
bertubuh kekar itu. Aku menyepakatinya, saat ia memberikan beberapa lembar uang
ke hadapanku.
“Braakk!
Cepat katakan!” Aku lagi-lagi dihantam dan ditodong dengan sebuah tembak tepat
di pelipisku. Aku masih saja diam. Menahan sakit pada luka bekas peluru dan
hantaman serta tendangan itu.
Tiga
orang itu terus bergantian memuaskan nafsu dan menghabiskan tenaganya melakukan
siksaan bertubi-tibi. Menghantam tubuhku, menikam mukaku. Seluruh badan dan
tulang-tulangku terasa remuk, sakit begitu perih.
Beberapa
kali aku sempat hilang ingatan. Namun tersadar kembali. Hantaman itu kembali
kurasakan di kepalaku, di bahuku, di dadaku dan semua tubuhku.
“Braakk!
Ayo katakan, siapa yang telah memberimu benda itu!” Aku tetap diam. Salah
seorang dari mereka beranjak mengambil sebuah plastik di meja sisa bungkus makanan,
menyulutnya. Dari ujung plastik itu menetetes lelehan api ke tanah. Tetes demi
tetes ia perlihatkan padaku. Ia arahkan pelan-pelan ke kakiku.
“Heh, belum
mau mengaku?” bentaknya sesekali mendekatkan tetesan api plastik itu. Aku membayangkan
betapa panas dan perihnya tetesan api itu. Kalit-kulitku akan mengelupas dengan
sendirinya. Menjadi luka bakar yang tak terperihkan.
Pikiranku
mulai dilanda ketakutan. Di tambah lagi salah satu dari mereka mengambil kabel
beraliran listrik diarahkan pada pipiku. Terbersit dalam hati untuk menyerah.
Memberikan sebuah nama yang mereka minta.
Namun,
hendak aku mengucapkannya, seseorang datang membukan pintu. Tiga orang tersebut
tiba-tiba berdiri tegap, memberikan hormat pada orang itu. Aku tercengang,
sekaligus merasa sedikit tenang. Dia datang pasti untuk menyelematkanku,
pikirku. Aku kenal orang itu. Dia yang kerap datang ke rumah. Memberikan
benda-benda itu dan membantu penyembuhan penyakit ibuku.
Dia
melangkah perlahan mendekatiku. Dalam hatiku ada senyum. Sementara tiga orang
yang sudah puas menghantamku telah keluar. Dadaku sedikit merasa tenang, saat
dia melangkah mendekatiku. Lalu memberikanku sebuah minuman. Dalam kesakitan
dan dahagaku, aku pun berterimakasih, lalu meminumnya.
Dua
menit berikutnya, sakit pada tubuhku sedikit menghilang, remuk tulang-tulangku
terasa berkurang. Tetapi, kerongkonganku terasa panas, tubuhku serasa bergetar,
tatapanku berkunang-kunang. Melihat orang yang masih di sisiku samar-samar
mengulum senyum. Kemudian berbisik, selamat jalan...
Yogyakarta, Mei 2013.
(Sumber: Kedaulatan Rakyat, Minggu 5 Mei 2013).
(Sumber: Kedaulatan Rakyat, Minggu 5 Mei 2013).
2 comments:
Ijin copas ya gan
iya...
Post a Comment