Pada akhir 2016 lalu, Indonesia terjadi aksi besar-besaran atas dasar pembelaan terhadap Islam. Itu terjadi karena dipicu oleh ungkapan sosok Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dalam pidatonya di Kepulauan Seribu yang menyebut surat Al-Maidah ayat 51 itu telah dianggap melecehkan agama Islam. Sehingga menimbulkan reaksi panas dari sebagian Ormas-ormas keislaman yang merasa martabat agamanya dilecehkan. Terlepas munculnya gerakan itu, apakah murni melawan anggapan atas penistaan agama, ataukah ada kepentingan politik dari oknum tertentu? itu bergantung dari sudut pandang mana akan dipotret.
Pada awal 2017 ini, ormas-ormas keagamaan kembali bersitegang, penyebabnya tidak jauh berbeda, yakni dipicu oleh ungkapan sosok Imam Besar FPI, Rizieq Shihab yang dianggap telah menistakan agama Kristen terkait ceramahnya pada 25 Desember di Pondok Kelapa yang membahas tentang ucapan selamat Natal. Sehingga, Imam Besar FPI itu dilaporkan ke Bareskrim Polri Jakarta atas perkara dugaan tindak pidana penistaan agama dan penyebaran informasi yang dianggap dapat menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan antar semasa umat manusia. Melihat fenomena semacam ini, sungguh sangat miris sekali. Ormas-ormas keagamaan di Indonesia sering kali ramai memunculkan persoalan. Lantas akankah perbedaan paham antar mereka akan terus diwarnai dengan perselisihan?
Berbicara mengenai perbedaan paham, ada beberapa hal yang penting diketahui. Terutama perbedaan yang muncul antar umat beragama. Reaksi umat Islam masa awal tidak serta-merta memberikan contoh gegabah dalam menyikapi suatu persoalan. Adanya perbedaan antara satu individu dengan individu lain adalah hukum alam; timbulnya perbedaan pemikiran pada setiap orang mesti terjadi dan dialami oleh setiap manusia. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyikapi dan memberikan solusi dalam munculnya perbedaan. Di sinilah pentingnya memahami nilai-nilai multikultural, baik antar individu maupun antar komunitas keagamaan.
Dalam perkembangannya, komunitas-komunitas Islam abad pertengahan penting dijadikan salah satu teladan. Misalnya, pusat-pusat peradaban masyarakat Islam di wilayah barat, seperti yang berkembang di Turki; di Timur Tengah yang berpusat di Iran; maupun di anak benua India pada masa imperium Mughal —masing-masing mempunyai struktur yang kompleks. Mereka hidup sebagai kaum minoritas di tengah masyarakat non Islam, tetapi dalam perkembangannya dapat ditemukan tipe ikatan kolektivitas dan kebersamaan yang kuat dalam sistem pemerintahan (hlm.3).
Terwujudnya komunitas multikultural yang damai, tentunya didukung oleh peran pemerintah yang baik dan tegas. Komunitas-komunitas tersebut oleh pemerintah disentralisir secara kokoh. Kontrol pemerintah tidak hanya kepada elite politik, melainkan juga terhadap elite agama demi terciptanya kerukunan. Dengan demikian, pemerintah sebagai sentral kekuasaan suatu negara dapat mengetahui, apa dan bagaimana gejolak yang sedang dialami oleh setiap Ormas keagamaan. Sehingga, sebelum gejolak yang timbul benar-benar meledak, pemerintah sudah bisa meredakannya.
Elite Politik dan Agama
Belajar dari peristiwa-peristiwa sejarah terdahulu, pemerintah semestinya menelisik lebih jauh terhadap karakteristik Ormas keagamaan yang ada di negara ini. Islam sebagai salah satu agama mayoritas, bukan menjadi alat atau media yang dapat digerakkan sebagai pemicu konflik. Akan tetapi, pemahaman yang mendalam terhadap karakteristik Ormas keagamaan kiranya dapat menciptakan interaksi kultur mereka secara damai.
Pembinaan dan pengembangan masyarakat, menjadi salah satu hal yang penting dilakukan. Sebagai contoh Pemerintahan Turki Utsmani, misalnya, setelah kehancurannya, ia membangun masyarakat melalui lembaga-lembaga tertentu, seperti lembaga sadaqah. Tempat-tempat peribadatan mendapat perhatian, bahkan ada yang didanai untuk dikelola oleh para ulama (hlm.19). Hal itu dilakukan untuk membentuk sebuah masyarakat yang damai dan saling menghargai satu sama lain. Artinya, tokoh-tokoh agama dapat membina masyarakat regional dengan baik, tanpa perlu ikut terjun ke panggung politik.
Para elite politik dan elite agama, semestinya berjalan imbang pada masing-masing peran dan tugasnya. Elite politik tidak lepas kendali dari kewajibannya, begitu juga pemuka agama dalam mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan. Ia sebagai bagian terpenting dalam menyokong kemajuan masyarakat dan negara.
Pada dasarnya tokoh-tokoh agama sebagai aset penting dalam memajukan negara melalui ilmu pengetahuan. Sebagai contoh perkembangan kebudayaan Islam masa Daulah Safawiyah, misalnya, kemajuan ilmu pengetahuan, baik di bidang sastra, filsafat, sain, dan lain sebagainya menjadi orientasi pengembangan utama yang dikembangkan di berbagai perguruan tinggi. Sehingga oleh tokoh-tokoh intelektual saat itu, produk pemikirannya lebih banyak dikembangkan atas kepentingan ideologi, sebagai konsekuensi logis dari situasi masanya (hlm.43-44), bukan untuk kepentingan individu atau politik kekuasaan.
Artinya, ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan kepada masyarakat bukan sebagai media politik-kekuasaan, melainkan sebagai kepentingan ideologi dalam menghadapi perkembangan dan kemajuan zaman. Sehingga dengan demikian, pemuka agama dan elite politik akan berjalan beriringan sesuai tugas masing-masing untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
Diskripsi Buku:
Judul: Komunitas Multikultural dalam Sejarah Islam Periode Pertengahan.
Penulis: Prof. Dr. Dudung Abdurahman, M.Hum.
Penerbit: Ombak.
Cetakan: Pertama, 2016.
Tebal: vii+86 halaman.
ISBN: 978-602-258-358-5.
Koran Solopos, 22 Januari 2017.
0 comments:
Post a Comment