Arminatun


Cerpen Marsus Banjarbarat

Mulut perempuan itu bagai tersumbat batu karang, raut wajahnya pucat masam, sepasang matanya memerah, tatapannya gusar, air keruh mengalir setiap beberapa detik ke pipinya yang bidang.
“Ayolah, Tun…, katakan!”
Satima mengguncang-guncang bahu Arminatun, anaknya. Dia setiap beberapa menit memohon-mohon kepadanya, namun anaknya tetap tidak mau mengeluarkan satu kata pun, apalagi menyebutkan sebongkah nama dari bibirnya yang keluh. Perempuan manis berkulit halus dan bersih itu tak mau membuka mulut mungilnya..
“Apa yang kau takutkan, Nak? Katakan sejujurnya, ayo katakan!!” Paksa Satima tampak makin khawatir. Raut wajahnya gusar.
Arminatun masih saja mengunci bibirnya rapat-rapat. Wajahnya suram seperti orang tuna akal, mematung, tidak menghiraukan omongan orang tuanya.
Ia terdiam. Sekali-sekali dari mulutnya terdengar suara sesenggukan yang tak mampu ia tahan. Bila ingat akan masa depannya yang kelam, awan hitam dan petir terasa menyambar nasib hidupnya yang malang. Ketika itulah suara tangis tiba-tiba pecah dari mulut perempuan itu. Ia bendung kesedihan dan kesakitan yang melilit jiwanya dengan tangisan.
Satima berdiri dan beranjak mendekati suaminya, Amsudin, yang tengah duduk di ambang pintu belakang.
“Bagaimana? Arminatun sudah mau bicara?” Seketika Amsudin bangkit dari duduknya, “siapa, siapa lelaki itu katanya?” lanjutnya, Amsudin terperangah, melompat mendekati istrinya. Dia menatap istrinya dengan sorot yang tajam. Dia berharap anaknya telah memberi tahu siapa lelaki yang telah menghamilinya?
“Kenapa Arminatun tidak mau mengatakan siapa lelaki itu? Apa dia maunya?”
Amsudin ketus. Ia geram terhadap sikap anaknya. Api dalam kepalanya terus makin berkobar. Dia ingin sekali menghajar anaknya supaya mau bicara. Beberapakali dia mengangkat dan mengayunkan tangannya ke arah Arminatun, tetapi Satima berhasil menangkapnya.
Satima mencoba kembali merayu Arminatun untuk kesekian kalinya. Dia paksa anaknya bicara, tetapi ia tetap saja tidak menggubris omongannya. Arminatun hanya tertuntuk. Hujan air mata tak pernah reda dari pelupuk matanya. Membanjiri raut wajah yang tampak memerah.
Amsudin tertunduk rapuh. Hatinya kian memanas. Pikirannya diguyuri api yang menjalar dari tubuh anaknya. Api itu kian menjilat-jilat tubuhnya. Tak lama lagi bencana akan menikam kita, Satima, lenguhnya. Sang istri tertunduk. Butir-butir air mata kemudian muntah.
Malam larut. Amsudin dan Satima tanpa putus asa menunggui anaknya, merayu, memaksa agar mau bercerita terus terang ihwal kejadian buruk itu. Akan tetapi, Arminatun, lagi-lagi menjawab dengan isak tangis. Sinar matanya membias garis-garis kegetiran dan ketakutan. Ia tetap tak mau berterusterang kepada siapa pun ihwal dirinya. Semakin ada yang memaksa mengetahui siapa pemilik benih dalam perutnya itu, semakin pula hidupnya serasa tersayat luka dan sengsara.
“Apa yang kamu pikirkan, Nak?” Satima memelas, “apa kau diancam oleh orang biadab itu?” Satima tiba-tiba mulai curiga melihat raut wajah getir anaknya. Ia teringat salah seorang gadis di kampungnya, yang hamil tanpa suami, lantas mati terbunuh, dan pembunuh itu belum diketahui hingga detik ini.
Arminatun bergeming, lalu menatap ibunya dengan wajah kuyu.
“Benarkah kau telah diancam, Tun?”
“Katakan saja, siapa lelaki tersebut?” Sambung Amsudin, “ayo katakan siapa?” Ia penasaran.
Arminatun menarik napas. Ia hendak menggerakkan bibirnya perlahan-lahan.
“Katakan! Siapa lelaki itu?”
Tiba-tiba Arminatun tersentak mendengar suara hardik ayahnya. Pada saat itu pula seolah muncul suara samar-samar yang merayap di telinganya. Suara-suara itu disertai kelebat bayangan yang tampak menyeringai di hadapannya. Ada yang menggenggam sebongkah batu yang hendak disumbatkan ke moncong mulutnya. Ada yang bermata merah bagai api yang terus menyala-nyala, menjilat-jilat tubuhnya. Ada pula yang menggenggam sebilah pisau yang siap ditusukkan ke dadanya. Bayangan-bayangan itu terus menguntit di sekeliling dan di atas kepala perempuan itu.
“Ayo katakan, siapa lelaki itu?” Paksa Amsudin.
Sontak, Arminatun menjerit-jerit. Tangannya ia tangkupkan ke matanya, lalu ke mulutnya.
“Kenapa kau, Tun? Kenapa?” Satima panik. Ia mencoba mendekap anaknya.
Arminatun meringkuk. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ayolah, Nak…, katakan cepat!” Desak Satima.
Arminatun makin merapatkan telapak tangannya ke bibirnya. Sesekali kepalanya menggeleng. Kelebat tiga sosok bayangan kembali menyeringai dan terus membias di atas kepalanya. Menyemburkan api ke hadapannya. Bayang-banyang itu tak henti-henti menunggangi kepala perempuan itu.
***
Malam itu Amsudin mendatangi Nye Surabi, dukun anak di kampungnya. Dia mendatanginya sudah kesekian kali. Dia hendak bertanya lebih jelas, benarkah anaknya telah hamil?
Ya, ihwal kehamilan Arminatun terungkap pertama kali dari tutur perempuan tua itu—saat Satima memintanya untuk memijat anaknya. Beberapa hari sebelum itu, Armintun memang kerap terlihat meringis memegang perutnya. Saat ditanya, ia mengeluh sakit perut dan mual-mual. Kejadian itu hampir ia alami setiap waktu. Hingga akhirnya Satima meminta dukun tersebut memeriksa anaknya.
Nye Surabi merasakan sesuatu yang ganjil saat memijat perut Arminatun. Di tangannya terasa ada yang mengganjal. Dia pun sempat terkejut, dalam perutnya terdapat gumpalan-gumpalan kecil yang menyerupai sosok cabang bayi. Mula-mula, dia menganggap keganjilan itu sebuah penyakit yang telah bersarang dalam perut perempuan itu, mungkin kangker atau yang lainnya, pikir Nye Surabi.
Pada saat itu, Nye Surabi belum secara langsung mengatakan kepada Satima tentang keganjilan yang terdapat dalam perut anaknya. Apalagi hendak mengungkap kecurigaannya kalau perut Arminatun ditumbuhi sesuatu yang mirip cabang bayi atau penyakit kangkar kepada orang tuanya. Ah, itu mustahil, lenguhnya, anak itu belum bersuami pula, lanjut dukun tersebut bimbang.
Lebih dari tiga minggu, Nye Surabi diminta lagi oleh Satima untuk memijat anaknya. Ketika pertama kali memegang perut perempuan itu, dia kembali merasakan sesuatu yang ganjil dalam sentuhan tangannya. Dukun itu telah benar-benar hafal pada tanda-tanda benda tersebut dalam perut perempuan itu. Dia juga mulai yakin, gumpalan-gumpalan dalam perut Arminatun adalah sosok cabang bayi. Karena itu, akhirnya dia mencoba memberi tahu Satima ihwal kehamilan anakanya.
“Benarkah, Nye?!” Satima tersentak. Nye Surabi mengangguk perlahan-lahan, lantas dia pamit pulang.
Sampai detik ini, ketika Satima menanyakan kehamilan itu, Arminatun belum juga menjawab dengan jujur. Sebab itu, Amsudin mencoba lagi mendatangi dan meminta keterangan dari dukun itu.
Ketika Amsudin menanyakan ihwal tersebut, dukun itu hanya menjawab singkat, “Tidakkah kamu melihat perut anakmu yang terlihat membuncit itu, Din?” Ujar Nye Surabi. Amsudin terperangah mendengar jawaban dukun itu. Dia mengingat-ingat tingkah anaknya yang akhir-akhir ini kerap mengenakan baju-baju longgar untuk menutupi postur tubuhnya.
“Benarkah Arminatun telah hamil, Nye?” Lenguhnya meyakinkan. Nye Surabi mengangguk.
Tidak lama lagi orang-orang kampung pasti akan tahu kehamilan Arminatun, dia membatin, pikirnya dihinggapi kegetiran.
Pada saat itu pula, Amsudin mencoba memohon dan merayu Nye Surabi agar menggugurkan kandungan anaknya. Tetapi, dukun itu tidak mau. Amsudin juga berulang kali memohon dengan sejumlah iming-iming upah yang akan dia berikan, tetapi jawaban Nye Surabi “Itu dosa!”.
Bukan hanya itu, Amsudin juga beberapa kali berusaha memberi ramuan penggugur kandungan kepada anaknya, tetapi usaha itu pun gagal, sedangkan anaknya dipaksa mengaku siapa lelaki yang telah menghamilinya, ia tidak juga mau menjawab. Bahkan dari saking marahnya Amsudin sempat menanam niat untuk membunuh anaknya karena takut malu kalau aib itu sampai tersebar pada tatangganya, sedang dirinya adalah orang terhormat sebagai kepala desa di  kampungnya.
***
Ia ditemukan tergeletak di sisi pintu kamar mandi. Mukanya penuh luka sayat, mulutnya disumbat batu karang, bibirnya robek dan hancur, darah kering menggumpal di beberapa bagian tubuhnya, matanya mendelik ke arah Amsudin yang hendak ke kamar mandi. Ada bekas irisan pisau yang membengkak pada kulit perutnya. Sepertinya si pembunuh hendak mengoyak-ngoyak perut buncit perempuan itu.
Amsudin mendengus, siapakah yang telah membunuhnya? Awalnya ia tidak begitu yakin, kalau yang dilihatnya itu adalah Arminatun, sebab wajahnya yang hancur terlihat absurd lebih mirip kepala kambing busuk ketimbang mayat.
Amsudin terpaku dengan sorot mata gusar. Dadanya terasa dicincang-cincang pisau berkarat. Tangannya mengepal dengan getaran yang begitu kuat.  Dia ingat akan wajah getir anaknya. Ya, semalam Amsudin paksa Arminatun untuk mengungkap siapa lelaki yang telah menghamilinya. Meski anaknya tidak mengatakan dengan jelas tentang lelaki tersebut, namun dengan raut wajah bimbang ia merinci ciri-ciri postur tubuh lelaki itu, dan Amsudin telah mencurigai salah seorang lelaki yang mirip dengan tanda-tanda yang dijelaskan anaknya. Ya, lelaki itu, pasti dia pelakunya, desisnya. Amsudin menanam rencana, bahwa esok pagi akan mendatangi lelaki tersebut, dan akan menghabisinya.
Akan tetapi, dini hari ketika Amsudin hendak ke kamar mandi, dia dikejutkan dengan pemandangan mengerikan saat melihat sosok perempuan tergeletak kaku. Tubuhnya mengenaskan tanpak terlihat di hadapan kepala matanya sendiri.
Amsudin mendekati perempuan itu dengan tubuh gemetar dan sorot mata gamang. Saat memperhatikan dan mengangkat sebilah pisau yang tertancap di dada perempuan itu, sontak, suara jeritan seketika melengking dari arah berlawanan.
“Kau yang membunuhnya?!” Tuduh Satima.
“Tidak, bukan!” Elak Amsudin melempar pisau yang baru saja dia cabut dari tubuh anaknya. Pisau itu serasa tak asing dalam pandangannya.
Yogyakarta, Desember 2013

0 comments: