Oleh: Marsus
Degradasi moral pelajar kian hari semakin pelik. Berbagai upaya pemerintah dalam mengatasi perihal tersebut sudah dicanangkan. Salah satunya yakni mengupayakan sistem pendidikan karakter berbasis sastra. Sistem ini diupayakan dapat diaplikasikan mulai tingkat pendidikan paling rendah (PAUD) hingga perguruan tinggi (perkuliahan). Tujuannya, untuk mengatasi degradasi moral anak didik tersebut yang kian menipis. Selain itu, diharapkan akan lahirnya generasi bangsa dengan ketinggian budi pekerti dan akhlak yang mulia.
Tetapi, pertanyaannya
apakah sistem tersebut dapat terealisasikan dengan baik? Dewasa ini, banyak ‘penyakit’ kerap menjangkit kaum pelajar: tauran antar sekolah, seks komersial,
pembunuhan, dan lain semacamnya.
Kegagalan sistem pendidikan ini setidaknya ada tiga faktor: (1) sistem tersebut belum maksimal dalam penerapannya, (2) anak didik belum mampu menerima dan memahami sepenuhnya terhadap sistem tersebut, dan (3) pihak pemerintah dan sekolah belum memiliki kepedulian penuh terhadap sistem pendidikan tersebut (Hlm.77).
Kegagalan sistem pendidikan ini setidaknya ada tiga faktor: (1) sistem tersebut belum maksimal dalam penerapannya, (2) anak didik belum mampu menerima dan memahami sepenuhnya terhadap sistem tersebut, dan (3) pihak pemerintah dan sekolah belum memiliki kepedulian penuh terhadap sistem pendidikan tersebut (Hlm.77).
Dalam hal ini pemerintah seharusnya tidak hanya merumuskan
bagaimana sistem tersebut diterapkan. Tetapi, harus ikut andil memberi teladan kepada anak didik dan masyarakat. Namun,
kenyataannya bertolak belakang. Tidak
sesikit aparat pemerintah yang melakukan tindak kriminal yang menciderai harkat
dan martabat pendidikan dengan tindak korupsi,
kolusi, nepotisme dan semacamnya.
Berbicara mengenai
pendidikan karakter, tentunya tidak lepas dari tingkah laku dan nilai-nilai
kebaikan setiap manusia. Pendidikan karakter merupakan istilah yang merujuk
pada aplikasi nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku
seseorang (hlm. 11). Artinya, pendidikan karakter merupakan sebuah upaya dalam
mendidik anak agar memiliki tabiat, sifat kejiwaan dan tingkah laku yang baik
dan mulia.
Menilik pada negara maju seperti Amerika, para negarawan di sana sangat cinta terhadap sastra. Dari sekian aparat pemerintah adalah
seorang penyair, atau setidaknya sebagai apresiator sastra (hlm. 77). Tidak hanya itu, dari kalangan akademis dan
guru juga demikian. Dengan begitu anak didik benar-benar diajari cinta menulis, membaca, dan
memahami serta mengapresiasi sastra.
Kebiasaan tersebut, menjadikan anak didik bisa
mempunyai pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, nilai-nilai dan norma,
mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial-budaya, berkembang
rasa karsanya, terbinanya watak dan kepribadian dalam kehidupannya (hlm. 79).
Pada praktiknya
pengajaran sastra di Indonesia tetap tidak menarik. Penyebabnya
adalah kurangnya guru dalam menguasai sastra, dan dalam mengajar tidak memotivasi anak didiknya, sehingga
anak didik kurang akrab terhadap karya sastra (hlm. 79).
Pertanyaannya kemudian, apakah pemerintah dan pihak sekolah telah mengakomodir nilai-nilai karakter
tersebut? Ini suatu
hal penting untuk kita benahi dalam menciptakan sistem pendidikan yang
benar-benar baik yang dapat menciptakan output anak didik yang bermutu
dan berkarakter mulia.
Setidaknya, tiga aspek
yang ditawarkan penulis dalam buku ini terkait sistem pendidikan karakter: pertama, aspek keteladanan. Pemerintah dan pihak
sekolah harus memberi teladan
baik terkait arah
pendidikan. Keteladan menjadi
penting mengingat aspek itu kian luntur, yang dipertontonkan
cendrung keteladanan minus pekerti dan jauh dari
susila sehingga output pendidikan kian destruktif.
Kedua, aspek inspirasi. Pemerintah dan pihak
sekolah harus
senantiasa menjadi sumber
inspirasi bagi anak
didiknya. Inspirasi
inilah yang akan menghidupkembangkan pendidikan bangsa. Tanpa inspirasi yang
dibarengi imajinasi, dunia pendidikan akan kering. Sementara itu, insan pendidikan
laksana robot-robot yang digerakkan motoriknya.
Ketiga, aspek motivasi atau dorongan. Pemerintah dan pihak sekolah seyogianya tidak pernah lelah memotivasi anak didiknya. Motivasi dan dorongan ini menjadi penting
ketika pendidikan dihempas cobaan dahsyat. Ketika pemerintah dan guru mampu menjadi motivator, dunia pendidikan akan
tumbuh dinamis, sehingga output-nya akan menjadi generasi yang penuh semangat dan bermental (Hlm.139-141).
Sayangnya, dalam buku
ini penulis tidak mengutip kebobrokan pemerintah dalam menjalankan tugas
institusi untuk mencerdaskan anak bangsa. Sehingga kegagalan sistem pendidikan
berbasis karakter seolah bertumpuk pada minusnya sistem yang diterapkan.
-------------------------------------------------------------
Judul Buku: Pendidikana Karakter Berbasis Sastra
Judul Buku: Pendidikana Karakter Berbasis Sastra
Penulis: Agus Wibowo, M.Pd
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Pertama Juli 2013
Tebal: xii + 179 hlm
ISBN: 978-602-229-222-7
0 comments:
Post a Comment