Oleh: Marsus
Patrol merupakan seni musik tradisional di Madura. Alat yang digunakan untuk menciptakan irama musik sangat sederhana, terdiri dari perabutan rumah, seperti: bambu, tong, jerigen, guci, bahkan cangkul atau parutan besi, dan benda-benda sederhana lainnya. Benda tersebut dikemas sedemikian kreatif supaya menciptakan bunyi berbeda-beda dan saling melengkapi. Kemudian dipukul atau ditabuh berpaduan oleh sekelompok orang, sehingga terciptalah suara musik yang berirama indah nan syahdu.
Patrol merupakan seni musik tradisional di Madura. Alat yang digunakan untuk menciptakan irama musik sangat sederhana, terdiri dari perabutan rumah, seperti: bambu, tong, jerigen, guci, bahkan cangkul atau parutan besi, dan benda-benda sederhana lainnya. Benda tersebut dikemas sedemikian kreatif supaya menciptakan bunyi berbeda-beda dan saling melengkapi. Kemudian dipukul atau ditabuh berpaduan oleh sekelompok orang, sehingga terciptalah suara musik yang berirama indah nan syahdu.
Tradisi patrol biasanya
dilaksanakan semarak seiring datangnya bulan suci Ramadan. Salah
satu tujuan patrol (disebut
juga dengan tong tong) untuk
membangunkan masyarakat menjelang waktu sahur. Oleh karena itu, kolompok patrol
biasanya mulai memainkannya seusai tadarusan, atau sekitar jam 11 malam ke
belakang. Kelompok patrol akan berkeliling menjejaki jalanan kampung.
Selain menjadi wahana pengingat
sahur, patrol sebagai seni hiburan bagi anak muda. Karena itu, anggota patrol didominasi oleh kalangan
anak-anak dan kaum remaja. Guna patrol yang tidak kalah penting sebenarnya menjadi media
silaturrahmi antar kelompok masyarakat.
Sebab dalam satu desa, bisa terdapat lebih dari dua atau tiga grup patrol.
Bahkan, terkadang kelompok patrol datang dari sejumlah desa ke desa yang lain (tompoan). Antara satu grup dengan yang
lain akan saling berjumpa di satu titik, atau suatu tempat yang telah
ditentukan. Mereka bersama-sama memadukan suara dentuman musik dengan indah.
Patrol Kian Memudar
Seiring perkembangan zaman,
khazanah seni budaya patrol mengalami tantangan, bahkan ancaman. Kini eksistensi patrol
tampak semakin pudar. Pada
Ramadan kali ini, Desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura, misalnya, terasa sunyi dari dentuman suara patrol. Anak-anak
selepas tadarusan yang biasanya duduk di sudut-sudut jalan, bergairah menunggu
kelompok patrol untuk melakukan rutinitasnya memainkan musik tradisional, kini
sudah tidak lagi kelihatan. Meskipun ada satu-dua remaja yang duduk di sudut
jalan, namun mereka tampak lebih asyik
dengan segenggam android yang telah menghibur dirinya. Perhatiannya tampak
lebih seru pada benda ‘sakti’ tersebut.
Melihat fenomena ini satu sisi
dapat dipahami sebagai peningkatan bagi masyarakat pedesaan. Ia mengalami
satu langkah lebih maju dari kegiatan
yang mulanya
bernuansa lokalitas, kini beralih pada kegiatan non lokalitas. Akan tetapi,
di sisi lain fenomena itu dapat dipahami sebagai tantangan dimana akan terjadi
suatu pergeseran khazanah budaya lokal dengan budaya populer. Budaya lokal yang
serat dengan nilai-nilai kebersamaan, gotong-royong, ramah dan santun akan
tergantikan dengan budaya populer yang identik dengan sifat individualis dan
asosial. Hiburan-huburan tradisonal lambat laun akan terkikis habis dan ditinggalkan. Masyarakat akan merasa lebih senang dan beralih pada hiburan berbasis digital.
Arus digitalisasi
zaman bukan saja mengancam khazanah budaya lokal, tetapi akan mengancam
karakter masyarakat, khususnya kaum muda pada sifat apatis dan asosial. Apabila tidak benar-benar diimbangi dengan karakter yang
kokoh, maka perlahan-lahan masyarakat desa
akan menjelma masyarakat
kota. Desa
hanya tinggal
georafisnya saja, sedangkan penghuninya adalah
sosok-sosok orang perkotaan yang asosial.*) Sumenep, 31 Mei 2017
Sumber: Koran Radar Madura, 19 Juni 2017.
Sumber: Koran Radar Madura, 19 Juni 2017.
0 comments:
Post a Comment